"Ya saya sudah ketemu dengan Menhan pada waktu di istana," katanya di Jakarta, Jumat.
Menurut Hendarman, dirinya sudah menjelaskan kepada Menhan bahwa Jaksa Agung masing menunggu putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) mengenai terdakwa Henry Leo dan Subarda Midjaja.
"Saya sampaikan, pak saya masih menunggu, tapi saya jelaskan dengan arah ini, status hukum begini," katanya.
Mengenai laporan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) yang mengusulkan agar penyidikan perkara Tan Kian (pengemplang dana prajurit) dihentikan dengan alasan yang bersangkutan sudah mengembalikan uang prajurit 13 juta dollar AS tersebut.
Jaksa Agung menyatakan, mengenai usulan itu ia masih menunggu keputusan MA karena putusan itu menyangkut alat bukti.
Menurut dia, usulan itu perlu dipertajam lagi dan hasil penyidikan yang menyebutkan ada hubungan dagang antara Henry Leo dan Tan Kian harus diperjelas.
"Tapi perlu diluruskan juga, kapan hubungan dagang itu terjadi," katanya.
Herdarman mengaku, Kejaksaan Agung dulu mencurigai Tan Kian bekerjasama dengan Henry Leo untuk membobol uang PT Asabri sebesar 13 juta dollar AS.
Pada saat itu Jaksa Agung berharap Plaza Mutiara disita dan dirampas untuk negara. "Tapi putusan pengadilan, sertifikat Plaza Mutiara dikembalikan ke Tan Kian," katanya.
Padahal, kata dia, uang 13 juta dollar AS milik prajurit itu, harus dikembalikan termasuk pula dengan Plaza Mutiara.
Saat ditanya mengenai hasil sewa gedung Plaza Mutiara yang sudah dinikmati oleh Tan Kian selama 10 tahun dengan keuntungan 20,4 juta dollar AS, ia mengatakan, kalau melakukan pendekatan pidana maka tidak ada denda dengan hitungan seperti itu.
"Tunggu dulu putusan MA," katanya.
Sementara itu, LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyatakan, upaya usulan SP3 Tan Kian, merupakan upaya mengaburkan masalah karena Plaza Mutiara tetap akan dimiliki oleh Tan Kian.
"Padahal semestinya aset tersebut menjadi milik negara. Apapun uang yang berasal dari dana pensiun prajurit, maka sudah seharusnya menjadi milik asal dana tersebut," katanya.
Pembangunan Plaza Mutiara menggunakan PT Asabri senilai 13 juta dolar AS. Semula bangunan tersebut akan dijadikan gedung pusat PT Asabri karena bangunan sebelumnya di Cawang sudah tidak memadai.
Kemudian, PT Cakrawala Karya Buana (CKB) yang akan mengelola gedung Plaza Mutiara meminjam kredit kepada Bank Internasional Indonesia (BII) sebesar 13 juta dolar AS.
Namun saat batas waktu yang ditentukan, kredit itu tidak bisa dilunasi sampai BII direkapitulasi oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Pinjaman saat itu di BII, baru mencapai 10.688.060 dolar AS, dan sisa kredit sebesar 2,2 juta dolar AS tidak bisa dicairkan karena BII terkena dampak krisis.
Pada 15 September 2000, PT CKB mendapatkan perpanjangan fasilitas kredit, dan disetujui oleh Tan Kian melalui surat 18 September 2000.
Namun kenyataannya tidak dilaksanakan oleh Tan Kian, hingga pada 13 September 2002 perpanjangan fasilitas kredit tersebut dibatalkan oleh BII dan mengalihkan utang PT CKB kepada pihak lain.
Setelah BII diambil alih oleh BPPN, tanpa persetujuan Henry Leo secara sepihak Tan Kian, melakukan perubahan atas perjanjian sewa menyewa Plaza Mutiara dari PT CKB menjadi PT PBS, serta mengalihkan penyetoran sewa gedung dari rekening penampungan atas nama PT CKB.
Atas perubahan dan pengalihan itu, Tan Kian diuntungkan menerima biaya sewa perkantoran dengan perhitungan 17 ribu meter persegi x 10 dollar AS x 120 bulan (10 tahun), yang secara keseluruhan mendapatkan 20,4 juta dolar AS.
Namun penerimaan tersebut, tidak dibayar sehingga kredit PT CKB kepada BII dinyatakan macet.
Selanjutnya, BPPN menjual utang PT CKB yang dibeli oleh PT Newfort Bridge (NFB) yang notabene merupakan perusahaan milik Tan Kian. Harga jual utang itu 2,5 juta dollar AS jauh di bawah utang PT CKB kepada BII.
Dalam kasus itu, Henry Leo divonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur bersama Dirut PT Asabri, Subarda Midjaja yang divonis empat tahun, namun Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan kasasi ke MA.
(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009