Kami tak mau masuk ke dalam sebuah sumur dan berkelahi dengan katak lain.

Shenzhen (ANTARA) - Di sebuah jalan yang ramai di pusat Kota Shenzhen, China, tiga kurir bermotor tiba-tiba menyeberang di depan sebuah mobil.

Pada dasbor mobil itu, mereka tampak seperti kubus-kubus tiga dimensi berwarna biru yang ada di gim video pada 1990-an.

Panel pada kemudi secara otomatis mengatur kecepatan dan mobil itu melambat sampai berhenti, sementara sang pengemudi mengawasinya dari kursi penumpang.

Mobil tersebut adalah satu dari seratusan taksi robot milik perusahaan rintisan DeepRoute.ai yang melaju di distrik bisnis Futian yang sibuk di Shenzhen, pusat teknologi di China selatan.

Baca juga: Nissan akan uji "taksi robot" di Jepang

Sepanjang tahun lalu, taksi robot itu sudah melakukan 50.000 kali uji coba mengantar penumpang.

Meskipun Amerika Serikat dianggap sebagai negara pertama yang memiliki teknologi kendaraan otomatis (AV), Kota Shenzhen tampaknya mulai melangkah lebih jauh.

Sejumlah perusahaan telah melakukan uji coba di lingkungan sulit kota itu, yang dipenuhi pejalan kaki dan skuter di mana-mana.

Di antara mereka adalah Apollo –anak perusahaan Baidu Inc, Pony yang didukung Toyota Motor Corp, Weride yang didukung Nissan, Auto X yang didukung Alibaba dan DeepRoute.

Shenzhen, kota berpenduduk 18 juta jiwa, menerapkan regulasi AV paling jelas di China.

Mulai Senin (1/8), mobil-mobil AV yang terdaftar diizinkan beroperasi di sejumlah kawasan kota itu, tetapi tetap harus diawasi oleh sopir yang duduk di kursi penumpang.

Sejauh ini, kota-kota di China telah memperbolehkan taksi-taksi robot beroperasi secara terbatas atas izin pemerintah setempat.

Namun, regulasi di Shenzhen adalah peraturan pertama yang memberikan kerangka penting soal tanggung jawab jika terjadi kecelakaan.

Jika sopir AV berada di balik kemudi, dia akan bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan.

Sebaliknya, jika AV benar-benar dikendalikan secara otomatis, pemiliknya akan dimintai pertanggungjawaban.

Jika kerusakan sistem menimbulkan kecelakaan, pemilik AV dapat meminta kompensasi dari produsen mobil tersebut.

Menurut CEO DeepRoute Maxwell Zhou, lebih banyak mobil yang melintas di jalan akan menambah peluang terjadinya kecelakaan, jadi regulasi itu sangat penting untuk mendukung penggunaan AV secara massal.

"Memang belum sepenuhnya tanpa sopir, tetapi ini tonggak sejarah yang besar," kata Zhou.

Baca juga: Universal Robots & tokoh teknologi berkumpul di pameran cobot virtual

Pindah Persneling

Sejauh ini Amerika Serikat memimpin persaingan dalam uji coba AV.

Negara Bagian California pada 2014 mengizinkan pengujian AV di jalan umum, sehingga Waymo LLC dari Alphabet Inc, Cruise dan Tesla telah mencatatkan jutaan mil uji coba.

Namun, China telah melakukan percepatan dalam teknologi itu.

Beijing menjadikan AV sebagai bidang penting dalam rencana lima tahunannya yang terbaru.

Shenzhen ingin agar industri kendaraan cerdasnya meraih pemasukan 200 miliar yuan (Rp2,98 kuadriliun) pada 2025.

CEO Cruise Dan Amann pada Mei 2021 memperingatkan Presiden Joe Biden bahwa regulasi keselamatan AS berpotensi membuat industri AV di negara itu tertinggal dari China, yang melakukan "pendekatan dari atas ke bawah dan diarahkan oleh pusat".

DeepRoute berencana memiliki 1.000 taksi robot dengan pengawasan sopir beroperasi di Shenzhen dalam lima tahun ke depan, ketika regulasi yang lebih terperinci diharapkan akan muncul.

Namun, ongkos produksi AV perlu ditekan sebelum taksi robot tersedia secara komersial, kata Zhou.

Shenzhen memiliki armada 22.000 taksi listrik yang dikelola perusahaan negara BYD, yang mengenakan tarif sekitar 9 dolar AS (sekitar Rp134 ribu) untuk perjalanan sejauh 20 km.

DeepRoute dan perusahaan taksi robot lainnya mengandalkan produksi massal untuk menekan biaya produksi dan mengumpulkan data.

Sistem AV buatan DeepRoute dijual ke produsen mobil dengan harga sekitar 3.000 dolar AS (Rp44,63 juta) per unit.

Zhou menilai DJI Technology Co sebagai contoh yang bagus karena perusahaan itu mampu menekan biaya perangkat keras dan rantai pasokan terpadu, sehingga menjadi pemain dominan di pasar pesawat nirawak (drone) dunia.

Baidu pada 21 Juli mengumumkan AV baru buatannya dengan kemudi yang dapat dilepas.

Perusahaan itu akan menggunakan AV tersebut sebagai taksi robot tahun depan.

Biaya produksi mobil otomatis itu mencapai 250.000 yuan (Rp550,51 juta) per unit, hampir separuh dari harga model sebelumnya.

"Kita sedang menuju masa ketika menumpang taksi robot hanya dikenakan separuh biaya taksi hari ini," kata CEO Baidu Robin Li.

Persaingan Ketat

Rantai pasokan dan biaya produksi yang lebih murah menjadi kelebihan Shenzhen dibandingkan Lembah Silikon di California.

Namun, pengembang sistem AV David Chang mengaku tak ingin dikekang oleh satu pasar.

Di Shenzhen, kata dia, biaya modal hanya sepertiga dari California, karena kota itu memiliki banyak pemasok komponen seperti baterai dan sensor.

"Namun pendapatannya seperduabelas dari California, sehingga (industri) itu bukan bisnis yang menarik untuk digeluti," kata CEO dan pendiri Whale Dynamic itu.

Deeproute, Weride dan Pony.ai juga memiliki kantor di Lembah Silikon untuk melakukan riset dan uji coba.

"Kami tak mau masuk ke dalam sebuah sumur dan berkelahi dengan katak lain. Kami harus melompat keluar dari sumur itu," kata Chang.

Sumber: Reuters

Baca juga: Robot Volkswagen siap isi daya mobil listrik di tempat parkir
Baca juga: Hyundai ambil alih perusahaan robot AS dari SoftBank

Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2022