Komitmen mengurangi emisi karbon sampai 29 persen sampai 2030 membuktikan Indonesia kian menyadari pentingnya bersegera memasifkan ekonomi berkelanjutan berbasis non-fosil ini.

Jakarta (ANTARA) - Sejak beberapa tahun lalu bensin premium kian sulit didapatkan masyarakat sampai kemudian 10 Maret lalu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menerbitkan surat keputusan yang memastikan premium sudah tak lagi dijual dan digantikan pertalite.

Aspek menarik dari keputusan ini adalah korelasinya dengan upaya menciptakan lingkungan rendah emisi yang di antaranya ditempuh dengan menekan konsumsi bahan bakar oktan rendah seperti premium.

Derivasinya sendiri dijejak dari upaya global mencegah dampak buruk perubahan iklim dengan membatasi kenaikan suhu global sampai 1,5 derajat Celcius di atas tingkat praindustri.

Saat ini suhu Bumi sudah mencapai 1,1 derajat Celcius lebih hangat dibandingkan dengan akhir 1800-an.

Demi menjaga pemanasan global tak lebih dari 1,5 derajat Celcius, maka emisi mesti dikurangi 45 persen sampai 2030 agar tercapai karbon netral pada 2050. Ini sudah menjadi konsensus global yang mengikat dunia dalam Perjanjian Iklim Paris pada 22 April 2016.

Indonesia sendiri mendapatkan jatah tugas mengurangi emisi karbon hingga 29 persen sampai 2030. Ini karena Indonesia menjadi penyumbang polusi terbanyak di dunia dan salah satu negara yang menghadapi risiko perubahan iklim terbesar dari sisi ekonomi.

Perubahan konsumsi bensin bisa dilihat sebagai bagian dari upaya menaati konsensus itu. Tetapi ini juga menjadi salah satu bukti bahwa orientasi ekonomi dan industri bergeser menjadi semakin ramah lingkungan. Bahkan mobil-mobil keluaran sekarang mensyaratkan konsumsi bahan bakar oktan tinggi yang tingkat polusinya lebih rendah.

Pergeseran ini semakin menjadi tuntutan ketika industri konvensional mendapatkan tantangan serius dari masifnya produksi mobil listrik yang mempercepat jalan dalam menciptakan emisi nol.

Semua kecenderungan ini mempengaruhi pola produksi, konsumsi dan investasi bahan bakar fosil. Sebaliknya, proses ekonomi dan industri berbasis solusi alam semakin menjadi pilihan dunia, termasuk Indonesia. Dalam masa tertentu akan membuat ekonomi berbasis energi fosil menjadi ketinggalan zaman.

Bahkan penelitian Universitas Exeter, Universitas Cambridge, Open University dan Cambridge Econometrics di Inggris yang diterbitkan jurnal Nature pada November 2021 menyebutkan separuh dari aset-aset bahan bakar fosil di seluruh dunia akan menjadi tak ada harganya pada 2036.

Itu karena pada masa nanti risiko memproduksi minyak dan gas akan jauh lebih besar sehingga menciptakan aset-aset terbengkalai yang nilainya mencapai 14 triliun dolar AS (Rp207 ribu triliun). Aset-aset ini meliputi infrastruktur, properti, dan investasi energi fosil.

“Orang memang akan terus berinvestasi dalam bahan bakar fosil sampai menyadari tingkat permintaan yang diinginkan tak terwujud dan mereka baru menyadari bahwa apa yang mereka miliki itu tak lagi berharga," kata penelitian itu dalam jurnal Nature tersebut.

Hipotesis yang masuk akal karena tekad dunia meninggalkan bahan bakar fosil memang terlihat semakin tinggi, apalagi invasi Rusia ke Ukraina yang sudah memasuki bulan keenam makin mendorong sejumlah kawasan, terutama Eropa, untuk kian ngotot berpaling dari energi fosil.

Tren ini juga implisit diakui oleh sebagian besar produsen minyak global sendiri dengan berusaha memperlambat transisi menuju ekonomi rendah karbon. Mereka sebenarnya menyadari tren energi hijau semakin niscaya dan perkembangan ini bisa mengancam investasi untuk eksplorasi dan produksi energi fosil.

Memang baru prediksi ilmiah, tetapi jika melihat kecenderungan penggunaan BBM oktan tinggi dalam skala luas seperti terjadi Indonesia saat ini, hipotesis itu rasional sekali.

Baca juga: Indonesia-Korea Selatan teken kerja sama investasi hijau berkelanjutan
Baca juga: Sri Mulyani: Investasi hijau swasta capai 87 miliar dolar AS di 2020

Selanjutnya: Bank Indonesia sudah siap

Copyright © ANTARA 2022