Jakarta (ANTARA News) - Komisi I DPR-RI meminta Pemerintah untuk menyelesaikan perjanjian ekstradisi dengan Singapura lebih cepat dan tidak mengaitkan perundingan ekstradisi itu dengan perundingan perjanjian kerja sama pertahanan (DCA-Defence Cooperation Agreement) antara Indonesia-Singapura. "Komisi I DPR meminta Pemerintah mempercepat penyelesaian perjanjian ekstradisi dan tidak mengaitkannya dengan DCA," kata Ketua Komisi I DPR, Theo L Sambuaga, saat menutup rapat kerja Komisi I dengan Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin. Sebelumnya dalam Raker tersebut, beberapa anggota Komisi, termasuk Abdillah Toha dari Fraksi PAN, meminta agar perundingan DCA antara Indonesia dan Singapura dihentikan sampai perjanjian ekstradisi sudah ditandatangani oleh Indonesia dan Singapura. "Ternyata pemerintah Singapura telah mengulur-ngulur perjanjian penandatanganan ekstradisi. Katanya sekarang mengajukan syarat, yaitu dia minta sebelum ekstradisi ini ditandatangani, Indonesia harus tanda tangani DCA dengan Singapura," kata Abdillah Toha. Keputusan mengaitkan perundingan ekstradisi dengan perundingan DCA muncul saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima kunjungan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, di Istana Tampak Siring, Bali, pada awal Oktober 2005. Saat menjelaskan di Raker, Menlu Hassan Wirajuda mengatakan bahwa perundingan DCA itu merupakan keinginan kuat Singapura untuk memperkuat hubungan bidang pertahanan dengan Indonesia dan ingin memiliki ruang lebih di laut dan udara untuk latihan bersenjata. "Hal itu masih kita godok, kita beri apa dan dapat apa," terang Menlu. "Persoalannya, memang proses perundingan ekstradisi yang sudah mulai lebih awal jangan dihambat dengan apa yang baru mulai," tambah Hassan. Saat ini perundingan DCA sudah dilakukan selama empat kali sejak akhir tahun 2005, sementara perundingan ekstradisi telah dilakukan sejak awal 2005 dan hingga kini telah berlangsung selama tujuh kali. Menurut Abdillah, kendati cakupan DCA luas, namun ia menilai sebenarnya perundingan DCA bertujuan untuk membangkitkan kembali program pelatihan militer Singapura di wilayah Indonesia (MTA-Military Training Area). MTA tersebut pernah diberikan Indonesia pada masa lalu namun dihentikan antara lain disebut-sebut karena Singapura melakukan pelanggaran kesepakatan, antara lain dengan mengikutsertakan militer AS dalam latihan militernya. AS Hikam dari Fraksi PKB juga meminta agar perjanjian ekstradisi segera ditandatangani. Ia melihat, proses perundingan masalah tersebut dengan Singapura saat ini macet sehingga harus dipercepat dengan memberikan target waktu penyelesaian. Menurut Menlu Hassan, perundingan tetap berjalan seperti biasa, dan pada Mei 2006 nanti perundingan ekstradisi dengan Singapura kembali akan dilakukan. "Sebagian besar sudah (disepakati, red), tinggal sisanya," ujar Menlu. Sementara itu, ketua tim perunding Indonesia untuk perjanjian ekstradisi RI-Singapura, Arif Havas Oegroseno, ketika dihubungi ANTARA News di Jakarta, Senin, mengatakan hingga perundingan ketujuh, sudah 16 dari total 19 pasal perjanjian ekstradisi yang disepakati kedua belah pihak. Ia menepis anggapan bahwa perundingan tersebut macet. "Pertemuan tetap berjalan dengan baik. Awal Mei nanti kembali kami (tim perunding kedua negara, red) akan bertemu di Indonesia, namun tempatnya masih belum ditentukan," kata Havas. Perundingan sebelumnya, yaitu yang ketujuh, berlangsung pada bulan Februari 2006 di Singapura.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006