Jakarta (ANTARA) - Miskomunikasi acapkali menjadi cikal bakal dari meledaknya sebuah konflik. Entah bermula dari kurangnya informasi, salahnya interpretasi, hingga kesalahan dalam pemilihan kata ketika menyampaikan informasi.
Sejumlah penyebab miskomunikasi mungkin terdengar sepele, namun justru hal tersebutlah yang mengakibatkan melakukan komunikasi tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Guna mencegah munculnya situasi yang tidak diinginkan, seorang komunikator harus benar-benar piawai dalam menjatuhkan pilihan pada sebuah kata. Terdapat berbagai aspek yang harus menjadi pertimbangan, apalagi bagi lembaga penegak hukum yang menuai atensi dari jutaan pasang mata.
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri mengemban tugas penegakan hukum guna memastikan ketertiban dan keamanan masyarakat di Indonesia. Berbagai bentuk komunikasi publik yang Polri lakukan akan disaksikan oleh nyaris seluruh lapisan masyarakat, termasuk komunikasi publik yang mereka lakukan melalui media sosial.
Sebagai seorang pakar komunikasi dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing mengatakan bahwa Polri yang memperluas ruang komunikasi hingga ke media sosial merupakan langkah yang selaras dengan prinsip komunikasi.
Semakin banyak media untuk melakukan komunikasi kepada publik, tutur Emrus, akan semakin baik. Sebab, dengan menggunakan media sosial, pesan yang disampaikan oleh Polri akan tersebar dengan cepat, lebih intensif, dan memakan biaya yang relatif murah.
Terlebih, ketika media sosial telah menyediakan ruang bagi publik untuk dapat mengakses informasi kapan saja dan di mana saja, bahkan memberi tempat bagi para audiens untuk menuliskan umpan balik dari informasi yang mereka tuai.
Baca juga: Pengamat ingatkan Polri perbaiki komunikasi ke publik kerja Densus 88
Leading Sector
Emrus menegaskan bahwa Polri merupakan salah satu leading sector atau sektor pemimpin dalam penyampaian informasi terkait dengan peristiwa penegakan hukum.
Kepolisian memiliki wewenang untuk menyampaikan informasi yang berdasarkan atas fakta, data, dan bukti yang mereka peroleh, tutur Emrus. Dengan demikian, Polri merupakan sumber informasi penegakan hukum yang kredibel dan dapat dipercaya oleh publik.
Meskipun begitu, Emrus mengingatkan bahwa memang terdapat beberapa jenis informasi memang tak dapat diungkapkan kepada publik begitu saja dan harus melalui proses pengolahan.
Akan tetapi, bukan berarti Polri tidak transparan. Pemilihan waktu yang tepat, pengumpulan bukti yang menguatkan, serta mengolah temuan-temuan untuk menarik suatu simpulan membutuhkan waktu dengan tujuan memberikan informasi yang akurat.
Ketika menjelaskan, Emrus mengungkapkan bahwa ia merupakan pemerhati dari berbagai unggahan di akun media sosial resmi Polri. Saat menilai ragam konten yang dipublikasi, Emrus berpandangan bahwa Polri juga telah melaksanakan fungsi komunikasi dengan baik.
Pertama, bagi Emrus, Polri telah mengedukasi (educating) publik melalui unggahan Polri di media sosial. Salah satunya adalah edukasi untuk menghindari disinformasi atau hoaks dan memilah sumber informasi agar tidak mudah terprovokasi.
Selain itu, konten yang disampaikan oleh Polri melalui media sosial juga telah memuat unsur pemberian informasi yang mencerahkan atau enlightening. Polri, melalui divisi humas, secara aktif membagikan berbagai temuan mereka terkait berbagai kasus penegakan hukum. Tindakan tersebut, bagi Emrus, telah mengurangi ketidakpastian yang bergulir di kalangan masyarakat.
Yang tak kalah penting adalah komunikasi yang dilakukan oleh Polri bertujuan untuk menciptakan ketenangan masyarakat atau entertaining. Ketika menjelaskan mengenai poin ini, Emrus menegaskan bahwa, dalam hal ini, entertaining bukan berarti memberikan hiburan yang mengundang gelak tawa, melainkan dimaknai sebagai pemberi ketenangan bagi masyarakat.
Oleh karenanya, Emrus mengatakan sudah jelas bahwa berbagai unggahan di media sosial resmi Polri bertujuan untuk mengedukasi, menginformasikan, dan menciptakan ketenangan bagi publik. Berbeda dengan sejumlah akun di media sosial yang bertujuan untuk menyesatkan, menyebarkan hoaks, bahkan menciptakan kegaduhan.
Lantas, bagaimana dengan gejolak yang berlangsung selama pengusutan kasus penembakan antaranggota kepolisian?
Baca juga: Polisi antisipasi kericuhan pilkada dengan komunikasi humanis
Manajemen kecemasan
Insiden penembakan antaranggota kepolisian yang merenggut nyawa Brigadir J menjadi bola panas yang bergulir di instansi kepolisian.
Desas-desus mewarnai jagat media sosial. Asumsi publik pun mulai bangkit hingga menimbulkan keresahan bagi pihak keluarga, baik keluarga Brigadir J maupun keluarga Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Nonaktif Ferdy Sambo.
Menurut pakar komunikasi politik dari Universitas Nasional Lely Arrianie, desas-desus tersebut muncul karena kurangnya manajemen kecemasan ketika pihak kepolisian menyampaikan informasi mengenai peristiwa ini kepada publik.
Lely mengingatkan bahwa sebuah informasi yang didengar oleh 100 orang yang berbeda di dalam waktu yang sama dapat memunculkan 100 spekulasi dan persepsi yang berbeda.
Kecemasan tersebut, menurut Lely, lahir dari spekulasi sang penerima informasi yang kurang diantisipasi oleh pihak kepolisian. Oleh karena itu, Lely mengingatkan bahwa dalam melakukan komunikasi publik, manajemen kecemasan merupakan salah satu aspek yang betul-betul harus diperhatikan.
Terutama, oleh sebuah lembaga penegak hukum.
Selain manajemen kecemasan, terdapat tiga aspek lainnya yang harus menjadi perhatian bagi Polri maupun lembaga lainnya dalam melakukan komunikasi publik, yaitu aspek pengetahuan situasional, penentuan tujuan dari komunikasi, dan kompetensi dari pihak yang menyampaikan informasi.
Bagi Lely, Polri telah menerapkan aspek pengetahuan situasional dan telah memilih pihak yang kompeten untuk menyampaikan informasi. Sedangkan, terkait dengan tujuan dari komunikasi, Lely berpandangan bahwa pihak kepolisian hanya ingin menyampaikan informasi tentang terjadinya suatu musibah.
Akan tetapi, informasi tersebut justru menuai reaksi yang signifikan dari masyarakat. Oleh karena itu, Lely mengingatkan bahwa pada masa maraknya penggunaan media sosial, komunikasi tidak lagi bersifat linier.
Keberadaan media sosial memungkinkan publik untuk memberikan reaksinya atau timbal balik secara langsung setelah memperoleh informasi. Dengan demikian, komunikasi yang terjadi tidak lagi bersifat satu arah, tetapi bersifat interaktif, konvergen, sirkuler, bahkan transaksional.
Oleh karena itu, ketika melakukan komunikasi publik, penting untuk memperhitungkan ledakan reaksi publik.
Komunikasi bukanlah jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan. Terdapat berbagai elemen pendukung lainnya, seperti langkah konkrit yang dilakukan untuk menyelesaikan persoalan, pengumpulan fakta, data, dan bukti, pendekatan interpersonal hingga menyentuh aspek psikologis, dan berbagai hal lainnya.
Meskipun demikian, komunikasi memiliki peran penting yang bermuara pada kepercayaan publik. Oleh karena itu, Lely mengingatkan pentingnya manajemen dalam melakukan komunikasi publik agar komunikasi dapat berlangsung dengan efektif dan efisien.
Baca juga: Kapolri ajak LEN perkuat alat komunikasi polisi
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2022