Pasal penghinaan Presiden/Wakil Presiden adalah delik aduan, artinya Presiden yang akan mengadukan penghinaan tersebut.

Jakarta (ANTARA) - Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) masih terus dilakukan antara pemerintah dan DPR.

Pembahasan RUU KUHP itu pun memicu beragam kritik dari kelompok masyarakat sipil dan akademikus. Setidaknya, ada 14 poin kontroversial dalam RUU KUHP yang dipersoalkan publik. Pemerintah pun harus memberikan penjelasan terhadap poin kontroversial tersebut.

Pertama, hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law), kedua, pidana mati; ketiga, penyerangan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden; keempat, tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib.

Kelima, dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin; keenam, unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih; ketujuh, contempt of court berkaitan dengan dipublikasikan secara langsung tidak diperkenankan.

Kedelapan, advokat curang dapat berpotensi bias terhadap salah satu profesi penegak hukum saja yang diatur (diusulkan untuk dihapus); kesembilan, penodaan agama; kesepuluh, penganiayaan hewan.

Ke-11, penggelandangan; ke-12, pengguguran kehamilan atau aborsi; ke-13, perzinaan; ke-14, kohabitasi dan pemerkosaan.

Salah satu pakar hukum tata negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva meminta Pemerintah dan DPR memberikan penjelasan dan batasan terkait dengan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam RUU KUHP. Hal itu untuk mencegah munculnya "pasal karet" yang dapat menimbulkan multitafsir.

Tanpa ada pembatasan, itu menjadi pasal karet karena menyangkut Presiden. Itu menjadi sangat penting dalam merumuskan pasal-pasal yang berkaitan dengan kehormatan dan martabat Presiden. Demikian pernyataan Hamdan dalam acara bertajuk RKUHP: Menyoal Pasal Penghinaan Pemerintah yang disiarkan di kanal YouTube Salam Radio Channel, dipantau dari Jakarta, Rabu (29/6).

Masyarakat di negara demokrasi seperti Indonesia ini memang memiliki hak untuk mengkritik kebijakan pemerintah serta menyampaikan atau mengekspresikan ketidaksetujuan mereka terhadap pemerintah.

Masalahnya, kata Hamdan, adalah sejauh mana cara penyampaian kritik itu sehingga tidak menyentuh hal-hal yang sangat berkaitan dengan personal. Hal ini mengingat kebebasan yang tidak teratur itu dapat menimbulkan konflik sosial.

Oleh karena itu, mekanisme pidana memang perlu untuk menjaga situasi agar tetap kondusif, salah satunya adalah melalui pengaturan hukum pidana, seperti pembentukan pasal tentang penghinaan pemerintah atau Presiden.

Bagi Hamdan, pasal tentang penghinaan termasuk bagian penting dalam membangun bangsa ini. Kendati demikian, batasan-batasan menjadi sangat penting untuk diperjelas agar tidak menjadi pasal karet.

Pembentukan pasal tersebut merupakan salah satu upaya kanalisasi yang dapat mengatur etika dan akhlak ketika menyampaikan kritik terhadap pemerintah dan Presiden.

Bangun akhlak ini melalui pendekatan hukum. Hal itu juga akan mengarahkan pada keberadaban kehidupan berbangsa yang lebih baik. Hamdan lantas mengibaratkan demokrasi tanpa akhlak dan etika itu adalah air bah yang besar.

Baca juga: Hadirkan produk hukum komprehensif melalui RUU KUHP
Baca juga: Hitung-hitung potensi konflik RUU KUHP bila disahkan


Pasal Perzinaan

Selain pasal tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, pasal tentang perzinaan juga menjadi kontroversial di tengah masyarakat.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyebutkan Pasal 415 yang mengatur tentang perzinaan berpotensi menimbulkan persekusi di tengah masyarakat. Sangat berpotensi menciptakan persekusi, demikian kata Bivitri Susanti di Jakarta, Selasa (12/7).

Wilayah hukum privat tidak bisa begitu saja dipindahkan ke hukum publik sebab berpotensi terjadi kesalahan dalam penghukuman.

Yang menjadi masalah ialah ketika sudah ada peraturan tentang zina maka bisa menimbulkan asumsi pada sebagian orang bahwa menyerang pelaku zina boleh karena mereka dinilai melanggar hukum.

Padahal, jika dicermati lebih detail, dalam RUU KUHP pasal perzinaan bersifat delik aduan atau hanya bisa dilaporkan oleh orang-orang tertentu. Bahkan, tanpa KUHP saja, persekusi juga sudah terjadi.

Akan tetapi, Bivitri menegaskan bahwa pandangan tersebut sama sekali bukan untuk mendukung atau melegalkan zina atau seks bebas. Masalahnya, penyelesaian perbuatan yang dinilai tidak pantas bukan berarti harus melalui jalur pidana, melainkan masih banyak cara lain.

Jika tetap dipaksakan, akan banyak efek negatif misalnya persekusi.

Baca juga: Pembahasan RUU KUHP dan penyerapan aspirasi publik yang krusial
Baca juga: Komisi III DPR terima dua RUU bersifat "carry over" dari Kemenkumham


Pro dan Kontra

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiarej menyadari adanya pro dan kontra terhadap RUU KUHP tersebut.

Untuk itu, Kemenkumham sebagai penyusun RUU selalu terbuka akan sumbangan pemikiran dan kritik yang ada.

Penyusunan RUU KUHP bukan semata-mata persoalan hukum dan tidak mungkin bisa memuaskan seluruh pihak, mengingat akan selalu ada tarik-menarik kepentingan dari sisi sosial, budaya, agama, serta politik.

Ketika memberikan kuliah umum di Gedung Serbaguna Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur, Kamis (22/6), Edward mencontohkan kalangan aktivis HAM menentang adanya pasal hukuman mati, sementara pegiat antikorupsi justru ingin hukuman mati terhadap koruptor.

Kemenkumham sendiri telah melakukan survei pada tahun 2015—2016 mengenai hukuman mati dan ternyata 80 persen responden setuju adanya hukuman mati. Namun, sebagian besar mereka juga keberatan kalau teroris dihukum mati. Itu membuktikan bahwa pidana mati terkait dengan banyak hal, seperti agama, sosial, budaya, dan politik.

Oleh karena itu, dalam RUU KUHP pidana mati menjadi pidana khusus, hakim yang menjatuhkan putusan pidana mati disertai pidana percobaan selama 10 tahun.

Jika selama masa percobaan selama 10 tahun terpidana mati berkelakuan baik, bisa diubah menjadi hukuman seumur hidup.

Edward yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini menepis anggapan beberapa pihak yang menilai pemerintah tengah menghidupkan "pasal karet" dalam pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang bertentangan dengan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law).

KUHP semua negara memiliki persamaan dan memuat substansi yang pasti sama. Namun, ada tiga hal yang membedakan di antara KUHP masing-masing negara, yakni mengenai kejahatan politik, kejahatan terhadap kesusilaan, dan pasal mengenai penghinaan. Dengan demikian, setiap negara akan berbeda dalam mendefinisikan ketiga hal tersebut dalam KUHP-nya.

Diingatkan pula bahwa dalam RUU KUHP, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden adalah delik aduan dan bukan delik biasa, artinya Presiden yang akan nanti mengadukan penghinaan tersebut ke pengadilan.

Baca juga: Wamenkumham beri penjelasan isu kontroversial RUU KUHP
Baca juga: Wamenkumham: Penghinaan presiden dan wapres jadi delik aduan


Gencar Sosialisasi

Komisi III DPR RI meminta Pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan HAM, lebih masif menyosialisasikan terkait dengan 14 pasal krusial yang masih menjadi perdebatan publik. Ini sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat, demikian kata anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto.

Secara substansi RUU yang merupakan usulan pemerintah itu sudah tuntas dibahas. Namun, Pemerintah diminta untuk sosialisasi kepada masyarakat.

RUU KUHP merupakan carry over dari keputusan DPR RI 2014—2019, yang pembahasannya tinggal dilanjutkan dalam pembahasan Tingkat II, yaitu persetujuan pada Rapat Paripurna DPR RI.

Komisi III pada tanggal 7 Juli 2022 melaksanakan rapat kerja (raker) bersama Wakil Menkumham yang menyerahkan penjelasan 14 poin krusial sebagai bagian dari penyempurnaan dari RUU KUHP.

Penyerahan penjelasan itu setelah Pemerintah melakukan sosialisasi dan diskusi publik yang diselenggarakan di 12 kota untuk mendapat masukan dari masyarakat.

Meskipun Pemerintah menyempurnakan RUU KUHP atas masukan masyarakat, penting untuk memastikan kembali dan membuat terang masyarakat atas substansi-substansi penyempurnaan tersebut.

Langkah itu diperlukan agar dalam pengesahan RUU KUHP nantinya dapat diterima atau tidak ditolak publik.

Masyarakat pun berharap sejumlah aturan pidana dalam RUU KUHP dibuat dengan gagasan memberi kepastian hukum tanpa ada pasal-pasal yang dinilai kontroversial.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022