Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memastikan akan terus mengembangkan alat dan teknologi untuk menghadapi lonjakan kasus positif sekaligus mengurangi pemakaian produk impor yang digunakan dalam penanganan COVID-19.
“Ini menjadi perhatian kami sejak awal pandemi di bulan Maret pada tahun 2020 yang lalu, karena berbagai metode dan teknologi sterilisasi juga infeksi, saat itu beredar di masyarakat,” kata Kepala Organisasi Riset Elektronika dan Telekomunikasi BRIN Budi Prawira dalam Webinar Inovasi Teknologi BRIN dalam Menghadapi Lonjakan COVID-19 yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Budi menuturkan pandemi COVID-19 yang sudah terjadi selama dua tahun di penjuru negeri, memberikan dampak besar pada kesehatan manusia dan mengakibatkan beberapa kerugian besar dalam semua aktivitas manusia, utamanya di sektor ekonomi.
Berbagai pembatasan yang dilakukan pemerintah seperti memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di sejumlah daerah dan diterapkannya sistem bekerja dari rumah (WFH) diterapkan guna mencegah dan mengurangi penyebaran virus.
Baca juga: BRIN tawarkan konsep kebun raya jadi pusat pertumbuhan ekonomi baru
Sayangnya, pembatasan tidak didukung oleh teknologi tingkat tinggi yang memadai. Hal itu mendorong periset BRIN terus mengembangkan berbagai inovasi melalui berbagai metode dan teknologi sterilisasi juga disinfeksi, untuk membunuh virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 agar semua aktivitas masyarakat dapat terus berjalan dengan normal di tengah keterbatasan pandemi.
Di antaranya seperti ventilator dan alat deteksi kesehatan agar Indonesia tak melulu bergantung pada produksi luar negeri. Inovasi lain yang juga dikembangkan adalah teknologi yang memanfaatkan sinar Ultraviolet tipe C (UVC).
Budi menjelaskan UVC mempunyai fungsi untuk membunuh patogen berupa virus atau bakteri di udara, tanpa membahayakan manusia. Bisa digunakan di seluruh ruang publik dan memiliki harga terjangkau.
Inovasi itu dilakukan karena pada awal pandemi, banyak teknologi untuk sterilisasi di rumah sakit menggunakan UVC 254 nano meter (nm) untuk sterilisasi alat kesehatan. Namun dalam panjang gelombang itu, sinar UVC justru tidak aman bila dipaparkan langsung pada manusia karena menyebabkan iritasi pada mata atau kulit dalam jangka waktu yang lama.
Baca juga: BRIN: Pembangunan desa berbasis digital dorong kemandirian desa
“Sehingga waktu itu berkembanglah yang dinamakan dengan Far-UVC, dengan panjang gelombang 222 nm. Meski dalam pemanfaatannya ada keterbatasan yakni teknologi baru mungkin harganya relatif lebih tinggi dibanding 254 nm, akan tetapi yang menjadi konsen adalah bagaimana ini bisa digunakan dengan aman kemudian efektif untuk membunuh SARS-CoV-2, ” ujar dia.
Budi turut memastikan semua periset BRIN akan terus bekerja keras memenuhi kebutuhan masyarakat dalam pandemi COVID-19, baik dengan penciptaan inovasi ataupun pengembangan karya hasil kerja sama dengan periset dari organisasi lain, pakar dan ahli di bidangnya masing-masing.
Pengujian juga akan terus dilakukan bertahap di laboratorium, supaya keefektifan alat yang dikembangkan dapat terjamin dan dapat dipatenkan setelah terbukti bisa membunuh mikroorganisme di udara, sesuai dengan hasil kajian periset-periset sebelumnya.
“Dukungan kepada periset tentunya penting juga untuk pengembangan. Selain untuk alat-alat sterilisasi, kemudian juga berbagai alat kesehatan yang kita kembangkan saat ini. Untuk mendukung program pemerintah, untuk pemenuhan kebutuhan produk alat kesehatan dalam negeri terutama alat kesehatan yang menggunakan kandungan teknologi yang tinggi,” ujar Budi.
Baca juga: BRIN jalin jejaring dengan pengelola untuk kembangkan kebun raya
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022