Kolombo (ANTARA) - Tak memiliki bahan bakar dan uang untuk membeli makanan, H.G. Indrani dan delapan anggota keluarganya berjalan susah payah selama satu jam ke dapur umum di Kolombo, dengan harapan mendapat makanan sederhana.

Kenaikan harga pangan serta kelangkaan gas masak dan bensin telah membawa kesulitan bagi jutaan warga Sri Lanka, yang terjerat krisis ekonomi terburuk sejak merdeka dari Inggris pada 1948.

"Tidak ada penghasilan," kata Indrani, satu dari ratusan orang yang mengantri pada siang hari di dapur umum yang dikelola sebuah gereja.

"Tidak ada makanan hampir sepanjang waktu, kami sangat menderita," ujarnya.

Harga beras satu kilogram naik menjadi 250 rupee (sekitar Rp10.500) dari sebelumnya 90 rupee (sekitar Rp3.800) enam bulan lalu, katanya.

"Tidak ada makanan di rumah. Kami akan lebih menderita. Kami hanya ingin makan untuk bertahan hidup," ucap Indrani.

Puluhan relawan memasak nasi, memotong bawang, dan memarut kelapa. Mereka memasak di atas api terbuka di atap gereja yang dekat dengan gedung parlemen Sri Lanka karena kekurangan gas masak.

"Pangan dan bahan bakar sangat dibutuhkan," kata kepala operasional gereja Bethany Christian Life Centre, Akila Alles.

Gereja itu mendirikan dapur di 12 cabangnya dan menyajikan makanan kepada sekitar 1.500 orang per hari sejak Juni.

"Inflasi sangat tinggi sehingga orang tidak mampu membeli makan. Tanpa gas orang tidak bisa memasak, dan tanpa transportasi orang tidak bisa bekerja," kata Alles.

Program Pangan Dunia (WFP) pekan ini menyampaikan di Twitter bahwa kondisi Sri Lanka cukup suram sehingga lebih dari 5 juta warga dilaporkan terpaksa mengurangi frekuensi makan agar bisa bertahan hidup di hari berikutnya.

Protes menentang pemerintah Sri Lanka yang berlangsung selama berbulan-bulan memuncak pada Juli setelah ribuan orang menyerbu gedung-gedung pemerintah dan melengserkan mantan presiden Gotabaya Rajapaksa.

Protes tersebut diikuti masyarakat lintas agama dan etnis di negara Samudra Hindia dengan penduduk yang beragam itu.

Para biarawati Katolik dan biksu Buddha yang mengikuti aksi protes telah menjadi pemandangan biasa, dan komunitas masing-masing agama telah bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan kemanusiaan yang semakin besar.

Sejumlah sumbangan datang dari China dan Vietnam, dan seorang biksu Buddha memberikan sumbangan besar berupa beras ke gereja tersebut.

"Kadang-kadang orang yang datang ke sini tidak punya apa-apa," kata seorang juru masak sukarela bernama K. D. Irani yang sedang mengaduk satu kuali berisi lentil.

"Saya sudah berusia 66 tahun, tetapi saya belum pernah melihat krisis separah ini selama hidup saya. Kami melakukan upaya ini demi kasih pada sesama," ujar Irani.

Sumber: Reuters

Baca juga: Sri Lanka buka sekolah setelah tutup akibat kelangkaan bahan bakar
Baca juga: Presiden Sri Lanka perintahkan percepat pendistribusian bahan bakar
Baca juga: Kabinet menteri-menteri baru Sri Lanka dilantik

Penerjemah: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2022