Saat ini, hanya 8,6 persen dari ekonomi dunia yang melingkar, menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan,

Jakarta (ANTARA) - Sistem ekonomi yang eksploitatif dan merusak lingkungan yang berdampak pada perubahan iklim, efek rumah kaca serta pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan, sudah tak lagi relevan.

Beberapa negara kini mengubah haluannya ke ekonomi hijau atau green economy yang dinilai menjadi solusi dari sistem ekonomi reguler-konvensional yang selama ini dinilai cenderung merusak lingkungan.

Mengutip halaman resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ekonomi hijau diartikan sebagai suatu gagasan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara signifikan.

Dengan demikian, konsep ekonomi hijau ini dapat juga diartikan perekonomian yang rendah atau tidak menghasilkan emisi karbondioksida terhadap lingkungan, hemat sumber daya alam dan berkeadilan sosial.

Perbedaan ekonomi hijau dibanding gagasan ekonomi lainnya adalah penilaian langsung kepada modal alami dan jasa ekologis sebagai nilai ekonomi dan akuntansi biaya di mana biaya yang diwujudkan ke masyarakat dapat ditelusuri kembali dan dihitung sebagai kewajiban, kesatuan yang tidak membahayakan atau mengabaikan aset.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan rencana ekonomi hijau sebagai salah satu strategi utama transformasi ekonomi dalam jangka menengah panjang. Hal tersebut dilakukan untuk mempercepat pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19, serta mendorong terciptanya pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Salah satu bentuk ekonomi hijau yang akan dikerjakan adalah implementasi kebijakan harga karbon dalam bentuk carbon cap and trade, serta skema pajak karbon pada tahun 2023 mendatang.

Salah satu unsur dari ekonomi hijau merupakan efisiensi sumber daya yang berfokus pada peningkatan kesejahteraan yang lebih baik sambil mengurangi penggunaan sumber daya dan emisi.

Efisiensi sumber daya tersebut adalah berkaitan dengan penggunaan sumber daya dan manfaat yang diperoleh darinya, meliputi efisiensi bahan, efisiensi energi, efisiensi biaya dan pengurangan dampak negatif lingkungan.

Oleh karenanya, muncul istilah ekonomi sirkular. Low Carbon Development Indonesia menyampaikan ekonomi sirkular merupakan model yang berupaya memperpanjang siklus hidup dari suatu produk, bahan baku, dan sumber daya yang ada agar dapat dipakai selama mungkin.

Prinsip dari ekonomi sirkular itu sendiri oleh sejumlah pihak disebutkan mencakup pengurangan limbah dan polusi, menjaga produk dan material terpakai selama mungkin, dan meregenerasi sistem alam. Dengan kata lain, konsep ekonomi sirkular adalah mencapai lebih banyak dengan menggunakan lebih sedikit.

Ekonomi sirkular tidak hanya dapat membantu menghindari kehilangan pangan dan limbah makanan, misalnya dengan memperpendek rantai pasok, tetapi juga dapat membantu memanfaatkan kehilangan pangan dan limbah makanan untuk tujuan yang lebih produktif, seperti pembuatan kompos dan biogas.

Rantai nilai yang lebih terlokalisasi dan agrikultur regeneratif juga dapat menyebabkan peningkatan keanekaragaman hayati pertanian.

Berbagai penjelasan tersebut juga dapat menimbulkan sebuah pertanyaan, manakah yang lebih baik, ekonomi hijau atau ekonomi sirkular?

Sebenarnya, baik ekonomi hijau dan ekonomi sirkular memiliki tujuan yang sama yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus memenuhi tujuan sosial dan lingkungan. Namun, keduanya memiliki fokus yang berbeda.

Lembaga Waste4Change menyebut ekonomi hijau berfokus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi untuk tetap memperhatikan ketersediaan sumber daya alam yang ada serta keseimbangan ekologi agar berkelanjutan.

Sedangkan, ekonomi sirkular lebih berfokus pada optimalisasi penggunaan sumber daya, seperti memulihkan dan meregenerasi produk dan bahan, sehingga mengubah pola produksi dan konsumsi seperti penggunaan dan pembuangan menjadi pola melingkar.
Baca juga: Periset: Ekonomi hijau bisa diterapkan di industri kecil hingga besar

Tak terpisahkan

Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya menyebut ekonomi hijau dan ekonomi sirkular merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisah. Ia menyebut ekonomi sirkular yang fokus dalam aspek produksi akan menjadi bagian dari ekonomi hijau.

“SDGs salah satunya adalah green consumption, mungkin paling gampang besarnya SDGs dengan 17 goals dan sustainable production salah satunya, jadi jangan dipertentangkan,” katanya kepada Antara.

Ekonomi sirkular itu sendiri terdiri dari 5R yakni reduce, reuse, recycle, refurbish dan renew. Berly menilai ekonomi sirkular berkaitan erat dengan waste management (pengelolaan limbah) dengan pemerintah kabupaten/kota sebagai penanggung jawab.

Namun sayangnya kapasitas pemerintah kota/kabupaten berbeda satu sama lain, sehingga pengelolaan sampah antar kota/kabupaten berbeda-beda. Pemerintah daerah dinilainya perlu mendorong masyarakat agar terbiasa dengan pengelolaan sampah yang dimulai dengan pemilahan sampah yang bisa didaur ulang, sampah plastik dan sampah kaca.

Pemilahan itu, ujar dia, harus dimulai dari masyarakat karena jika baru dipilah di ujung seperti Bantar Gebang maka biayanya akan lebih besar dan tidak seefisien jika dipilah dari awal.

Contoh ekonomi sirkular yang berkembang adalah penerapan extended producer responsibility atau tanggung jawab produsen yang lebih luas khususnya menyangkut sampah atau limbah. Sehingga, produsen juga turut bertanggung jawab untuk mendorong ekonomi sirkular dengan menerapkan produksi yang sirkular.

Berly menyebut produsen memiliki kewajiban untuk mengelola sampah sejak awal dengan mendesain barang yang diproduksi dengan menggunakan konsep sirkular. Komponen produk yang akan digunakan harus cukup mudah dan ekonomis untuk didaur ulang, sehingga penggunaan energi dan bahan dapat lebih hemat dan secara bahan dapat di reduce yang kemudian tidak cepat merusak alam.

Tak jauh berbeda dengan Berly, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani menilai ekonomi sirkular dan ekonomi hijau saling beririsan dengan prinsip yang sama-sama berbasiskan kelestarian lingkungan. Bedanya, ekonomi sirkular lebih melibatkan masyarakat secara aktif untuk mengolah sampah.

Namun Hariyadi menilai bahwa saat ini pemerintah lebih berfokus kepada ekonomi hijau. Hal tersebut salah satunya terlihat pada pemberian insentif kepada renewable energy serta arah kebijakan yang jelas menuju net zero emission. Sedangkan insentif terhadap pengolahan sampah yang melibatkan masyarakat secara langsung belum terlihat.

Ia menilai bahwa seharusnya ada insentif berupa pajak serendah mungkin atau kalau bisa dinolkan. Kemudian dari sisi regulasi juga dapat dibuat seperti pengolahan oli bekas dan industri daur ulang bisa diberikan insentif yang maksimal sehingga masyarakat yang mengumpulkan oli bekas juga mendapat manfaat.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dengan adanya regulasi dan insentif yang lebih jelas termasuk cetak biru menuju ekonomi hijau, para pelaku usaha juga lebih bersemangat untuk terjun ke ekosistem ekonomi hijau.
Baca juga: Ekonom: Perlu pendekatan masif untuk terapkan ekonomi sirkular

Butuh komitmen

Pemerintah, sebutnya, hanya butuh menunjukkan komitmen terhadap pengelolaan ekonomi hijau. Seperti pungutan dari pajak karbon dikembalikan kepada industri dalam bentuk insentif untuk mengakselerasi tercapainya tujuan dari ekonomi hijau itu sendiri.

Sedangkan untuk mengerahkan ekonomi sirkular, selain memberikan insentif, ia menilai perlu memberikan sosialisasi untuk mengajak sebanyak mungkin perusahaan dan masyarakat untuk terlibat.

“Jadi cerita kelompok yang sukses dalam ekonomi sirkular harus disebarkan sebagai testimoni. Pokoknya intinya ekonomi hijau itu sudah diinstruksikan oleh pemerintah ya harus jalan, misalnya tentang solar yang harus dicampur dengan biosolar jadi B30,” ucap dia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan potensi ekonomi sirkular sangat besar. Bagi Indonesia sendiri akan menghasilkan tambahan PDB sebesar Rp593-638 triliun. Menurutnya, ekonomi sirkular memiliki peranan penting dalam mendukung sasaran berkelanjutan dengan merancang pengurangan limbah dan polusi dari sistem ekonomi, selain ekonomi biru dan hijau.

Dalam bidang ekonomi sirkular, Menko Airlangga mendorong pengolahan limbah dan juga proses produksi yang dapat didaur ulang, sehingga siklus penggunaannya lebih panjang. Dengan daur ulang, pemerintah menargetkan untuk mengurangi limbah pada setiap sektor sebesar 18,25 persen, mengurangi emisi CO2 126 juta ton dan hemat penggunaan air sampai 6,3 miliar kubik.

Lima sektor prioritas dalam implementasi ekonomi sirkular adalah makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, ritel yang berfokus pada kemasan plastik, serta elektronik. Ekonomi sirkular juga dapat menyerap 4,4 juta tenaga kerja pada tahun 2030 dengan 75 persennya merupakan tenaga kerja perempuan.

"Saat ini, hanya 8,6 persen dari ekonomi dunia yang melingkar, menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan,” kata Airlangga.

Sedangkan untuk ekonomi hijau, Pemerintah Indonesia telah menetapkan rencana ekonomi hijau sebagai salah satu strategi utama transformasi ekonomi dalam jangka menengah panjang. Melalui perwujudan ekonomi hijau itu diharapkan dapat membantu Indonesia terlepas dari jebakan negara menengah atau middle income trap sehingga Visi Indonesia 2045 dengan negara berpendapatan tinggi dapat terwujud.

Baca juga: Core: Pelaku usaha perlu penyesuaian penerapan ekonomi sirkular

Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2022