Kairo (ANTARA) - Ketika puluhan hakim Tunisia pada Juni berdemonstrasi untuk memprotes pemecatan 57 rekan mereka, unggahan-unggahan mengerikan tentang perempuan penegak hukum mulai muncul di Facebook.
Sebuah unggahan mengatakan bahwa polisi telah memerintahkan tes keperawanan dilakukan terhadap salah satu dari mereka pada 2020. Unggahan itu disertai gambar yang disebut-sebut sebagai laporan medis.
Unggahan lain mengincar Khaira bin Khalifa dan menuduhnya pernah didakwa dengan pasal perzinahan.
"Saya dihancurkan, dan keluarga saya difitnah hanya karena masalah pribadi," kata Bin Khalifa dalam pertemuan darurat Asosiasi Hakim Tunisia.
Aksi protes bulan lalu itu digelar setelah pemecatan massal hakim dilancarkan pada awal Juni oleh Presiden Kais Saied.
Saied mendesak referendum dilangsungkan pada Senin atas konstitusi baru, yang akan memformalkan kekuasaan yang direbutkan.
Di Tunisia dan negara-negara Arab lain, pengungkapan informasi pribadi di media sosial –dikenal sebagai doxxing-- kian banyak dipakai untuk mempermalukan dan mengintimidasi kalangan perempuan, demonstran anti pemerintah, dan aktivis LGBTQ+.
"Doxxing merupakan taktik represif, terutama ketika digunakan terhadap anggota masyarakat paling rentan, seperti kaum perempuan dan aktivis sesama jenis," kata Marwa Fatafta dari Access Now, kelompok pembela hak digital.
"Intinya, informasi pribadi Anda dijadikan senjata yang diarahkan terhadap Anda," kata Fatafta, manajer kebijakan Access Now untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA).
Keberadaan kaum perempuan di dunia maya dan popularitas platform media sosial seperti Facebook dan Twitter telah membuat doxxing dan bentuk pelecehan daring lainnya meluas.
Laporan survei PBB pada tahun lalu di delapan negara Arab, termasuk Yordania, Lebanon, Maroko dan Tunisia, menemukan sekitar separuh pengguna internet perempuan merasa tidak aman karena pelecehan daring.
"Kekerasan daring menjadi ancaman serius bagi kesehatan mental dan keselamatan fisik perempuan," tulis laporan itu.
Survei tersebut juga menemukan bahwa banyak perempuan yang menjadi target akhirnya melakukan sensor sendiri atau sekaligus menarik diri dari dunia daring.
Implementasi Setengah Hati
Di seluruh kawasan itu, beberapa negara telah memiliki undang-undang yang mencegah pelecehan dan intimidasi terhadap perempuan.
Undang-undang Tunisia 2017 tentang kekerasan pada perempuan mencantumkan definisi yang luas tentang kekerasan, termasuk yang terkait dengan ekonomi, seksual, politik, dan psikologi.
Mesir, Lebanon, dan Arab Saudi juga menjatuhkan sanksi terhadap pelecehan di media sosial, sedangkan undang-undang hukum pidana Maroko merujuk pada beragam jenis kekerasan daring.
Namun, implementasinya setengah hati, kata Kepala Pusat Pembangunan dan Hukum Kairo Entessar El-Saeed.
"Otoritas tidak menegakkan hukum tersebut," kata dia.
Dia mengatakan banyak perempuan terlalu takut untuk melaporkan pelecehan seksual daring karena alasan terkait stigma sosial dan proses hukum berlarut-larut yang sering tidak menghasilkan apa-apa.
Pelecehan daring bisa menimbulkan konsekuensi tragis di kawasan itu, yang sebagian besar masyarakatnya masih konservatif.
Dua remaja Mesir pada tahun lalu tewas bunuh diri setelah diancam bahwa foto-foto intim mereka akan disebarkan di internet.
Foto-foto dan percakapan pribadi sejumlah jurnalis dan aktivis perempuan di kawasan itu bocor di internet tahun lalu setelah gawai mereka diretas dengan Pegasus, sebuah piranti lunak untuk memata-matai.
Para pejabat pemerintah tidak berkomentar atas peretasan itu.
Serangan doxxing terhadap hakim-hakim yang berdemonstrasi menjadi insiden terbaru di Tunisia sejak Saied memerintah seorang diri tanpa diawasi parlemen.
Kelompok-kelompok pro pemerintah menyebarkan foto, nomor telepon, dan alamat rumah puluhan perempuan dan aktivitas LGBTQ+ untuk membungkam mereka, kata Fatafta.
Namun dalam beberapa kasus, doxxing telah digunakan di kawasan itu untuk menuntut tanggung jawab pejabat publik.
Para aktivis di Lebanon menyebarkan informasi pribadi dan lokasi terkini para politisi yang mereka persalahkan atas keruntuhan finansial negara itu.
Platform 'Malas'
Kelompok-kelompok aktivis sedang menggagas upaya untuk melarang praktik-praktik tersebut.
Access Now memiliki saluran digital yang aman untuk membantu tugas aktivis dan jurnalis serta melaporkan kasus-kasus doxxing ke penyedia layanan media sosial.
Di Mesir, sebuah platform bernama Qawem ("lawan" dalam bahasa Arab) membantu para perempuan yang mengalami pemerasan seksual (sextortion) dan pelecehan daring.
Platform nirlaba itu, yang memiliki sekitar 980.000 pengikut di Facebook dan 10.000 pengikut di Instagram, menerima ratusan pesan setiap hari dari perempuan yang mengalami pemerasan dan pelecehan daring, kata pendiri Qaweem Mohamed Elyamani.
Ratusan relawan perempuan menawarkan dukungan psikologis, menyelidiki keluhan, dan membantu para korban menyelesaikan persoalan, kata Elyamani.
Platform-platform media sosial tidak cukup berbuat untuk menindak pelecehan daring di aplikasi mereka, kata Rasha Abdulla, profesor jurnalistik dan komunikasi massa di American University, Kairo.
"Cuma perlu sebentar untuk memfitnah seseorang di media sosial, dan di kawasan kami, platform-platform menjadi sangat malas untuk menghilangkan kasus-kasus doxxing," kata dia.
"Data pribadi biasanya perlu waktu lama untuk dihapus, dan biasanya (dihapus) setelah kerusakan telah terjadi," kata dia.
Facebook dan Twitter tidak menanggapi permintaan untuk berkomentar.
Setelah hakim-hakim perempuan di Tunisia mengalami doxxing pada Juni, sekelompok organisasi HAM mendesak penyusunan undang-undang khusus tentang kekerasan siber terhadap perempuan.
Desakan itu muncul di tengah kekhawatiran terhadap tindakan keras yang melanggar hak publik setelah referendum konstitusi pada Senin.
"Konstitusi ini memerlukan pasal-pasal yang jelas dan lugas untuk melindungi perempuan dari kekerasan daring," kata El-Saeed.
Sumber: Thomson Reuters Foundation
Baca juga: Facebook diminta tegas tangani "doxing"
Baca juga: Meta akan siapkan pengaturan terkait berbagi alamat rumah
Kominfo akan luncurkan buku pintar panduan penegakan UU ITE
Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2022