Kayu yang menjadi bahan baku bangunan akan menyimpan karbon dari udara

Bogor (ANTARA) - Organisasi nirlaba global Forest Stewardship Council (FSC) menyatakan bahwa bahan kayu jauh lebih ramah lingkungan untuk kebutuhan konstruksi dalam bangunan.

"Banyak peneliti sepakat bahwa kayu jauh lebih ramah lingkungan di mana karbon pada kayu tetap tersimpan walaupun telah ditebang dan berpindah dari hutan," kata FSC Indonesia Country Manager Hartono Prabowo dalam taklimat media kepada ANTARA di Bogor, Jawa Barat, Senin.

FSC adalah organisasi nirlaba global yang didedikasikan untuk mempromosikan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab di seluruh dunia.

Sebagai solusi pengelolaan hutan lestari paling terpercaya di dunia, sertifikasi FSC memastikan bahwa hasil hutan dikelola dan dipanen secara bertanggung jawab.

Ia menjelaskan krisis iklim membuat banyak pihak mencari alternatif bahan baku yang menghasilkan emisi yang rendah karbon untuk bangunan.

"Problemnya adalah stigma yang berkembang bahwa kekuatan kayu tidak dapat menyamai kekuatan besi dan beton," katanya menegaskan.

Industrialisasi, kata dia, telah menggeser penggunaan kayu di bidang konstruksi seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang menuntut pembangunan yang serba cepat.

Tumbuhnya inovasi dan teknologi menghasilkan besi, baja, dan semen, dan beton sebagai bahan baku bangunan yang dapat menjawab tantangan industrialisasi.

Namun, katanya, beton, besi, baja, dan semen sebagai material tak terbarukan diproduksi dengan proses yang menghasilkan emisi tinggi yang berasal dari bahan bakar fosil yang tak terbarukan dan menghasilkan polusi yang membahayakan.

Hartono Prabowo merujuk penelitian dalam jurnal Material Science and Engineering pada tahun 2017 yang diterbitkan oleh IOP Publishing, yang menyatakan bahwa kayu digunakan sebagai bahan konstruksi karena ketahanan api, karakteristik struktural yang baik dan sifat insulasi.

Laporan itu menyebutkan munculnya teknologi baru pengolahan kayu dan bahan berbasis kayu telah mengubah kayu menjadi bahan berteknologi tinggi, sehingga kayu mulai bersaing dengan baja dan beton, yang pada akhirnya mendorong para arsitek untuk mempertimbangkan menggunakan kayu lebih banyak dalam proyek.

Sementara itu dalam studi Postdam University yang dipublikasikan di jurnal Nature Sustainability edisi 27 Januari 2020, ada 2 alasan kayu dapat digunakan sebagai bahan baku utama gedung dan rumah.

Pertama, produksi semen menggunakan bahan bakar fosil tak terbarukan, yang menyumbang 8 persen emisi global pada 2018 dari total 11 miliar ton emisi setara CO2. Jumlah ini jauh lebih banyak ketimbang produksi emisi penerbangan yang hanya 2,4 persen.

Kedua, kayu yang menjadi bahan baku bangunan akan menyimpan karbon dari udara.

Karena itu, kata dia, industri konstruksi di Amerika, Eropa, dan Asia Pasifik telah kembali menggunakan kayu, karena pertimbangan ramah lingkungan.

Sedangkan di Belanda dan Inggris telah mengizinkan konstruksi gedung memadukan kayu dan beton, demikian Hartono Prabowo.

Baca juga: FSC luncurkan standar sertifikasi SPH Petani-Hutan di Yogyakarta

Baca juga: 26 ribu lebih hektare hutan rakyat Indonesia sudah tersertifikasi FSC

Baca juga: Kick-off meeting sertifikasi FSC 2022: bukti komitmen Korindo mengelola hutan yang lestari

Baca juga: Konsumen Indonesia diajak peduli pada hutan

Pewarta: M Fikri Setiawan
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022