Ancaman nyata pada kelangsungan hidup babi rusa, berupa perburuan, perdagangan, pembalakan liar, dan peralihan fungsi hutan lindung menjadi lahan budi daya
Gorontalo (ANTARA) - Dalam jurnal Sistematika Babirusa yang ditulis Colin P. Groves pada tahun 1980, babi rusa (Babyrousa) telah menarik perhatian luas, baik di Indonesia maupun Eropa.
Babi rusa digambarkan sebagai hewan yang dipelihara dan dikembangbiakkan oleh penguasa-penguasa di Sulawesi pada zaman dahulu.
Hewan ini menjadi persembahan para penguasa kepada negarawan yang berkunjung, sebagai bentuk hadiah diplomatik.
Groves juga mengungkapkan babi rusa biasanya dikelompokkan menjadi satu dengan babi hutan (Sus scrofa), tetapi keduanya tidak mempunyai nenek moyang yang sama sejak zaman oligosen.
Saat sekarang, babi rusa tidak lagi disajikan sebagai hadiah bagi tamu istimewa, tetapi dagingnya dijual di sejumlah pasar tradisional di Sulawesi Utara.
Dalam hasil penelitian H.J. Kiroh dkk yang dipublikasikan tahun 2020, daging babi rusa masih beredar dan diperdagangkan pada beberapa pasar tradisional di Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Pasar yang dimaksud adalah Pasar Tondano, Remboken, Kawangkoan, Langowan, dan Tanawangko.
Penelitian itu juga mengungkapkan bahwa daging babi rusa yang beredar di pasar-pasar tersebut, dipasok dari Sulawesi Tengah sebanyak 58 persen, Gorontalo 25 persen, dan Bolaang Mongondow 17 persen.
Baca juga: Babirusa jadi tema Hari Keanekaragaman Hayati di Gorontalo
Penelitian yang dilakukan Rosyidi dan Wibowo tahun 2020 juga mengungkapkan bahwa kasus penurunan populasi babi rusa di Sulawesi Utara, salah satunya disebabkan oleh konsumsi masyarakat lokal non-Muslim yang masih tinggi.
Satwa istimewa
Babi rusa adalah satwa istimewa di hutan Gorontalo. Masyarakat umum mungkin sering mendengar nama babi rusa, namun sedikit dari mereka yang pernah melihat secara langsung di alam.
Menurut Internasional Union for the Conservation of Nature (IUCN), babi rusa termasuk dalam jenis yang terancam punah atau kategori rentan. Babi rusa juga dilindungi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Satwa endemik di Kawasan Wallacea ini memiliki habitat di Pulau Sulawesi, Togian, Malenge, Sula, Buru, dan Maluku.
Specialist Biodiversity dari Biodiversitas Gorontalo (Biota), Hanom Bashari, mengungkapkan dahulu hanya dikenal satu jenis babi rusa, namun sejak tahun 2000 beberapa subjenis telah dipisahkan.
Hingga saat ini dikenal tiga spesies babi rusa, yakni Babi Rusa Togean (Babyrousa togeanensis), Babi Rusa Sulawesi (Babyrousa celebensis), dan Babi Rusa Berambut Lebat (Babyrousa babyrussa).
Satu jenis lainnya, yakni Babyrousa bolabatuensis di Sulawesi Selatan diperkirakan sudah punah dan hanya ditemukan fosilnya.
Babi rusa jantan memiliki ciri khas sepasang taring yang melengkung ke atas, namun tidak pernah sampai menusuk bagian kepalanya.
Berdasarkan pengamatan Hanom di lapangan, Babi Rusa Sulawesi biasanya hidup berkelompok meskipun kadang-kadang juga tampak sendiri.
Satwa liar ini memiliki anak satu hingga dua ekor dengan matang kelamin setelah berumur empat tahun serta dapat hidup hingga 20 tahun.
Baca juga: Meranti merah jadi petunjuk daerah jelajah babirusa di Pulau Buru
Habitat Babi Rusa Sulawesi umumnya di hutan primer dataran rendah. Mereka biasanya mendatangi lembah, area datar, dan tepi sungai. Kadang kala hewan ini juga mendatangi tepi hutan primer yang berbatasan dengan hutan sekunder.
Habitat khusus babi rusa di area rawa atau tergenang air karena untuk berkubang serta mata air bergaram untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan mineral.
Sebagai hewan omnivora, babi rusa makan buah-buahan, terutama rao dan pangi serta hewan kecil, seperti ulat, cacing, reptil kecil, ikan, dan burung.
Ancaman
Suaka Margasatwa Nantu dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) Provinsi Gorontalo tempat terbaik untuk mengamati babi rusa dan perilakunya di alam. Meski demikian, kelestarian babi rusa di dua kawasan ini tetap memiliki ancaman.
Ancaman nyata pada kelangsungan hidup babi rusa, berupa perburuan, perdagangan, pembalakan liar, dan peralihan fungsi hutan lindung menjadi lahan budi daya.
Pada era tahun 2000-an disebut oleh Hanom, perburuan babi rusa di TNBNW masih masif. Banyak rakit bambu yang mengikuti arus Sungai Bone membawa hasil tangkapan babi rusa dan babi hutan, kadang-kadang ada anoa juga.
Namun, sekitar 10 tahun terakhir kasus ini sudah jarang terjadi di TNBNW.
Terkait dengan perlindungan babi rusa, sudah ada Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor 55 Tahun 2013 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Babirusa tahun 2013-2022.
Beberapa hal yang tercantum dalam dokumen SRAK, yakni mempertahankan hutan primer yang tersisa di Sulawesi, menghentikan perburuan yang masih terjadi secara masif di beberapa tempat, serta aksi bersama.
Oleh karena strategi dengan rentang waktu hingga tahun 2022 tersebut tidak pernah betul-betul dijalankan, SRAK terkesan sebatas dokumen. Setidaknya, dia hingga saat ini belum melihat evaluasi atas pelaksanaan strategi tersebut.
Berbagai program yang termasuk dalam strategi konservasi babi rusa, dikatakan oleh Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) 1 TNBNW Bagus Tri Nugroho, telah dilaksanakan, di antaranya pengendalian perburuan dan perdagangan ilegal babi rusa.
Babi rusa adalah satu di antara empat satwa prioritas utama yang dilindungi di kawasan TNBNW, selain anoa, burung Maleo, dan Musang Sulawesi.
Program lainnya, misalnya pengelolaan habitat, pembangunan sistem pangkalan data, peningkatan peran lembaga konservasi, komunikasi dan penyadartahuan publik, pengembangan kerja sama dan kemitraan, serta pendanaan yang berkelanjutan.
Setiap tahun, pihaknya melakukan kegiatan monitoring rutin babi rusa dengan metode transek, jumlah poin, dan pemasangan kamera jebak.
Saat ini, pihaknya memprioritaskan pemantauan babi rusa menggunakan kamera jebak. Kamera dipasang di 50 lokasi yang bisa melakukan perekaman selama tiga bulan. Hasilnya, kamera di setiap titik merekam adanya babi rusa.
Hasil pemantauan tersebut dapat menggambarkan tingkat okupansi atau hunian babi rusa di TNBNW.
Baca juga: Akhirnya wujud babirusa yang dianggap mitos itu terekam
Selain TNBNW, kawasan yang juga menjadi habitat babi rusa adalah Suaka Margasatwa Nantu yang secara administrasi terletak di Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Boalemo, dan Kabupaten Gorontalo Utara.
Pada tahun 1999, Suaka Margasatwa Nantu ditetapkan dengan luas 31.215 hektare, kemudian diperluas pada tahun 2010 menjadi 51.507,33 hektare berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 325/Menhut-II/2010.
Keberadaan hutan Nantu yang masih terjaga, memiliki arti penting untuk kelestarian habitat babi rusa.
Meskipun demikian, sebagaimana dikatakan Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo, bukan berarti kondisi Nantu bebas dari risiko dan ancaman.
Salah satu ancaman yang nyata adalah kegiatan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Boliyohuto, Kabupaten Gorontalo karena dikhawatirkan berdampak pada ekosistem hutan Nantu.
Untuk mempertahankan hutan ini, pihaknya mengusulkan perubahan HPT Boliyohuto menjadi taman hutan rakyat (tahura). Dengan lokasi HPT Boliyohuto yang berbatasan dengan Nantu, kerusakannya bisa berimbas terhadap hutan Nantu sebagai habitat babi rusa.
Dengan status tahura, kawasan itu juga dapat berfungsi sebagai zona penyangga bagi Nantu. Usulan perubahan kawasan tersebut sudah melalui kajian serta telah diajukan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Upaya tersebut diyakini dapat membantu melindungi kawasan Nantu serta mempertahankan kelestarian babi rusa di habitat alam setempat.
Baca juga: Pihak berwajib awasi serius anoa, babirusa, yaki dan maleo
Baca juga: Anoa dan babirusa punah
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022