Baca juga: DKI ajak pengusaha terjun dalam bidang pengolahan sampah
Sejak 2003, ia ingin melakukan sesuatu untuk masyarakat di sekitar kampusnya, kemudian matanya tertuju terhadap banyak sampah berupa kain bekas dari pabrik konveksi di wilayah kampung Bandan, Jakarta Utara.
Bambang berpikir sangat disayangkan sampah kain yang banyak ini tidak dimanfaatkan oleh masyarakat Kampung Bandan, padahal jika mereka mau memanfaatkan kain tersebut dapat menambah pundi-pundi rupiah.
Akhirnya, Bambang mengajak salah seorang penduduk sekitar yang bernama Muklis Hayat untuk bekerja sama memanfaatkan sampah kain tersebut, gayung bersambut Muklis pun mau untuk memulai usaha pemanfaatan limbah tersebut.
Semua hal pasti tidak mudah di awal, ini juga terjadi dengan Bambang dan Muklis yang kesulitan untuk mengajak para masyarakat sekitar memanfaatkan sampah tersebut, penolakan demi penolakan sudah menjadi "makanan" biasa, namun mereka tidak patah arang dan tetap terus mencoba.
Dari semua penolakan yang mereka terima ada juga dari beberapa warga yang mau menerima ajakan keduanya untuk dapat diajari cara mengelola sampah kain tersebut. Para warga mulai diajarkan dari mulai memilah sampah kain lalu mengumpulkan dan dibuat dengan cara dijahit hingga menjadi kain majun.
Baca juga: Pemprov DKI targetkan saringan sampah Ciliwung selesai Desember
Rumah Kreatif Darumpah
Harapan impian semakin nyata karena banyak para warga yang sudah mau berpartisipasi dan produksi kain majun, Bambang dan Muklis mulai berpikir untuk membentuk sebuah komunitas.
Setelah berdiskusi akhirnya pada 2005, keduanya sepakat untuk mendirikan suatu komunitas yang diberi nama Rumah Kreatif Daur Ulang Sampah (Darumpah) tepatnya di Duren sawit, Jakarta Timur.
Sukses melalui kain majun, Bambang dan Muklis merasa jika sampah kain saja sepertinya tidak cukup untuk mengurangi limbah yang ada. Kedua pria itu mulai memperhatikan sampah apa lagi yang kira-kira dapat dimanfaatkan.
Dosen yang berusia 56 tahun ini tidak sengaja melihat banyaknya sampah kertas dari dokumen perusahaan, sekolah, dan sebagainya. Akhirnya muncul ide bagaimana memanfaatkan sampah tersebut.
Muklis yang memiliki ide kreatifitas tinggi, memberi saran untuk mengolah sampah kertas menjadi barang yang bernilai, tidak hanya dikumpulkan, ditimbang dan dibayar dengan murah oleh pengepul.
Mulailah pria berusia 49 tahun tersebut berkreasi dengan peralatan sederhana dan modal yang sangat minim, dia mengumpulkan kertas bekas lalu diproses hingga menjadi benda-benda unik, seperti bros, amplop dan lain sebagainya.
Selain memberikan pelatihan kepada para warga yang dewasa, Rumah Kreatif Darumpah juga memberikan edukasi kepada siswa-siswi usia dini dari tingkat dasar sampai berkebutuhan khusus.
Dosen yang memiliki tiga anak tersebut bertujuan supaya anggota komunitas bisa mempertajam imajinasi dan fungsi psikomotorik mereka agar dapat membuat sesuatu yang baru dari bahan dasar sampah serta memberikan kesadaran dan kepekaan terhadap kebersihan lingkungan sekitarnya.
Sebagai seorang pengajar pada perguruan tinggi, Bambang juga memiliki beberapa teman yang ternyata tertarik dengan kerajinan yang dikelola olehnya, sehingga meminta Rumah Kreatif Darumpah untuk memberikan pelatihan "workshop" bagi pekerja yang akan segera pensiun.
Baca juga: DKI kurangi 1.600 kilogram limbah B3 dan elektronik per tiga bulan
Eceng Gondok
Seiring berjalan waktu, Bambang dan Muklis mulai merasakan jenuh dengan limbah kertas yang ada, mereka mulai mencoba berinovasi dan melakukan serangkaian uji coba terhadap eceng gondok dan gedebog pisang.
Alasan mereka memilih dua bahan tersebut adalah eceng gondok itu merupakan gulma yang sangat mengganggu dan sangat disayangkan jika eceng gondok hanya dibersihkan oleh masyarakat lalu dibuang.
Kemudian gedebog pisang yang banyak dibiarkan begitu saja oleh masyarakat sehingga hanya menjadi limbah di lingkungan.
Setelah berbagai cara dan upaya keduanya berhasil membuat produk kertas yang memiliki tekstur unik tapi memiliki kekurangan di warna kertas yang dihasilkan tidak seputih seperti yang diproduksi pabrik, tapi memiliki struktur yang lebih kuat.
Produk mulai mereka kembangkan dari hanya lembaran kertas saja berkembang menjadi pajangan dinding, vas bunga, goodiebag untuk tas belanja.
Hasil tersebut menjadikan sampah-sampah enceng gondok dan gedebog pisang lebih bernilai dan lebih dilirik oleh calon konsumen karena keunikannya sehingga menambah penghasilan bagi para anggota Rumah kreatif Darumpah.
Bagi pendiri Rumah kreatif Darumpah, Bambang dan Muklis hanya ingin bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Bahkan, sekalipun Bambang besar di dunia perguruan tinggi tidak merasa gengsi untuk terjun langsung ke para warga untuk memberikan ilmu serta pelatihan secara cuma-cuma demi memperbaiki ekonomi.
Baca juga: Anies bakal berikan disinsentif kepada perusahaan tak pilah sampah
Editor: Taufik Ridwan
Copyright © ANTARA 2022