Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko mengatakan aturan baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan memperkuat industri financial technology (fintech) pendanaan dan menyukseskan agenda G20 Indonesia, yakni transformasi ekonomi digital.

Dengan demikian pelaku industri fintech pendanaan yang merupakan anggota AFPI bersiap memenuhi seluruh ketentuan baru tersebut yang tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.

“Pelaku industri maupun asosiasi bahkan jauh-jauh hari sudah melakukan penyesuaian. Dalam POJK terbaru ada klausul yang mana pemenuhannya diberikan ruang penyesuaian hingga tiga tahun ke depan pasca diberlakukannya,” kata Sunu dalam diskusi media secara daring di Jakarta, Jumat.

Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah pun menambahkan, untuk memperkuat industri fintech pendanaan di Tanah Air, pelaku industri telah melakukan berbagai langkah termasuk menyesuaikan aturan-aturan di AFPI.

Langkah penyesuaian yang dimaksud antara lain, seluruh penyelenggara fintech pendanaan legal atau anggota AFPI hanya boleh mengakses data peminjam berupa CAMILAN (kamera, mikrofon, dan lokasi). Jika ada yang melebihi akses CAMILAN ini, sudah dipastikan itu merupakan pinjaman online ilegal.

AFPI juga menyelenggarakan pelatihan dan sertifikasi untuk penyelenggara fintech, khususnya kepada komisaris, direksi, dan pemegang saham dalam rangka peningkatan kompetensi, selain sertifikasi kepada tenaga penagihan, layanan nasabah, dan jabatan-jabatan lainnya secara bertahap.

Menurut Kuseryansyah, pelatihan dan sertifikasi ini bertujuan untuk membangun industri fintech pendanaan yang andal dam sehat dalam mendukung akselerasi peningkatan inklusi keuangan dengan memastikan para anggota AFPI melakukan praktek bisnis beretika, sesuai Pedoman Perilaku AFPI yang berkomitmen tinggi terwujudnya perlindungan konsumen secara maksimal.

Adapun pelatihan dan sertifikasi terhadap tenaga penagihan telah terlihat dampaknya. Dari data pengaduan yang masuk ke AFPI melalui lama resmi AFPI, terlihat tren penurunan pengaduan dimana per Mei 2022 tercatat ada 165 pengaduan terverifikasi atau lebih kecil dari April 2022 yang sebanyak 182 pengaduan, bahkan Maret 2022 sebanyak 221 pengaduan.

Pengaduan yang dimaksud terbagi dua jenis, yakni pengaduan terkait penagihan tidak beretika dan pengaduan lainnya.

Terkait data, AFPI juga telah mengembangkan Fintech Data Center (FDC) yang mengintegrasikan data antara penyelenggara fintech pendanaan satu dengan lainnya. Data center atau pusat data digunakan untuk menghindari terjadinya fraud, mencegah pinjaman berlebih, mengantisipasi kredit macet karena akan mendeteksi atau mencegah calon peminjam mengajukan pinjaman di beberapa platform secara bersamaan atau berlebihan.

Dengan begitu, platform fintech pendanaan dapat berpikir ulang untuk menyetujui permohonan dari peminjam yang memiliki catatan pembayaran pinjaman yang tidak baik.

“Industri fintech pendanaan akan terus berkolaborasi mendukung fokus penyelenggaraan Presidensi G20 Indonesia 2022 yakni transformasi ekonomi digital. Peran nyata para anggota AFPI adalah meningkatkan akses keuangan secara digital kepada masyarakat yang underbanked dan underserved, sehingga ke depannya turut mempercepat pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi,” ujar Kuseryansyah.

Baca juga: AFPI sebut kaum muda jadi mayoritas peminjam di aplikasi pinjol

Baca juga: AFPI cegah penagih pinjaman tak beretika lewat sertifikasi

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022