Jakarta (ANTARA) - Baru-baru ini Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, mengungkap pentingnya keuangan berkelanjutan atau “sustainable finance” sebagai komitmen pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada forum G20.
“Sustainable finance” sering juga diartikan sebagai ekonomi hijau berupa dukungan menyeluruh dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup demi keberlanjutan kehidupan manusia.
Dukungan pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tentu disambut baik oleh banyak ilmuwan di berbagai bidang tidak terkecuali ilmuwan ilmu tanah. Tanah dengan selimut tipis atmosfer di atasnya merupakan tubuh alam tempat manusia, hewan, dan tumbuhan hidup yang perlu dijaga.
Tanah yang sehat merupakan kunci untuk menyelamatkan planet bumi dari beragam persoalan peradaban manusia seperti krisis pangan, krisis air, krisis energi, hilangnya keragaman hayati, rusaknya ekosistem, dan tentu perubahan iklim.
Ir Jarot Indarto, Ph.D, perencana senior, dari Bappenas, mengulas dengan apik hubungan tanah dengan planet bumi saat Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) merayakan ulang tahun yang ke-50 pekan ini di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
Menurutnya, kehidupan yang sehat di muka bumi bermula dari tanah yang sehat. Ia melukiskan bahwa tanah sehat dapat menghasilkan tanaman dan hewan yang hidup sehat sehingga manusia yang mengkonsumsinya sehat.
Berikutnya manusia sehat membuat hubungan komunitas masyarakat yang sehat sehingga ekonomi masyarakat tersebut sehat yang kemudian berujung pada planet yang lebih sehat.
“Sustainable finance” memang tak dapat dilepaskan dengan komunitas ilmu tanah yang turut berupaya mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan alias Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) yang telah menjadi kesepakatan dan agenda bersama.
Dua tahun silam, Deyi Hou, dari School of Environment, Tsinghua University, Beijing, China, bahkan membuka mata semua pihak bahwa 8 dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan tanah sebagai inti penopangnya. Delapan SDGs itu adalah 1, 2, 3, 6, 7, 12, 13, dan 15.
Komitmen untuk mewujudkan dunia tanpa kemiskinan (1), tanpa kelaparan (2), hidup sehat dan sejahtera (3), tersedianya air bersih dan sanitasi layak (6), energi bersih dan terjangkau (7), konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab (12), penanganan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim (13), dan ekosistem yang melindungi semua kehidupan spesies di planet bumi (15) tak mungkin terwujud bila tanah sebagai tubuh alam dengan selimut tipis atmosfer di atasnya rusak.
Jauh sebelum Hou mengungkap hubungan tanah dengan SDGs, ilmuwan tanah di dunia sebenarnya telah mengakui hubungan tanah bukan hanya dengan tanaman, tetapi juga dengan manusia termasuk peradaban manusia.
Hubungan tanah dengan manusia sangat erat sejak awal manusia hadir di muka bumi. Manusia (“human”) atau dalam biologi disebut spesies Homo sapiens berhubungan dengan tanah karena ‘human dan homo’ seakar kata dengan ‘humus’ yang bermakna tanah yang hidup.
Humus dapat diartikan sebagai bahan organik tanah yang paling stabil. Humus sering disebut juga ‘ruh’ dari tanah. Ada juga yang menjuluki humus sebagai ‘bunga-bunga’ tanah.
Kehadiran humus pada lapisan terluar permukaan bumi itu menjadi penanda kehidupan di muka bumi yang tidak ditemukan di planet manapun.
Tanpa kehadiran bahan organik, maka material di permukaan bumi tidak dapat disebut tanah seperti dipahami ilmuwan tanah. Ia hanya sekumpulan bahan lepas seperti yang ditemukan di permukaan benda langit seperti Planet Mars atau satelit bulan.
Di atas tanah itulah tumbuhan, hewan, dan manusia hidup. Tanpa tanah (berupa bahan unik nan lembut yang menyelimuti permukaan bumi) maka tidak akan ada kehidupan.
Demikian pula Adam, nama manusia pertama juga bermakna tanah dalam Bahasa Ibrani yang kemudian populer dalam agama-agama Ibrahim.
Unsur Sama
Menurut Ketua Umum Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), Prof. Budi Mulyanto, unsur penyusun tanah dengan manusia adalah sama.
Hal itu terbukti bila abu jenazah manusia dianalisis di laboratorium, maka penyusun tubuh manusia dengan tanah sama. Penyusun tubuh manusia, hewan, dan tumbuhan ternyata sama yang membuktikan kehidupan di muka bumi benar berasal dari tanah.
Tujuh tahun lalu Rattan Lal, dari The Ohio State University, mengulas dengan elok hubungan tanah dengan perdamaian umat manusia dan keberlanjutan hidup manusia dalam artikel berjudul The soil–peace nexus: our common future di jurnal Soil Science and Plant Nutrition.
Rattan mengutip pidato Norman Borlaug, peraih nobel pada era 70-an yang menyatakan: “Jika Anda menginginkan perdamaian, tanamlah keadilan; tetapi pada saat yang sama tanamlah ladang (tanah) untuk menghasilkan lebih banyak roti; jika tidak, tidak akan ada perdamaian.” Tentu tanpa adanya perdamaian maka manusia akan punah sehingga bumi menjadi tidak berarti.
Demikian pula perubahan iklim mengancam wilayah-wilayah tertentu di muka bumi sehingga tidak lagi dapat ditanami pangan. Perdamaian di planet bumi bakal terancam karena perebutan sumberdaya lahan untuk memproduksi pangan sangat mungkin terjadi.
Sejarah telah membuktikan bahwa tanah berkaitan erat dengan peperangan maupun perdamaian.
Menurut Budi Mulyanto, pemberontakan di negara-negara dunia umumnya meletus di daerah-daerah dengan tingkat kesuburan tanah alami yang rendah.
Penduduk yang menempati daerah tanah tandus, gersang, dan keras umumnya lebih keras dan beringas serta lebih mudah diprovokasi untuk melakukan pemberontakan.
Kemiskinan juga tercermin dari penduduk yang tinggal di daerah dengan tanah kurang subur. Sebaliknya, penduduk yang tinggal di atas tanah yang subur (seperti di daerah yang kaya muntahan material gunung berapi, lembah-lembah, atau delta sungai yang subur) relatif lebih lembut dan kalem.
Penduduk di daerah subur lebih mudah memanen hasil pertanian sehingga persaingan memperebutkan makanan lebih rendah.
Kesejahteraan dan kemakmuran penduduk di daerah subur juga relatif lebih tinggi sehingga tingkat peradaban lebih maju.
Riset Tanah
“Sustainable finance” yang selalu dipromosikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Idrawati, diharapkan menyentuh penelitian-penelitian yang berkaitan dengan tanah untuk menopang kehidupan tanaman, hewan, dan manusia secara berkelanjutan.
Sebut saja riset untuk intervensi teknologi mempercepat peningkatan simpanan karbon tanah penting untuk dilakukan.
Alokasi redistribusi tanah dan perhutanan sosial yang saat ini menjadi isu hangat juga harus menjadi fokus agar tetap berkelanjutan dengan mempertimbangkan tingkat kesuburan tanah eksisting.
Ilmuwan ilmu tanah juga mendapat tantangan untuk berkontribusi mengatasi isu stunting pada anak yang masih menjadi keprihatinan bersama masyarakat dunia.
Bagaimana hubungan intervensi penambahan nutrisi ke dalam tanah yang seimbang mampu memasok nutrisi yang cukup bagi manusia yang hidup di atasnya agar stunting dapat dicegah.
Terakhir tanah gersang, tandus, dan tidak sehat memerlukan sentuhan teknologi dan inovasi untuk memperbaikinya.
Sebaliknya, tanah sehat membutuhkan pengelolaan tepat agar tidak terdegradasi.
Inilah saatnya para ilmuwan ilmu tanah mengambil peran agar “sustainable finance” yang dipromosikan Menteri Keuangan pada forum G20 berdampak nyata pada kehidupan di planet bumi terutama di Indonesia.
*Peneliti di Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN)
Alumnus Program Doktor Ilmu Tanah IPB University
Copyright © ANTARA 2022