Jakarta (ANTARA News) - Delapan obligor penerima Bantuan Likuidatas Bank Indonesia (BLBI) diperkirakan akan lolos dari jerat hukum, jika mereka menyelesaikan kewajiban Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) sebelum 2006.
Menkeu Sri Mulyani dalam jumpa pers tentang hasil rakortas tim PKPS, di Depkeu, Jakarta, Jumat, menjelaskan ke delapan obligor tersebut adalah Ulung Bursah dari Bank Lautan Berilian, Atang Latief dari Bank Indonesia Raya, James Januardi dari Bank Namura Internusa, Adi Saputra dari Bank Namura Internusa, Omar Putirai dari Bank Tamara, Lidia Muchtar dari Bank Tamara, Marimutu Sinivasan dari Bank Putra Multi Karsa, dan Agus Anwar dari Bank Pelita dan Bank Istimarat.
Sedangkan tentang jumlah kewajiban dan pengembalian oleh delapan obligor, Menkeu menjelaskan jumlahnya masih dihitung dan tingkat pengembalian harus 100 persen, atau membayar lunas seluruh kewajibannya.
"Jika pembayaran penyelesaian kewajiban pemegang saham sudah selesai dan yang bersangkutan mendapatkan surat keputusan PKPS itu akan ditindak lanjuti. Menurut UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Negeri Pasal 35, Jaksa Agung memiliki wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum atau deponir," kata Jaksa Agung Abdur Rahman Saleh yang menjadi anggota tim PKPS.
Jaksa Agung menegaskan setelah konsultasi dengan menteri-menteri terkait dan ditemukan unsur pidana, maka Surat Keputusan (SK) PKPS bisa diterbitkan.
Sementara itu, penerima BLBI lain di luar delapan obligor tersebut dianggap pemegang saham tidak kooperatif dan nama-nama serta nilai sejumlah pengembalian kewajiban ada di kepolisian dan di kejaksaan.
Ditanya apakah berarti SK PKPS sama dengan "release dan discharge" (R&D), Jaksa Agung menjelaskan pada R&D terjadi kontroversi karena tindakan pidana tidak bisa hilang meskipun kerugian negara sudah dikembalikan.
Namun dengan mekanisme SK PKPS diharapkan tidak ada lagi pro kontra jurisdiksi mengenai kasus tersebut. (*)
Copyright © ANTARA 2006