Dubai (ANTARA) - Presiden Rusia Vladimir Putin tiba di Iran untuk menghadiri pertemuan puncak dengan presiden Iran dan presiden Turki terkait konflik Suriah, menurut laporan TV pemerintah Iran, Selasa.
Kunjungan itu menjadi lawatan pertama Putin di luar negeri sejak Rusia menginvasi Ukraina pada akhir Februari.
Meski berada di pihak yang berlawanan, ketiga pemimpin negara itu akan membicarakan upaya menekan kekerasan di Suriah.
Rusia dan Iran adalah pendukung kuat Presiden Suriah Bashar Al Assad, sedangkan Turki mendukung pemberontakan terhadap Assad.
Presiden Turki Tayyip Erdogan telah mengancam untuk melancarkan operasi baru di Suriah Utara, yang ditentang oleh Teheran dan Moskow.
Di Teheran, Putin dan Erdogan akan bertemu untuk membahas kelanjutan ekspor gandum dari Laut Hitam di Ukraina.
Kemunculan blok Arab-Israel dukungan AS yang bisa mengubah pengaruh Iran di Timur Tengah telah mendorong Teheran untuk mempercepat upaya memperkuat hubungan strategis dengan Moskow.
Pertemuan itu juga dimaksudkan untuk mengamankan dukungan Rusia kepada Iran dalam konfrontasi dengan Washington dan sekutu-sekutunya, menurut seorang pejabat senior Iran yang berbicara secara anonim.
Putin akan bertemu dengan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei, hanya beberapa hari setelah Presiden AS Joe Biden mengunjungi Israel dan Arab Saudi.
Kunjungan Putin ke Teheran akan dicermati banyak kalangan karena invasi Rusia di Ukraina telah mengubah pasar minyak dunia dan karena Washington memperingatkan tentang rencana Iran untuk memasok Rusia dengan ratusan pesawat nirawak (drone).
Iran telah membantah menjual drone ke Moskow untuk digunakan di Ukraina.
Dipicu kenaikan harga minyak akibat perang di Ukraina, Teheran meyakini bahwa dengan dukungan Rusia mereka dapat menekan Washington untuk menawarkan konsesi bagi kelanjutan perjanjian nuklir 2015.
Menurut perjanjian itu, Teheran harus menghentikan pengembangan nuklirnya sebagai imbalan atas pencabutan sanksi internasional.
Namun, mantan Presiden AS Donald Trump keluar dari perjanjian itu pada 2018 dan memberlakukan lagi sanksi kepada Iran. Setahun kemudian, Teheran mulai melanggar batas-batas perjanjian nuklir tersebut.
Hampir satu tahun melakukan pembicaraan tak langsung antara Teheran dan Washington di Wina, perundingan itu akhirnya terhenti pada Maret.
Iran mempertanyakan tekad Washington dan AS mendesak Teheran untuk mencabut tuntutan-tuntutan baru.
Namun, Moskow dan Teheran, yang sama-sama dijatuhi sanksi oleh AS, punya kepentingan masing-masing.
Iran, yang industri minyaknya mengalami kesulitan selama terkena sanksi AS, telah lama bergantung pada pembelian dari China untuk menjaga ekonominya tetap hidup.
Sejak perang di Ukraina, Moskow telah merebut pasar minyak Iran di Asia.
Pada Mei, Reuters melaporkan bahwa ekspor minyak mentah Iran ke China telah berkurang drastis ketika Beijing lebih memilih minyak Rusia dengan harga diskon.
Kondisi itu telah membuat hampir 40 juta barel minyak Iran tertahan di kapal-kapal tanker di laut Asia dan menunggu pembeli.
Sumber: Reuters
Pewarta: Anton Santoso
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2022