Jakarta (ANTARA) -
"Menurut kami, Perpres ini hanya satu instrumen untuk memastikan kerja sinergisme perlindungan anak, tetapi yang paling penting adalah implementasinya," kata Iswarini saat dihubungi melalui pesan singkat dari Jakarta, Senin.
Dia menyebutkan salah satu instrumen yang dapat mendukung penghapusan kekerasan terhadap anak adalah melalui upaya mendorong pelaksanaan amandemen UU Perkawinan.
Pemerintah juga diminta membangun mekanisme pemantauan perkawinan anak yang lebih kuat serta memberikan sanksi tegas untuk memastikan tidak ada lagi praktik perkawinan pada anak-anak.
Baca juga: IDAI: Bentuk kejahatan seksual kepada anak tak hanya pemerkosaan
Perpres Stranas PKTA tersebut antara lain bertujuan sebagai acuan bagi kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (K/L), pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota dalam mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak.
Namun, tambahnya, upaya tersebut perlu dioptimalkan karena memiliki dampak jangka panjang yang berpotensi membahayakan keselamatan dan kesejahteraan anak. Selain itu, katanya, perlu langkah strategis yang terencana dan melibatkan semua aspek.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tahun 2016-2020, terjadi peningkatan jumlah korban kekerasan dari 7.879 menjadi 10.770 anak, dengan kasus tertinggi terjadi pada jenis kekerasan seksual, fisik, psikis, dan penelantaran.
Baca juga: Presiden Jokowi teken aturan penghapusan kekerasan terhadap anak
Baca juga: Korban kekerasan seksual anak berpotensi alami trauma mendalam
Pewarta: Yana Sandwidya
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022