Kolaborasi global yang dibentuk nantinya harus dapat memastikan pangan terjangkau untuk semua, mendukung sistem perdagangan yang terbuka, transparan, dapat diprediksi, tidak diskriminatif

Badung (ANTARA) - Lembaga pangan dunia World Food Programme (WFP) melaporkan pada tahun ini setidaknya ada 828 juta orang kelaparan karena berbagai hal di antaranya akibat tingginya harga makanan pokok, dampak perubahan iklim, pandemi Covid-19, dan perang.

Problem kelaparan telah menjadi perhatian dunia utamanya G20 sejak setidaknya sejak lebih satu dasawarsa yang lalu, diawali oleh Korea Selatan saat memimpin G20 pada 2010. Perhatian terhadap isu itu kembali disuarakan oleh Prancis saat memimpin G20 satu tahun setelahnya.

Namun pertemuan demi pertemuan mandek pada level perundingan. Aksi konkret yang ditujukan untuk mengatasi persoalan kerawanan pangan hampir sulit ditemukan, padahal problem kelaparan yang saat ini disuarakan dengan istilah kerawanan pangan (food insecurity) semakin jelas salah satunya setelah militer Rusia memblokade Laut Hitam, yang menghambat distribusi pangan dunia.

Namun, kebuntuan itu terlihat mulai menemui jalan terang saat menteri keuangan dan gubernur bank sentral (FMCBG) G20 bertemu di Bali pada 15–16 Juli 2022. Indonesia di pertemuan itu kembali memantik perhatian dunia khususnya negara-negara G20 terhadap masalah kerawanan pangan.

Dalam pertemuan ke-3 Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) G20, isu kerawanan pangan masuk dalam pembahasan mengenai situasi dan risiko perekonomian global. Kerawanan pangan turut dinilai sebagai risiko keuangan global yang dapat muncul akibat dampak pandemi, dampak perang, dan dampak perubahan iklim.

Tidak cukup di pertemuan utama, Indonesia bersama Arab Saudi dan negara anggota G20 lanjut menggalang dukungan pihak lain seperti badan-badan PBB, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), agar ada aksi konkret yang mampu mencegah atau paling tidak mengantisipasi kerawanan pangan, mengingat situasi itu telah dialami sejumlah negara kurang mampu dan negara yang terlibat konflik.

Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati pada sesi High Level Seminar: Strengthening Global Collaboration for Tackling Food Insecurity yang merupakan side event FMCBG mengusulkan kepada negara-negara dan anggota G20 untuk mempertemukan menteri keuangan dan menteri pertanian membahas strategi menghadapi kerawanan pangan dan isu terkait lainnya.

Sri Mulyani menyampaikan dunia harus membentuk kerja sama global menanggulangi problem kerawanan pangan. Langkah itu, kata Sri Mulyani, dapat dirintis oleh negara-negara G20.

“Kolaborasi global yang dibentuk nantinya harus dapat memastikan pangan terjangkau untuk semua, mendukung sistem perdagangan yang terbuka, transparan, dapat diprediksi, tidak diskriminatif, dan mendukung prinsip multilateral yang konsisten dengan aturan-aturan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), juga memperkuat transparansi rantai pasok pangan dunia,” kata Sri Mulyani di hadapan para menteri keuangan G20 dan pimpinan lembaga keuangan dunia serta badan-badan internasional terkait.

Menurut Menteri Keuangan RI, pertemuan antara menteri keuangan dan menteri pertanian penting segera terwujud mengingat kerawanan pangan merupakan isu yang mendesak untuk dibahas bersama.

Ia optimis negara-negara anggota G20 mampu mewujudkan itu apabila berkaca dari pertemuan menteri keuangan dan kesehatan untuk membahas penanggulangan pandemi Covid-19.

Berkat pertemuan itu dan upaya lainnya, para menteri sepakat membentuk Fasilitas Dana Perantara (FIF) yang dapat dimanfaatkan negara-negara untuk memperkuat kesiapsiagaan menghadapi ancaman pandemi di masa mendatang.

“G20 berhasil mengeluarkan hasil konkret dari pertemuan menteri keuangan dan menteri kesehatan, yang mana inisiatif financial intermediary fund (FIF) terus mendapat dukungan dari negara-negara (anggota G20),” kata Sri Mulyani.

Ia lanjut menegaskan G20 wajib menjadi kelompok terdepan untuk membentuk langkah konkret demi mengatasi masalah kerawanan pangan secara menyeluruh dan efektif.

Usulan Sri Mulyani itu disambut baik sejumlah menteri keuangan anggota G20, di antaranya Italia dan Brazil.

Di sesi seminar yang sama, pejabat yang mewakili Kementerian Keuangan Brazil Marco Aurelio menyampaikan negaranya menyambut baik usulan Indonesia dan Arab Saudi yang ingin mempertemukan menteri keuangan dan menteri pertanian untuk membahas masalah food insecurity.

“Brazil menyambut usulan Indonesia dan Arab Saudi, pertemuan para ahli keuangan dan pertanian diharapkan dapat menghasilkan solusi yang berbasis data,” kata Marco Aurelio.

Ia lanjut menyampaikan masalah kerawanan pangan perlu diselesaikan dengan dua pendekatan, yaitu secara pragmatis dan struktural.

Penyelesaian secara pragmatis dilakukan dengan turut menyelesaikan problem yang terkait dengan pandemi Covid-19, dampak perang, dan inflasi, sementara itu pendekatan struktural dilakukan dengan menyelesaikan masalah di sektor produksi dan distribusi.

Ia menyampaikan seluruh jalur distribusi untuk pangan harus selalu dibuka, dan perlu ada kajian yang memetakan negara-negara rentan mengalami food insecurity.

“Kita harus berhenti mempertahankan struktur (produksi dan distribusi pangan) yang tidak optimal, apalagi jika ada cara-cara lain yang lebih efisien,” kata pejabat Kementerian Keuangan Brazil.

Ia menyampaikan itu karena kerap ada dorongan untuk mencetak lahan-lahan pertanian di lokasi yang tidak efisien, dan hanya mampu bertahan jika ada subsidi dari pemerintah.

Marco pun mencontohkan Brazil mampu memproduksi lebih banyak sumber pangan di lahan yang lebih sedikit dari negara lain sehingga lahan tidur yang tersisa dapat menjadi area konservasi.

“Brazil merupakan agricultural powerhouse (sumber pertanian dunia), yang mampu menyediakan pangan untuk 800 juta orang di seluruh dunia, atau sekitar 10 persen dari populasi dunia,” kata Marco Aurelio.

Berbekal itu, ia menyampaikan Brazil siap berkontribusi mencari solusi menyelesaikan masalah kerawanan pangan.

Sementara itu, Menteri Keuangan Italia Daniele Franco menyampaikan dukungannya secara langsung terhadap usulan Sri Mulyani.

“Saya menunggu pertemuan antara menteri keuangan dan menteri pertanian itu terwujud. Kita mampu mempertemukan menteri keuangan dan menteri kesehatan tahun lalu, saat ini waktunya untuk menteri pertanian. Kami menteri keuangan tidak dapat bekerja sendiri, mengingat ancaman food insecurity yang semakin nyata dan dapat terus memburuk ke depannya,” kata Daniele Franco.

Menteri Keuangan Italia Daniele Franco menyampaikan pidato penutup pada acara High Level Seminar: Strengthening Global Collaboration for Tackling Food Insecurity yang merupakan rangkaian “side event” pada pertemuan ke-3 FMCBG G20 di BNDCC, Badung, Bali, Jumat (15/7/2022). ANTARA/Genta Tenri Mawangi

Ia juga menegaskan untuk jangka pendek dan menengah, negara-negara G20 perlu mengalokasikan dana bantuan untuk organisasi dan lembaga dunia yang menyalurkan pangan untuk negara-negara kurang mampu.

“Prioritas saat ini, menurut saya, memastikan ketersediaan uang untuk memenuhi kebutuhan World Food Programme,” kata Menteri Keuangan Italia.

Kemitraan Global

Tidak cukup hanya anggota G20, dukungan dari lembaga keuangan dunia seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia juga dibutuhkan untuk mengatasi masalah kerawanan pangan.

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva pihaknya siap menjalankan perannya seperti menyediakan pendanaan, membantu masalah utang, dan mengalokasikan dana darurat.

“Kami siap melakukan apapun (untuk membantu mengatasi masalah kelaparan),” kata Kristalina.

Akan tetapi, ia menyampaikan negara-negara juga harus berkontribusi menyelesaikan masalah kelaparan dan kerawanan pangan, salah satunya dengan mencabut kebijakan yang membatasi distribusi pangan.

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menyampaikan pendapatnya pada acara High Level Seminar: Strengthening Global Collaboration for Tackling Food Insecurity yang merupakan rangkaian “side event” pada pertemuan ke-3 FMCBG G20 di BNDCC, Badung, Bali, Jumat (15/7/2022). ANTARA/Genta Tenri Mawangi

“Kebijakan semacam itu tidak hanya tak bermoral, tetapi juga berbahaya bagi perekonomian dunia,” kata petinggi IMF itu.

Dalam kesempatan yang sama, ia juga berharap negosiasi dengan Rusia dapat menemui titik terang sehingga blokade di Laut Hitam cepat berakhir dan sumber pangan yang dihasilkan oleh Ukraina dapat tersalurkan ke negara-negara yang membutuhkan.

Direktur Pelaksana Operasional Bank Dunia Axel van Trotsenburg sepakat dengan usulan Kristalina.

Ia menyampaikan kelaparan dan kerawanan pangan merupakan masalah yang telah lama dibahas, tetapi belum pernah ada langkah yang terkoordinasi dan efektif untuk menyelesaikan itu. Ia menyinggung penyelenggaraan Konferensi Pangan Dunia pada 1974 yang menargetkan menghapus kelaparan dalam waktu 10 tahun.

“Kita tidak pernah mencapai itu,” kata Axel.

Oleh karena itu, ia pun mendorong anggota G20 untuk tidak hanya memikirkan strategi jangka pendek, tetapi jangka panjang untuk masalah food insecurity.

“Strategi jangka panjang itu artinya terkait dengan kebijakan sektor pertanian, sosial, dan perdagangan. Kami melihat tingginya kebijakan yang membatasi perdagangan (pangan),” kata direktur Bank Dunia.

Ragam dukungan dan komitmen negara-negara dan lembaga internasional yang disampaikan pada rangkaian pertemuan FMCBG G20 di Bali menunjukkan ada sinyal kuat dari seluruh pihak untuk segera bergerak mengatasi masalah kelaparan dan kerawanan pangan.

Namun yang lebih penting, selepas sesi seminar itu, ada langkah konkret yang dibuat oleh negara-negara untuk memastikan kebijakan yang membatasi perdagangan pangan dan aksi yang menghambat distribusi pangan segera dihapus.

Pertemuan para pemimpin G20 di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada 15–16 November 2022, yang Indonesia menjadi ketuanya, dapat jadi momentum menghasilkan langkah konkret tersebut.


Baca juga: Sri Mulyani: 276 juta orang di dunia hadapi kerawanan pangan akut
Baca juga: G7 beri komitmen 5 miliar dolar untuk atasi kerawanan pangan global
Baca juga: Bank Dunia umumkan pembiayaan 30 miliar dolar atasi kerawanan pangan

Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022