Jakarta (ANTARA) - Marsekal Pertama TNI Wahyu Hidayat Sudjatmiko telah resmi menjabat sebagai Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) menggantikan Mayjen TNI Tri Budi Utomo.

Tongkat komando diterima Wahyu Hidayat dalam serah terima jabatan yang dipimpin Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa di Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Senin.

Pengangkatan Wahyu Hidayat sebagai Komandan Paspampres merupakan sejarah baru bagi korps yang memiliki moto "Setia Waspada" itu. Wahyu merupakan Komandan Paspampres pertama yang berlatar belakang TNI Angkatan Udara.

Baca juga: Panglima TNI mutasi 180 perwira tinggi TNI


Baca juga: Istana harap Danpaspampres baru dapat berkoordinasi dengan baik

Berangkat dari sebuah motivasi untuk meringankan beban orang tua, Wahyu Hidayat Sudjatmiko meniti langkah guna mewujudkan cita-citanya untuk menjadi anggota TNI Angkatan Udara.

Selama perjalanannya, ia menjumpai berbagai rintangan dan dilema. Mulai dari Sang Ayah yang menentang Wahyu Hidayat untuk menjadi anggota TNI, hingga meninggalkan istri dengan dua anaknya yang masih balita untuk mengemban tugas negara.

Akan tetapi, rintangan dan dilema yang menghadang tak lantas memadamkan bara api semangat Wahyu untuk mengabdikan diri sebagai seorang TNI Angkatan Udara.

Kegigihannya mengantarkan putra Jakarta kelahiran 16 September 1971 ini menjadi seorang Komandan Pasukan Pengamanan Presiden atau Danpaspampres melalui Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/558/VI/2022 tanggal 27 Juni 2022.

Kabar tersebut menggemparkan jagat media karena untuk pertama kalinya, seorang anggota TNI Angkatan Udara menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden.

Wahyu pun mengakui hal tersebut. Berbagai ucapan selamat ia terima ketika informasi mengenai dirinya yang ditunjuk menjadi Komandan Paspampres tersebar.

Capaian tersebut merupakan buah dari tujuan mulia Wahyu kala bercita-cita menjadi seorang tentara.


Meringankan beban orang tua

Wahyu Hidayat merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Kakak pertama dan keduanya perempuan, sedangkan ia dan saudara bungsunya laki-laki.

Ketika Wahyu menempuh pendidikan di SMA 67 Jakarta yang berlokasi di Halim Perdana Kusuma, ia menyadari beban sang ayah, Pembantu Letnan Satu (Peltu) Djatmiko Sujadno, yang harus membiayai kedua kakaknya untuk menempuh kuliah di dua universitas swasta. Saat itu, Djatmiko masih berpangkat sersan di TNI AU.

Biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Wahyu membayangkan betapa beratnya tanggungan Sang Ayah sebagai tulang punggung keluarga.

Oleh karenanya, dengan penuh keyakinan, Wahyu mengatakan kepada Djatmiko bahwa ia ingin menjadi tentara.

“Tujuan saya menjadi tentara adalah saya kerja. Saya ingin membantu orang tua saya,” ucap Wahyu kala dirinya mengenang kembali motivasi untuk menjadi seorang tentara.

Alih-alih mendapatkan dukungan, Djatmiko justru menentang keinginan Wahyu. Djatmiko meminta Wahyu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan di universitas negeri melalui jalur sipenmaru atau seleksi penerimaan mahasiswa baru.

Akan tetapi, tumbuh besar di lingkungan tentara membuat Wahyu membulatkan tekadnya untuk menjadi seorang tentara. Meski memperoleh tentangan dari Djatmiko, Wahyu tetap mendaftarkan diri untuk masuk ke Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau AKABRI.

Selain mendaftarkan diri di AKABRI, Wahyu juga sempat mendaftarkan diri sebagai bintara polisi. Usai pengumuman kelulusan dan ia dinyatakan lulus di AKABRI dan Polri, Wahyu memilih untuk mengikuti cita-citanya menjadi anggota TNI.

Tahun 1990, tuturnya mengisahkan, ia berangkat ke Magelang, Jawa Tengah, tepat setelah ia menuntaskan pendidikannya di jenjang SMA.

Jerih payahnya dalam menjalani seleksi lantas menghasilkan buah manis; Wahyu terpilih untuk menjadi anggota TNI Angkatan Udara, matra yang menjadi pilihan pertama pria dengan zodiak Virgo ini.

Terinspirasi oleh sosok yang kala itu menjadi pengasuhnya saat berada di tingkat tiga, yakni mantan Komandan Komando Pasukan Gerak Cepat Marsda TNI (Purn) Eris Widodo Yuliastono, Wahyu pun memilih untuk menjadi bagian dari Korps Pasukan Khas (Paskhas), yang saat ini bernama Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat).

Dari titik tersebut, kariernya pun dimulai.


Istri yang menguatkan

Wahyu mengecap hidup penuh ketegangan ketika ia menjadi bagian dari Paskhas. Ia ikut terjun dalam penanganan konflik di Aceh, kerusuhan di Ambon, gejolak di Timor Timur, konflik di Papua, serta guncangan keamanan di berbagai sudut Indonesia lainnya.

Tas selalu siap untuk dibawa pergi bertugas. Bahkan, kalau bisa, pakaian bertugas pun selalu melekat pada tubuh karena dirinya harus selalu di dalam kondisi siaga. Tidak ada yang tahu kapan kerusuhan akan meledak dan panggilan untuk bertugas dapat datang sewaktu-waktu.

Terlebih, saat itu personel pasukan elit TNI AU ini tidak terlalu besar, hanya sekitar 2.000 orang.

Situasi tersebut mengakibatkan Wahyu kerap harus meninggalkan istrinya, ​​​​​​ Neneng Roheni, dokter gigi PNS di TNI AU, untuk bertugas. Sebaliknya, Neneng tak pernah meninggalkan Wahyu. Saat mengandung anak pertama pun, Neneng lebih memilih tinggal di rumah dinas meski sendirian, ketimbang pulang ke rumah orangtuanya.

“Saya melewatkan kelahiran anak pertama saya. Saat yang kedua lahir juga saya nggak nungguin,” tuturnya.

Ketika Wahyu pulang dari bertugas, anak pertamanya sudah bisa berjalan. "Saya dipanggil Om," kata Wahyu.

Tekanan ketika berpisah dari keluarga merupakan salah satu penyebab gundah yang ia rasakan saat bertugas.

Dalam situasi seperti itu, Sang Istri menjadi sosok yang menenangkan bagi Wahyu. Neneng Roheni merupakan sosok yang tangguh dan mandiri, begitulah Wahyu menggambarkan istrinya.

Ketika Wahyu bertugas di Aceh, tidak pernah sedetik pun Neneng melepaskan pantauannya dari anak mereka. Neneng merawat anak mereka tanpa bantuan asisten rumah tangga (ART), hingga akhirnya Wahyu meminta saudaranya yang saat itu berada di Yogyakarta untuk membantu Neneng yang berada di Malang, Jawa Timur.

Didampingi oleh sosok yang tangguh menguatkan Wahyu untuk melalui berbagai tantangan yang ia hadapi sepanjang kariernya sebagai seorang anggota TNI Angkatan Udara. Oleh karenanya, ia sungguh merasa beruntung memiliki Neneng Roheni di sisinya.

“Di mana ada pria yang sukses, di belakangnya pasti ada wanita yang hebat.”


Menjadi Danpaspampres

Lembaran baru dalam kehidupan Wahyu menanti guratan tinta berisikan kisahnya sebagai seorang Komandan Pasukan Pengamanan Presiden. Kesempatan tersebut dipercayakan kepada Wahyu pada periode keduanya di Paspampres, setelah sebelumnya ia menjadi bagian dari Paspampres pada 2010-2014.

Wahyu mengakui bahwa periode pertamanya di Paspampres merupakan momen yang menjadi batu lompatan bagi kariernya.

Usai terbitnya Surat Keputusan Panglima TNI, nama Wahyu Hidayat Sudjatmiko melejit sebagai anggota TNI Angkatan Udara pertama yang menjadi seorang komandan dari pasukan pengamanan orang nomor satu di Republik Indonesia.

Puji dan syukur pun ia tuturkan berulang kali ketika menggambarkan perasaannya setelah memperoleh kepercayaan untuk mengemban tanggung jawab tersebut.

Berbagai ucapan selamat pun menyertai perjalanan kariernya. Akan tetapi, menjadi sosok ‘pemecah telur’ tidaklah mudah. Ia melangkah dengan berbagai ekspektasi yang melekat di jabatan barunya, terutama dengan label anggota TNI AU pertama yang menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden.

Menurut Wahyu, apabila ia tidak menyikapi ekspektasi orang-orang di sekitarnya dengan bijak, maka hal tersebut akan menjadi beban. Dalam hal ini, Wahyu melihat ekspektasi yang orang-orang sematkan kepada dirinya sebagai sebuah motivasi.

Walau demikian, secuil kekhawatiran tak dapat ia pungkiri. Wahyu mengakui bahwa ia sedikit khawatir tidak bisa menjalani amanah, tetapi ia berkomitmen untuk menunjukkan usahanya yang terbaik.

Ia juga memercayai bahwa semua anggota akan mendukung dirinya, tak lupa dengan dukungan dari keluarga.

Bagi Wahyu, tantangan terbesar ke depannya adalah perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang akan mendatangkan 39 kepala negara ke Pulau Dewata, Bali. Perhelatan itu tidak main-main, ucap Wahyu menegaskan.

Kepala negara yang akan berdatangan pun berasal dari negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China. Ia akan menggerakkan pasukan dengan jumlah sekitar 4.000 orang, gabungan dari berbagai macam matra, untuk memastikan keamanan dan kelancaran KTT G20.

Sebagai seorang Komandan Pasukan Pengamanan Presiden, ia berkomitmen untuk melakukan yang terbaik dalam menjamin keamanan orang nomor satu di Republik Indonesia, serta menjadi sosok pemimpin yang inspiratif bagi anggota-anggotanya.

Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2022