Bandung (ANTARA) - Provinsi Jawa Barat, dikenal dengan keindahan alam menawarkan berbagai destinasi wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi oleh para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.

Suguhan keindahan alam yang menjadi objek wisata bisa dijumpai dalam di kawasan pegunungan, sungai, hutan hingga lautan.

Tak hanya itu, Jawa Barat juga memiliki objek wisata prasejarah.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, Benny Bachtiar, menuturkan pada objek wisata prasejarah ini, wisatawan akan mendapatkan gambaran tentang bagaimana peradaban manusia masa lampau.

Kondisi geografis Provinsi Jawa Barat yang beraneka ragam menjadi saksi bisu peristiwa prasejarah di masa lampau.

Dan saat ini jejak-jejak peristiwa purbakala itu memberikan daya tarik tersendiri sebagai destinasi wisata yang menarik untuk dikunjungi.

Benny menuturkan apabila biasanya wisatawan mengetahui wisata prasejarah dari buku atau hasil pencarian di internet, maka tak ada salahnya kalau datang langsung dan melihat dengan mata kepala sendiri objek wisata prasejarah yang ada di Jawa Barat.

Setidaknya, kata dia, empat objek wisata prasejarah yang bisa dijajal oleh wisatawan yang ingin mengetahui tentang sejarah manusia di masa lampau.

Baca juga: Museum Gedung Sate sudah dikunjungi 148.143 orang

Museum Geologi

Objek wisata prasejarah pertama di Jawa Barat, yang bisa dijajal adalah Museum Geologi Bandung.

Museum Geologi Bandung yang letaknya dekat dengan Gedung Sate dan Lapangan Gasibu ini menjadi salah satu tempat wisata prasejarah yang dianjurkan untuk dikunjungi.

Museum yang berada di Jalan Diponegoro Nomor 57 Kota Bandung ini didirikan sejak 16 Mei 1928 itu menyedot atensi wisatawan lokal atau mancanegara.

Mseum Geologi Bandung menawarkan berbagai macam koleksi atau jenis fosil.

Jejak-jejak kehidupan masa lampau itu tersusun dengan rapi di dalam bangunan dengan gaya arsitektur Eropa ini.

Ketika memasuki pintu masuk utama museum, wisatawan akan langsung disuguhkan dengan fosil dari gajah purba (Stegodon trigonocephalus).

Kemudian di ruang sisi timur museum, tersimpan sejarah perkembangan dan pertumbuhan makhluk hidup di bumi dari masa primitif hingga modern.

Salah satu pajangan yang atraktif di ruangan tersebut adalah replika fosil dari kadal pemburu raksasa, Tyrannosaurus Rex Osborn.

Di sana juga terdapat fosil-fosil hewan laut purba, seperti hiu raksasa megalodon hingga fosil moluska.

Sejarah perkembangan manusia purba, baik fosil tengkorak hingga peralatannya juga tersimpan di Museum Geologi Bandung.

Tidak hanya soal makhluk hidup, di sini wisatawan juga belajar tentang bebatuan, mineral hingga bencana alam geologis secara interaktif.

Untuk harga tiket masuk ke Museum Geologi ialah untuk pelajar Rp2 ribu, wisatawan lokal Rp3 ribu dan wisatawan asing Rp10 ribu.

Salah seorang warga Cianjur, Rizal Fauzi Rahman mengatakan keberadaan Museum Geologi sangat menarik untuk dikunjungi karena bisa sekaligus mengenalkan tentang zaman prasejarah kepada buah hatinya yang masih berusia enam tahun.

"Menarik sekali, ya, apalagi yang koleksi fosil hewan purbanya. Anak saya sangat senang ketika melihat. Jadi bisa berwisata sambil belajar sejarah masa lalu juga ke anak," kata Rizal.

Baca juga: Menjenguk "homo sapiens" di gua pawon

Baca juga: Mari jadikan Karst Citatah laboratorium alam

Gua Pawon

Objek wisata prasejarah pertama di Jawa Barat, yang bisa dijajal adalah Gua Pawon, Kampung Rancamoyan, Gunungmasigit, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.

Untuk bisa sampai ke Gua Pakua, jika dari pusat kota Bandung, wisatawan bisa naik bus jurusan Alun-alun Bandung - Ciburuy, kemudian melanjutkan dengan angkot Padalarang - Rajamandala.

Kemudian berjalan kaki melewati perkampungan warga selama 15 menit sebelum tiba di Gua Pawon.

Gua Pawon merupakan salah satu bukti otentik eksistensi Danau Bandung Purba.

Undakan tangga batu dan suara cicitan kelelawar akan menyambut wisatawan saat berada di muka Gua Pawon.

Nuansa zaman prasejarah langsung menyelimuti benak wisatawan ketika berada di sini.

Terlebih, pilar batu paduan stalaktit dan stalagmit sepanjang belasan meter seolah menyangga atap gua.

Entah dibutuhkan waktu berapa lama untuk proses tersebut terjadi karena pertambahan panjang stalaktit hanya 0,2 mm per tahun.

Gua Pawon berbeda dengan gua lainnya yang memiliki lorong yang panjang dan gelap.

Gua ini memiliki undak-undakan dengan lubang alami yang menembuskan cahaya ke dalam gua. Sekilas, gua yang terbentuk dari lereng pegunungan kapur ini lebih mirip ceruk di dinding bukit.

Di dalamnya terdapat beberapa lubang atau kamar-kamar yang membuat peneliti semakin yakin, bahwa manusia prasejarah pernah menghuni tempat tersebut pada puluhan ribu tahun yang lalu.

Bahkan ada satu kamar yang dijuluki Ruang Arkeologi atau Gua Kopi, di tempat ini peneliti menemukan sejumlah kerangka manusia purba era Pleistosen akhir, berikut artefak, fosil vertebrata, moluska dan bebatuan.

Wisatawan yang akan berkunjung ke Gua Pawon akan dikenai tiket masuk sebesar Rp10 ribu, belum termasuk biaya parkir.

Baca juga: Mahasiswa Universitas Indonesia teliti kepekaan Situs Gunung Padang

Baca juga: BPBD dan BPCB Banten antisipasi longsor di Gunung Padang

Gunung Padang

Objek wisata prasejarah ketiga yang ada di Jawa Barat ialah Gunung Padang Cianjur yang terletak di Kampung Padang, Karyamukti, Campaka, Kabupaten Cianjur.

Jaraknya sekitar 30,2 KM dari pusat kota Cianjur melalui Jalan Raya Sukabumi.

Berdasarkan laman Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, situs ini awalnya ditemukan pada tahun 1914 dan terus diteliti hingga saat ini.

Situs Gunung Padang merupakan situs bentuk kebudayaan batu besar (megalitikum) yang disebut-sebut ahli sejarah sebagai situs tertua di dunia mengalahkan Piramida Gaza yang ada di Mesir.

Kompleks punden berundak di Gunung Padang terdiri atas lima teras yang tersusun dengan ukuran berbeda-beda. Teras pertama merupakan bangunan terluas, dengan jumlah batuan paling banyak.

Semakin ke atas jumlah batunya pun semakin berkurang. Batu-batu yang jumlahnya sangat banyak tersebut tersebar hampir menutupi seluruh puncak Gunung Padang.

Sejumlah pihaknya meyakini, di dalam tanah Gunung Padang masih ada bangunan-bangunan peninggalan zaman megalitikum.

Dan misteri ini telah menarik ribuan peneliti baik dari dalam maupun luar negeri.

Tinggalan bebatuan tempat pemujaan ini masih berdiri tegak hingga kini dan dapat dikunjungi oleh masyarakat umum.

Situs Gunung Padang menjadi salah satu tujuan wisata unggulan Jawa Barat. Sejak tahun 2014, Situs Gunung Padang telah ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya berperingkat nasional sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 023/M/2014.

Situs Gunung Padang ini dapat dikunjungi, di sini masyarakat bisa melihat kebesaran nenek moyang dalam membangun peradaban.

Wisatawan cukup membayar Rp5 ribu untuk bisa masuk area Gunung Padang, dan jika ingin didampingi pemandu bisa mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp100 ribu.

Baca juga: Peneliti: Karst Citatah bisa dijadikan laboratorium alam

Baca juga: Situs Gua Pawon terancam penambangan kapur

Stone Garden

Objek wisata prasejarah yang keempat ialah Stone Garden yang berada di Kawasan Karst Citatah, Kabupaten Bandung Barat.

Stone Garden merupakan taman prasejarah yang terkenal dengan formasi batuannya yang eksotis dan artistik.

Di sini wisatawan bisa menemukan bebatuan gamping yang menutupi area tersebut yang tertata secara alami.

Tak terbayangkan sebelumnya jika dulu Stone Garden merupakan bagian dari lautan Australasia.

Saat laut mengering, formasi batuan sedimen yang keras kemudian berubah menjadi daratan.

Meskipun berada di dataran tinggi, wisatawan bisa dengan mudah menjelajah ke lokasi ini.

Waktu terbaik untuk mendatangi tempat ini ialah pagi atau sore hari, saat terik matahari tak terlalu menyengat.

Di sini Wisatawan bisa melihat pemandangan Geopark Citatah secara 360 derajat tanpa terhalang di batu tertinggi yang dinamai Puncak Panyawangan.

Konon, manusia prasejarah mulai berdatangan ke daerah ini sebagai pemburu.*

Baca juga: KRCB: mata air karst Citatah memprihatinkan

Baca juga: Gua Pawon Citatah Terancam Penambangan Kapur

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022