Jakarta (ANTARA) - Tanggal 17 Juli 1908, seratus empat belas tahun lalu di daerah sejuk Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, lahir seorang anak laki-laki. Setelah dewasa, anak yang diberi nama Mohammad Natsir itu kemudian dikenal sebagai negarawan terkemuka yang tidak hanya diakui tingkat nasional namun juga internasional.
Pada tanggal 10 November 2008, dalam peringatan seratus tahun kelahirannya, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional atas jasa-jasa yang diabdikan kepada negeri ini.
Begitu banyak pemikiran dan perjuangannya untuk kemajuan bangsa yang dirasakan manfaatnya oleh generasi saat ini.
Natsir yang tidak pernah mengenyam bangku kuliah, namun menguasai enam bahasa asing di usia yang belia dipercaya tiga kali menjadi Menteri Penerangan dan sekali sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia.
Sejak beberapa pekan terakhir, suhu politik di Indonesia agak menghangat dengan kegiatan penjajagan partai-partai politik untuk membentuk beberapa koalisi.
Kondisi ini tentu jangan sampai menimbulkan situasi yang tidak kondusif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Karena musuh paling utama sebuah negara kesatuan adalah perpecahan.
Natsir, yang dijuluki oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, hij is de man (dialah orangnya) pada tanggal 3 April 1951 mengutarakan pendapatnya pada forum sidang parlemen Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) Republik Indonesia Serikat (RIS).
Ketua Fraksi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) ini menyatakan agar Indonesia kembali ke dalam bentuk negara kesatuan.
Baca juga: PKS: Elit politik harus belajar dari Natsir jaga integrasi nasional
Negara kesatuan
Pidato Natsir itu sangat beralasan karena pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda pada 3 Agustus hingga 2 November 1949, kedaulatan negara Indonesia semakin tidak menentu.
KMB memutuskan bahwa bentuk negara Indonesia adalah bukan negara kesatuan, melainkan negara federal. Negara Republik Indonesia berpusat di Yogyakarta dengan lima belas negara lain, kecuali Irian Barat, berada dalam satu negara yang bernama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Rakyat Indonesia cukup memahami bahwa kecuali negara Republik Indonesia, semua negara bagian RIS adalah ciptaan Belanda. Negara Republik Indonesia saat itu meliputi pulau Sumatera, selain Sumatera Timur dan Sumatera Selatan, serta wilayah Yogyakarta.
Kondisi kenegaraan seperti ini tidak hanya ditentang oleh para elit partai politik saja, namun juga dilawan oleh seluruh rakyat Indonesia yang menganggap ini adalah cara Belanda untuk suatu saat menguasai Indonesia kembali.
Terbukti setelah perundingan KMB, jalannya pemerintah RIS sangat tidak menentu dan sering muncul peristiwa politik yang seharusnya tidak terjadi.
Di beberapa tempat di wilayah RIS terjadi unjuk rasa besar-besaran menuntut pembubaran RIS. Beberapa negara bagian menghadapi pemberontakan dan perebutan kekuasaan, antara lain pemberontakan Andi Aziz di Makassar, Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, dan peristiwa percobaan perebutan kekuasaan oleh Westerling di Bandung dan Jakarta.
DPR Negara Sumatera Selatan membubarkan negaranya pada 10 Februari 1950 dengan keputusan agar pemerintah negara bagian menyerahkan kekuasaan kepada RIS.
Negara Pasundan membubarkan diri dan memutuskan bergabung dengan negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta.
Gerakan ini disusul oleh negara-negara Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura. Gerakan ini begitu cepat terjadi, hingga sampai akhir Maret 1950 RIS hanya menyisakan empat negara bagian yaitu Republik Indonesia, Sumatera Timur, Kalimantan Barat dan Indonesia Timur.
Dalam situasi yang tidak menentu ini lahirlah gagasan gemilang dari Natsir, Ketua Fraksi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) di DPRS RIS.
Natsir menyatakan bahwa penyelesaian dari gejolak yang terjadi di beberapa negara bagian adalah dengan membentuk negara kesatuan dan bukan negara federasi.
Baca juga: HNW minta perjuangan M Natsir dijadikan teladan
Mosi Integral
Seluruh negara bagian diikutsertakan dalam penyelesaian gejolak-gejolak ini. Tidak ada negara bagian yang lebih tinggi dari negara bagian yang lain. Semua sama kedudukannya sama dalam sebuah negara kesatuan. Negara Republik Indonesia Yogyakarta juga harus dilikuidasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Memang tidak mudah bagi Natsir untuk mewujudkan gagasan tersebut. Ketika itu dia harus meyakinkan perwakilan dari negara bagian dan parlemen di DPRS RIS.
Tokoh-tokoh dari berbagai kalangan harus dia lobby agar dapat menyetujui gagasannya, antara lain Sirajuddin Abbas dari Persatuan Tarbiyah Indonesia, Amelz dari Partai Syarikat Indonesia, I.J. Kasimo dari Partai Katholik, A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia, dan Sukirman dari Partai Komunis Indonesia.
Pidato Natsir ini kemudian dikenal luas dengan sebutan Mosi Integral Natsir. Parlemen menerima mosi ini dan meminta pemerintah segera melakukan langkah-langkah untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Forum-forum kenegaraan yang dihadiri oleh para perwakilan negara-negara bagian dan Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 1950 menghasilkan piagam persetujuan yang menyepakati pembentukan sebuah negara kesatuan dalam waktu yang segera. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1950 secara resmi negara ini kembali diproklamirkan menjadi NKRI.
Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Ir Soekarno membubarkan RIS dan memproklamasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai kelanjutan dari Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Mosi Integral telah mengembalikan Indonesia ke dalam bentuk Negara Kesatuan dan terhindar dari ancaman perpecahan. Dengan cara yang demokratis, konstitusional, dan terhormat. Usaha ini adalah buah upaya sosok ulama dan negarawan Mohammad Natsir.
Baca juga: FPKS nilai Mosi Integral Natsir bukti peran selamatkan Indonesia
Jangan biarkan menunggu
Selaku pemimpin Kongres Muslim Sedunia (World Moslem Congress), Sekjen Rabitah al-Alam al-lslami (World Moslem League), Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London, dan anggota Dewan Masjid Sedunia (al-Majlis al-A`la al-`Alami li al-Masajid), Natsir selalu mendambakan dan menyuarakan persatuan dan perdamaian antar bangsa-bangsa di dunia.
Mohammad Natsir bukan hanya sebagai pemersatu, namun juga dikenal sebagai pendamai.
Ketika terjadi konfrontasi antara pemerintah Indonesia dan Malaysia di kurun waktu 1963-1966, Natsir mengirim surat kepada Perdana Menteri Malaysia, Tunku Abdul Rahim, untuk dapat menerima delegasi dari Indonesia yang sebelumnya tidak diterima oleh Perdana Menteri pertama Malaysia tersebut. Akhirnya hubungan kedua negara bertetangga ini berangsur membaik.
Pada tanggal 6 Februari 1993, Sang Pemersatu sekaligus pencetus proklamasi kedua NKRI ini wafat di Jakarta dalam usia 85 tahun.
Sahabat beliau, mantan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda, dalam surat ucapan duka yang ditujukan kepada keluarga besar Pak Natsir saat itu menulis bahwa berita wafatnya Mohammad Natsir tersebut terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hiroshima, karena kita kehilangan pemimpin besar dunia.
Peran beliau masih sangat diperlukan dalam mengkoordinasikan dunia yang stabil.
Sastrawan Taufik Ismail mengatakan bahwa bangsa ini sangat merindukan pemimpin seperti Natsir, sebagaimana penggal bagian akhir salah satu puisi karyanya, “Rabbana, jangan biarkan kami menunggu seratus tahun lagi, untuk tibanya pemimpin-pemimpin bangsa yang mencerahkan dan bercahaya kilau-kemilau, serupa beliau.”*
*) Dr. Ir. Naufal Mahfudz, MM adalah Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Orwilsus Bogor
Baca juga: Menteri berkemeja tambalan
Copyright © ANTARA 2022