Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun meminta Pemerintah lebih adil dan objektif soal kebijakan maupun aturan untuk industri hasil tembakau (IHT).


"Tidak semua aturan itu kemudian memberikan keuntungan bagi industrinya," kata Misbakhun dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Sabtu, mengomentari kebijakan pemerintah di bidang cukai rokok.

Dia pun mewanti-wanti pemerintah sebelum mengeluarkan regulasi tentang IHT harus melihat terlebih dahulu manfaat dan dampak terhadap sektor yang menjadi penyangga hidup banyak orang tersebut.


Misbakhun menuturkan saat menjadi pembicara seminar bertema "Catatan Kritis Kebijakan Cukai Hasil Tembakau dan Tantangan ke Depan" yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi Universitas Merdeka, Kota Pasuruan, pada Kamis (14/7), dia menerima unek-unek para pelaku usaha IHT.

Baca juga: Pemerintah didorong libatkan petani dalam penyusunan IHT

Hal yang menjadi kekhawatiran dan perhatian pelaku usaha IHT ialah soal simplifikasi tarif cukai karena simplifikasi itu dibarengi kenaikan tarif cukai untuk IHT.

Menurut Misbakhun, IHT memiliki peran penting terhadap perekonomian Indonesia. Dia menegaskan IHT mampu menciptakan efek pengganda.

"Industri ini memiliki kemampuan dalam menyerap tenaga kerja yang besar, mulai dari sektor hulu hingga hilir, dan berkontribusi besar dalam menggerakan perekonomian nasional dan daerah," ujarnya.

Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu pun menyodorkan angka untuk menguatkan argumennya. Misbakhun mengatakan kontribusi IHT terhadap Cukai Hasil Tembakau (CHT) mencapai 95 persen.

"Besarnya potensi kontribusi CHT menyebabkan kebijakan cukai makin eksesif. CHT terlihat justru lebih berorientasi pencapaian target penerimaan daripada pengendalian atau pembatasan konsumsi rokok," papar legislator Golkar ini.


Selain itu, Misbakhun juga menegaskan komitmennya untuk membela para petani tembakau.

Politikus asal Pasuruan itu mengaku akan terus menentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau yang dicetuskan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Bagi saya, menolak FCTC ini ibadah. Jihad saya melawan agenda asing di Indonesia. Kalau orang berjihad melawan rokok, saya akan berjihad melawan FCTC," katanya.

Pembicara lain dalam seminar itu ialah Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar. Menurut dia, pelaku usaha IHT merisaukan wacana simplifikasi tarif cukai.

Sulami menjelaskan pada 2012 terdapat 15 lapis (layer) tarif cukai. Namun, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2021memangkas lapis tarif cukai itu menjadi 8.

Menurut Sulami, efek simplifikasi tarif cukai itu ialah penurunan volume produksi rokok legal atau yang berpita cukai. Sebaliknya, simplifikasi dan kenaikan tarif cukai berbanding lurus dengan peningkatan peredaran rokok ilegal.

"Pada 2019 ketika tidak ada kenaikan tarif cukai, tidak ada simplifikasi, peredaran rokok ilegal mengalami penurunan signifikan," ujarnya.

Baca juga: Industri Hasil Tembakau perlu kebijakan terintegrasi
Baca juga: Pemkab Kudus bangun sentra industri hasil tembakau kapasitas 25 gudang

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2022