Secara nasional berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada akhir tahun 2021, angka prevalensi anak stunting di Indonesia masih menyentuh 24,4 persen
Jakarta (ANTARA) - “Harapan saya, satu saja akak. Tumbuh sajalah sehat anak saya,” kata Soraya (30), ibu dari seorang anak yang terkena kekerdilan anak (stunting) dan warga Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Belawan, Kota Medan, Sumatera Utara.
Indonesia, dinyatakan sebagai negara kepulauan terbesar oleh dunia dengan limpahan nikmat tersedia di dalamnya. Tidak ada jenis pangan yang tidak tersedia, semua tumbuh sesuai dengan tanah tempatnya lahir.
Ragam jenis ternak tumbuh sehat di darat, bahari pun tumpah ruah di dalam luasnya lautan. Keunggulan lainnya sebagai negara kepulauan adalah tersedianya akses air di mana-mana.
Tapi kekayaan itu nyatanya belum bisa membuat Ibu Pertiwi sanggup melindungi anak-anaknya yang dihantui rasa sakit akibat stunting yang beberapa di antaranya disebabkan oleh kurangnya asupan gizi sehat, tinggal di lingkungan layak huni dan air bersih yang tak mencukupi.
Secara nasional berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada akhir tahun 2021, angka prevalensi anak stunting di Indonesia masih menyentuh 24,4 persen.
Sedangkan di Kelurahan Bagan Deli sendiri berdasarkan data dalam Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), jumlah keluarga yang terdata ada sebanyak 3.657 keluarga. Sayangnya, sebanyak 1.795 keluarga dinyatakan berisiko stunting.
Camat Kecamatan Medan Belawan Subhan Fajri Harahap berkata, sumber utama dari tingginya risiko stunting di daerah yang pekerjaan warganya didominasi sebagai nelayan itu, terjadi karena banjir rob yang rutin datang menghampiri rumah warga kelurahan itu.
Dalam sehari, banjir rob bisa terjadi sebanyak dua kali baik saat pagi ataupun malam hari. Tinggi air di darat, bisa mencapai setinggi pinggang ataupun dada orang dewasa, yakni 30 sampai 60 sentimeter.
“Itu tergantung dengan prediksi BMKG juga, biasanya di antara 2,4 meter genangan laut sampai 2,8 yang paling tertinggi. Jadi kalau misalnya prediksi dari BMKG itu genangan lautnya maksimum 2,7 atau 2,8 meter. Banyak rumah terendam banjir,” kata Subhan.
“Kami ada ada keranjang sampah di sini buat masukkan sampah, tapi kalau sudah pasang hanyut semua. Jadi sampahnya, sampah kita semua. Kadang tempat tidur pun terendam. Kalau bersihkan pasti tunggu surut kami siram pakai garam,” kata seorang warga bernama Rohani (69).
Warga harus menunggu surutnya banjir dalam waktu tiga sampai enam jam. Banyak sampah seperti plastik, pampers bayi sampai feses warga yang belum memiliki jamban ikut hanyut masuk ke dalam rumah.
Saat ANTARA berada di Kelurahan Bagan Deli, perumahan warga memang dibangun seperti rumah panggung yang berdiri di atas pilar-pilar kayu agar genangan air di bawah tidak naik ke dalam. Untuk berjalan, mereka harus turun ke jembatan kayu yang panjang agar bisa mendekati jalan utama.
Dikarenakan berlokasi dekat dengan pelabuhan, lingkungan di sekitar Kelurahan Bagan Deli berbau menyengat khas air asin, air yang nampak di sekitar pun keruh dan kumuh. Mirisnya beberapa kali terlihat ular kecil berwarna putih berenang ria di bawah rumah.
Dengan menghela nafas, Rohani bercerita tiap keluarga tidak bisa mengonsumsi air yang ada di sekitar. Keluarganya biasa mendapatkan air bersih dari kantor lurah.
Sania (41), anak kandung Rohani, menambahkan keluarganya harus mengocek uang Rp30 ribu per bulan hanya supaya bisa minum air dari kantor lurah. Selain itu, keluarganya juga mendapat air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Ibu butuh pendampingan
Berawal dari sering mengalami demam, muntah dan diare akibat hidup di lingkungan tak bersih yang sering terjadi banjir dan membawa bakteri E-coli, Ibu dari seorang anak stunting, Suci (33) mengatakan bahwa anak ketiganya yang kini berusia 3,5 tahun dinyatakan posyandu terkena stunting sejak menginjak usia satu tahun.
Penyakit-penyakit itu, berhasil membuat anaknya kehilangan nafsu makan dan berakhir dengan menurunnya berat badan. Padahal dirinya yakin betul, selalu berusaha memberikan makanan bergizi seperti telur puyuh dan sosis olahan meski suami hanya bekerja sebagai ojek dengan penghasilan Rp300 per bulan.
Berbulan-bulan sudah, dirinya harus berjuang memulihkan kesehatan buah hati lewat makanan pendamping seperti susu maupun buah-buahan.
“Selama ini saya kasih makan kok tak naik-naik, stunting kan pendek. Beratnya 10,35 kilogram sekarang, tingginya 87 sentimeter. Di usia ini agak sikit, kemarin itu puskesmas bilang beratnya harus 90 atau 100 kilogram, tingginya 89 sampai 97 sentimeter,” ujar Suci.
Tidak hanya air bersih dan lingkungan layak huni, terjadinya stunting pada anak di kelurahan itu juga disebabkan karena rendahnya kesadaran dan pengetahuan orang tua dalam memberikan asupan makan.
Sambil menangis Soraya bercerita anak ketiganya yang berusia dua tahun lima bulan itu, terkena stunting pada usia satu tahun tiga bulan. Berat badan anaknya hanya 9,7 kilogram dengan tinggi badan 81 sentimeter.
Sejak COVID-19 menghantam dunia, sang ayah terpaksa diberhentikan paksa dari pabrik. Tak sanggup dia membeli sekotak susu formula bagi anaknya.
Melihat tetangganya di kanan kiri rumah memberikan air gula sebagai pengganti susu, Soraya pun mengikuti para ibu lainnya. Mulanya, si kecil bersemangat meminumnya. Namun seiring waktu, terjadi pembengkakan pada pipi anaknya.
“Selain air gula, kita kasih ASI tapi dia tidak mau kalau sudah enakan rasa-rasa itu air gula. Jadi diberhentikan ASI, minumlah air gula dan akhirnya bengkak pipi sampai besar. Badan sampai tampak tulang garis-garis itu, hancur hati saya waktu itu akak,” katanya mengingat saat-saat posyandu menegurnya.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menanggapi bahwa pemberian air gula hanya akan menurunkan nafsu makan dan memperbesar potensi terjadinya stunting. Susu juga tak melulu harus dijadikan sebagai makanan tambahan.
Dibanding memaksa membeli susu formula, lebih baik orang tua memberikan bubur atau makanan berprotein tinggi seperti telur dan ikan kembung sebagai pengganti air gula agar asupan gizi anak tetap terjagadalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang harus benar-benar dimaksimalkan, katanya.
Indonesia tepati janji
Mendengar keluh kesah rakyatnya, Presiden Joko Widodo turun langsung ke lapangan pada saat acara puncak Hari Keluarga Nasional ke-29 tahun 2022 untuk melihat kondisi rumah tak layak huni dan berbincang bersama para ibu.
Presiden meminta pemerintah daerah bersama kementerian/lembaga terkait untuk melakukan penataan lingkungan di area tersebut agar tiap anak dapat tinggal dengan lebih nyaman. Tiga rumah sudah direvitalisasi agar lebih layak ditinggali, sebagai bukti keseriusan negara dan akan terus berlanjut.
Perbaikan lingkungan juga mencakup perbaikan jalan di kelurahan, penanganan air bersih dan sanitasi yang layak bagi keluarga. Pihak yang diberikan tugas itu antara lain Pemerintah Daerah Kota Medan, BKKBN dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Ia bahkan berjanji akan segera membangun tanggul yang dapat melindungi perumahan warga dari banjir rob yang selalu membawa sampah dan kotoran masuk ke dalam rumah.
"Nantinya Pemerintah Pusat melalui Kementerian PUPR akan kebagian penataan kawasannya. Jadi air bersihnya, sanitasinya, jalan kampungnya, semuanya akan ditata biar lebih sehat dan baik dan kemiskinan ekstrim yang ada disini juga bisa terentaskan,” kata Presiden.
Hasto menambahkan lingkungan kumuh berkontribusi 75 persen menyebabkan anak terkena stunting. Pihaknya akan bekerja sama dengan PUPR guna menciptakan lingkungan layak huni melalui bedah rumah panggung.
Sedangkan edukasi terkait kesehatan dan gizi keluarga kepada para ibu akan ditindak lanjuti dengan pendampingan dari Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang sudah terbentuk 100 persen di seluruh Indonesia.
Hasto pun menekankan, hanya budaya gotong royonglah yang dapat membantu Indonesia membebaskan anak-anak dari jahatnya stunting. Ia berharap, dari pemerintah hingga keluarga, semuanya berpegang tangan demi masa depan anak bangsa yang cerdas, sehat dan bahagia.
Pemerintah masih memiliki waktu dua tahun lagi untuk mengentaskan masalah stunting ini. Tapi selama itu pulalah, banyak anak terus merasakan rasa sakit dan semakin lemah hari demi hari. Jadi kapan sebenarnya Ibu Pertiwi mampu melindungi anak-anaknya dari bayang-bayang stunting?
Baca juga: BKKBN: 13 kabupaten di Sumut miliki angka kekerdilan di atas 30 persen
Baca juga: Gubernur: Kedatangan Presiden jadi semangat baru Sumut tekan stunting
Baca juga: Memadukan kampung KB dan kampung nelayan di tepi Selat Malaka
Baca juga: Tekan stunting Kemen PPPA genjot DRPPA bebas stunting di Sumut
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022