"Hak untuk berpartisipasi itu ada dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," kata Bivitri Susanti yang merupakan salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu, di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan UU tentang pelibatan masyarakat sudah dua kali mengalami perubahan dan terakhir menjadi UU Nomor 13 Tahun 2022. Pada Pasal 96 dikatakan bahwa ada hak masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Pakar: RKUHP urgen bila bawa paradigma baru dan modern
Oleh karena itu, paparnya, pembentukan UU, peraturan presiden (perpres), peraturan pemerintah (PP), termasuk peraturan daerah (Perda) masyarakat memiliki hak untuk ikut terlibat.
Artinya, ungkap dia, setiap perencanaan, penyusunan hingga pembahasan peraturan perundang-undangan masyarakat memiliki hak.
"Secara mendasar itu sebenarnya hak konstitusional sebab dalam konsep negara demokrasi ketika masyarakat ikut pemilihan umum dan memilih wakil rakyat, maka tidak serta merta menyerahkan 100 persen nasibnya kepada anggota DPR ketika terpilih," katanya.
Baca juga: Anggota DPR minta Pemerintah sosialisasikan 14 pasal krusial RKUHP
Baca juga: CSIS: Pembukaan ruang publik jadi kunci optimalkan pembahasan RKUHP
Tidak hanya pelibatan masyarakat, tambah dia, keterbukaan informasi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan harus diperhatikan DPR RI dan pemerintah.
Ia mencontohkan ketika pemerintah menahan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebelum dikeluarkan secara resmi pada 4 Juli 2022, masyarakat dan mahasiswa mendesak agar keterbukaan informasi dikedepankan.
Menurutnya, jika keterbukaan draf RKUHP dilakukan sejak awal, maka akan lebih baik karena masyarakat bisa memberikan masukan kepada pemerintah dan DPR RI.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022