"Jadi, jangan hukum pidana yang semuanya kita tidak boleh dan ketakutan karena bisa dikenakan sanksi pidana seperti halnya hukum zaman Kolonial Belanda," kata Bivitri Susanti yang merupakan salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu, di Jakarta, Selasa.
Pada saat zaman Kolonial Belanda, ujarnya, pribumi ditekan supaya tidak boleh memberontak dan kritis terhadap pemerintah. Hal itu bisa dilihat dari pengasingan Soekarno ke Boven Digoel dan Banda Neira.
Baca juga: Anggota DPR minta Pemerintah sosialisasikan 14 pasal krusial RKUHP
"Itu karena hukum kolonial menekan kita," ujar Bivitri.
Oleh karena itu, paparnya, saat ini meskipun Indonesia butuh pengaturan agar lebih tertib, paradigma hukum pidana harus berbeda dari warisan Kolonial Belanda tersebut.
"Jadi, kalau dibilang urgensi ya urgensi tapi kalau kontennya itu bersifat kekinian," katanya.
Baca juga: CSIS: Pembukaan ruang publik jadi kunci optimalkan pembahasan RKUHP
Baca juga: Peneliti CSIS: Penyusun RKUHP telah beri pengamanan demokrasi
Namun, ujarnya, apabila RKUHP saat ini masih membawa semangat kolonialisme, maka dinilai belum mendesak dan perlu dilakukan pembahasan mendalam.
Ia mengatakan meskipun KUHP saat ini sudah berusia 105 tahun namun tidak semua paradigma di dalamnya bisa diterapkan di Indonesia dalam konteks kekinian.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto meminta pemerintah khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia lebih masif menyosialisasikan terkait 14 pasal krusial dalam RKUHP yang masih menjadi perdebatan publik.
"Sosialisasi yang dilakukan pemerintah harus lebih masif terkait 14 pasal yang menjadi sorotan publik. Ini sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat," kata Didik.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022