Salah satu pemicu penurunan laju suntikan vaksin tersebut adalah sikap masyarakat yang menganggap vaksinasi COVID-19 tak lagi dibutuhkan
Jakarta (ANTARA) - Dominasi subvarian Omicron di Indonesia memicu laju kasus harian cenderung fluktuatif, bahkan berpotensi memicu gelombang lanjutan jika masyarakat lengah pada komponen perlindungan.
Pada Selasa (5/7), Satgas Penanganan COVID-19 melaporkan 2.577 kasus harian baru, setelah pada akhir pekan sebelumnya terjadi penurunan laju kasus di bawah 2.000 per hari.
Memang ada kecenderungan angka kasus di akhir pekan seringkali menurun atau berada di level rendah, sebab pengaruh penurunan testing hingga keterlambatan input data yang berasal dari laboratorium ke dalam pusat sistem data pemerintah.
Laju penularan COVID-19 di Indonesia saat ini fluktuatif di kisaran 1.000 hingga 2.000 kasus, sesungguhnya masih di bawah standar Level 1 yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Indikator yang dipakai adalah 20 kasus per pekan, per 100.000 penduduk, jika dikonversi dengan situasi di Indonesia, maka standar Level 1 WHO berkisar 7.800 per hari. Artinya, situasi pandemi saat ini masih bisa dikatakan terkendali.
Dilansir dari laporan Kementerian Kesehatan RI, tren proporsi varian COVID-19 di Indonesia didominasi BA.4 dan BA.5 yang merupakan subvarian Omicron.
Berdasarkan pelacakan kasus per 1 Mei hingga 2 Juli 2022 ditemukan 1.179 kasus yang terdiri atas 99 kasus BA.4 dan 1.080 kasus BA.5 di Indonesia. Jakarta mendominasi proporsi BA.5 mencapai 87 persen dari keseluruhan kasus pada 13-19 Juni 2022.
Peningkatan proporsi varian itu sesuai dengan peningkatan kasus, perawatan di rumah sakit dan ICU. Tapi kurang terkait dengan kematian.
Baca juga: Yogyakarta ubah strategi layanan vaksinasi "booster" COVID-19
Dari total 601 pasien terinfeksi BA.5, 475 di antaranya bergejala ringan, 85 gejala sedang, 35 tanpa gejala, dua bergejala berat, satu kritis, dan tiga meninggal. Sementara pada 54 pasien BA.4 yang dirawat, 42 bergejala ringan, 11 gejala sedang, dan satu tanpa gejala.
Berdasarkan analisa klinis pengaruh vaksin pada pasien tersebut, sebagian besar telah menerima suntikan dosis lengkap maupun dosis penguat atau "booster".
Keluhan yang timbul, di antaranya nyeri tenggorokan, batuk, pilek, demam, sakit kepala, sesak napas, mual, pusing, dan anosmia.
Subvarian Omicron tentu menjadi ancaman kemunculan gelombang lanjutan di Tanah Air. Kalau dibandingkan dengan dua bulan sebelumnya pada 5 Mei 2022, jumlah kasus baru COVID-19 Indonesia hanya 250 orang. Artinya terjadi peningkatan lebih dari 10 kali lipat.
Kementerian Kesehatan bersama peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) sedang melakukan serosurvei hingga akhir Juli 2022 terhadap antibodi yang dimiliki masyarakat atas manfaat vaksin COVID-19. Itu dilakukan menyusul penelitian masa perlindungan vaksin dapat menurun dalam enam bulan.
Vaksinasi menurun
Laju suntikan harian vaksin COVID-19 di Indonesia menurun secara signifikan pada Mei hingga Juni 2022.
Indonesia pernah menembus hingga satu juta dosis per hari pada Februari 2022, lalu menurun 967.305 pada Maret 2022, 802.224 pada April 2022, 234.420 pada Mei 2022, dan 208.838 pada Juni 2022.
Dengan laju suntikan saat ini maka dibutuhkan 489 hari untuk mencapai target yang ditetapkan WHO sebesar 70 persen populasi pada Juni-Juli 2022.
Data lain, di Our World in Data per 4 Juli 2022 dilaporkan cakupan vaksinasi lengkap Indonesia baru 60,9 persen. Jadi masih sekitar 40 persen rakyat Indonesia belum menyelesaikan vaksinasinya.
Baca juga: Menkes: 81 persen COVID-19 di Indonesia adalah subvarian BA.4 dan BA.5
Memang data Kementerian Kesehatan per 5 Juli 2022 menunjukkan cakupan vaksinasi lengkap sudah 81,24 persen, tapi pembaginya adalah target 208 juta penduduk sasaran, bukan total penduduk Indonesia yang lebih dari 270 juta.
Pada hari yang sama, cakupan vaksinasi dosis penguat baru berkisar 24,58 persen. Artinya, 75 persen rakyat Indonesia belum mendapat vaksinasi penguat.
Salah satu pemicu penurunan laju suntikan vaksin tersebut adalah sikap masyarakat yang menganggap vaksinasi COVID-19 tak lagi dibutuhkan seiring dengan situasi pandemi yang terkendali di Indonesia.
Pada 1 Juli 2022, WHO melalui keterangan tertulis meminta negara-negara di kawasan Asia Tenggara mempercepat peningkatan cakupan vaksinasi COVID-19 primer (vaksinasi dosis pertama dan kedua).
Menurut data WHO, cakupan vaksinasi COVID-19 primer sudah mencapai 89 persen di Bhutan, 79,9 persen di Thailand, 70,4 persen di Maladewa, dan 70,2 persen di Bangladesh.
Tingkatkan waspada
Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI yang juga mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menyimpulkan fluktuasi kasus saat ini perlu membuat masyarakat meningkatkan kewaspadaan, di antaranya dengan mematuhi protokol kesehatan, testing COVID-19, telusur kasus, serta imunisasi.
Pada 4 Juli 2021, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Instruksi Mendagri Nomor 33 Tahun 2022 tentang PPKM di Pulau Jawa dan Bali yang memberlakukan Level 2 di sejumlah kawasan Jabodetabek berdasarkan pengukuran indikator transmisi di komunitas, kenaikan kasus, hospitalisasi, dan angka kematian.
Ketentuan itu meliputi seluruh Provinsi DKI Jakarta, sedangkan di Provinsi Banten meliputi Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang. Sisanya Level 1. PPKM Level 2 di Provinsi Jawa Barat meliputi Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten Bekasi. Sisanya Level 1
Namun pada hari ini, Mendagri Tito Karnavian mencabut instruksi tersebut dan mengembalikan status PPKM Level 1 di DKI Jakarta dan Bodetabek lewat diterbitkannya Inmendagri Nomor 35 Tahun 2022 tentang PPKM di Jawa-Bali.
Baca juga: Luhut kaji "booster" jadi syarat perjalanan jika Covid-19 naik terus
Kasus yang saat ini bersifat fluktuatif perlu disikapi masyarakat dengan kewaspadaan dan patuh terhadap sistem perlindungan diri.
Pemakaian masker luar ruangan sebaiknya juga dilakukan oleh mereka yang berisiko lebih mudah tertular dan sakit serta saat berada dalam kerumunan atau keadaan dengan risiko penularan lebih mudah terjadi.
Kepala Subbid Dukungan Kesehatan Bidang Darurat Satgas COVID-19 Alexander K. Ginting mengimbau masyarakat untuk kembali mengaktifkan sistem perlindungan terpadu agar laju peningkatan kasus tidak kembali ke situasi PPKM Darurat Juli 2021 (gelombang Delta).
Kendati vaksinasi sudah lengkap, tetap berpotensi terjadi penularan yang hebat sehingga perlu protokol kesehatan yang ketat, salah satunya PPKM levelisasi untuk mengendalikan dan mengawasi pergerakan masyarakat.
Sistem perlindungan yang relevan saat ini bisa dilakukan dengan mengaktifkan kembali kebiasaan memakai masker, jaga jarak, cuci tangan, aplikasi PeduliLindungi, dan vaksinasi.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mendukung strategi perlindungan masyarakat dengan memasukkan tes di tempat pertemuan yang berskala besar, vaksinasi penguat untuk tempat pertemuan skala besar, dan vaksinasi penguat sebagai syarat perjalanan.
Idealnya vaksinasi penguat tidak dilakukan saat proses berangkat, tapi dalam dua pekan sebelumnya, seperti yang pernah diterapkan saat menjadi syarat mudik Lebaran. Kecuali untuk tes RT-PCR atau tes antigen yang boleh dilakukan saat aktivitas perjalanan.
Selain itu, Kemenkes juga mengakselerasi cakupan vaksinasi yang tertinggal dengan menggerakkan seluruh komponen terkait, seperti TNI-Polri, akademisi, swasta, dan media massa.
Akselerasi tersebut dipandang penting untuk membentuk sentra vaksinasi tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi di seluruh wilayah Indonesia.
Baca juga: PDPI: Prokes dan vaksinasi tetap penting cegah kasusCOVID-19 naik
Baca juga: 21 provinsi alami peningkatan kasus COVID-19
Baca juga: Kemenkes deteksi subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 di 143 pasien
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022