Surabaya (ANTARA News) - Penetapan anak perusahaan ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI) yakni Mobil Cepu Limited sebagai operator Blok Cepu makin membuktikan ketidakberdayaan pemerintah dalam menghadapi tekanan dari pemerintah Amerika Serikat. Demikian dikemukakan pengamat ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Muhammad Nafiq yang dihubungi ANTARA di Surabaya, Senin malam, menanggapi hasil kesepakatan Pertamina dan EMOI soal penentuan operator Blok Cepu. "Sebenarnya gelagat ini sudah bisa dibaca saat pergantian direksi Pertamina yang begitu mendadak pekan lalu dan ternyata pemerintah memang tidak berdaya dan tidak punya sikap tegas dalam masalah Blok Cepu ini. Tercapainya kesepakatan ini juga tidak lepas dari rencana kunjungan Menlu AS Condoleezza Rice ke Indonesia," katanya. PT Pertamina (Persero) dan EMOI menyepakati Mobil Cepu Limited (MCL), anak perusahaan EMOI sebagai operator Blok Cepu. Direktur Utama Pertamina Ari Sumarno di Jakarta, Senin mengatakan, kesepakatan tersebut akan ditandatangani pada Rabu (15/3). Berdasarkan kesepakatan, hasil produksi blok Cepu sebanyak 85 persen akan diperoleh negara, sedang 15 persen menjadi bagian dari kontraktor. Dari bagian kontraktor tersebut, Exxon dan Pertamina memperoleh masing-masing 6,75 persen dan Pemda 1,5 persen. MCL akan menjadi operator selama 30 tahun kontrak kerja sama (KKS) sejak 17 September 2005. Dosen Fakultas Ekonomi Unair ini mengatakan pemerintah seharusnya memiliki sikap tegas dalam masalah penentuan operator Blok Cepu dan tidak membiarkan ladang migas yang mampu berproduksi sekitar 170 ribu barel per hari dikuasai pihak asing. "Bukan masalah mampu atau tidak mampu, karena saya yakin Pertamina pasti mampu mengelola Blok Cepu. Kalau pun tidak mampu misalnya, Pertamina kan bisa menggandeng perusahaan nasional yang bergerak di sektor migas," kata Nafiq. Kandidat doktor yang sedang menyelesaikan studi di Unair ini menambahkan apabila pengelolaan Blok Cepu bisa dilakukan sendiri, maka negara akan mendapatkan pendapatan yang lebih besar. Paling tidak, negara akan mendapat tambahan pendapatan sekitar Rp3 triliun lebih per tahun dari yang dikelola asing. "Selain itu, ada pendapatan lebih yang bisa didapat pemerintah yakni harga diri bangsa tidak lagi diinjak-injak pihak asing dan perusahaan lokal ikut terangkat. Tapi penunjukan Mobil Cepu Limited masih bisa dianulir dan itu tergantung dari sikap DPR sebagai wakil rakyat yang selama cukup keras mengkritisi kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal Blok Cepu," tegasnya. Secara terpisah, Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Bojonegoro drh Syarif Usman yang selama intens mengikuti perkembangan negosiasi Blok Cepu menyambut baik hasil kesepakatan Pertamina dan EMOI serta berharap penandatanganan JOA (Joint Operation Agreement) tidak tertunda lagi. "Kesepakatan ini merupakan langkah maju yang dihasilkan kedua belah pihak. Kami berharap penandatanganan JOA tidak lagi tertunda, karena menimbulkan preseden buruk bagi pemerintah," tegasnya. Direktur LSM Winner Center Bojonegoro ini juga menambahkan penunjukan operator Blok Cepu dengan pola COA (Company Organization Agreement) merupakan pola yang cukup ideal untuk transparansi pengelolaan terkait "cost" dan hasil produksi. "Dan yang terpenting dari semua itu, komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat sekitar dan penggunaan tenaga kerja lokal harus menjadi prioritas, serta tetap memperhatikan lingkungan sekitar melalui program `community devolopment` dan program-program lainnya," ujar Syarif.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006