Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan RI membuka kesempatan addendum terhadap daftar Folmularium Nasional (FORNAS) yang digunakan sebagai acuan penggunaan obat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Karena ini dilakukan setiap dua tahun, di tahun kedua biasanya dibuka kesempatan bila mau ada addendum FORNAS, karena terakhir diputuskan pada 2021, jadi formularium ini akan dilakukan lagi secara resmi di tahun 2023," kata Budi Gunadi Sadikin saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama BPJS Kesehatan di Komisi IX DPR RI yang diikuti dari YouTube di Jakarta, Senin.
FORNAS sebagai kendali mutu adalah daftar obat yang disusun oleh Komite Nasional dari perwakilan Kemenkes, BKKBN, BPJS Kesehatan, BPOM RI dan para ahli dari departemen farmasi perguruan tinggi.
Baca juga: Sejumlah obat kanker berbiaya mahal diperdebatkan masuk FORNAS
Daftar produk obat yang masuk dalam FORNAS telah memiliki bukti ilmiah mutakhir terhadap khasiat, keamanan, dan dengan harga yang terjangkau sebelum digunakan sebagai acuan penggunaan obat dalam program JKN.
Budi mengatakan daftar obat-obatan FORNAS pada 2021 mengalami peningkatan jumlah dari 603 item pada 2019, menjadi 630 item, dengan jumlah sediaan meningkat dari 1.043 menjadi 1.074 sediaan.
Budi mengatakan terdapat 72 produk obat yang masa kontraknya selesai pada Maret 2022 dan sudah diproses oleh Kemenkes untuk diperpanjang. Sebanyak 57 obat diantaranya telah beredar, sedangkan enam obat lainnya tidak diperpanjang izin edarnya oleh pabrik dan sembilan obat lainnya masih belum mencapai kesepakatan harga.
Kemenkes juga sedang berkoordinasi dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI seputar potensi mengeluarkan obat-obatan dari daftar FORNAS karena belum memiliki izin resmi, tapi sangat dibutuhkan oleh medis dalam pengobatan pasien.
"Syaratnya, obat-obatan itu tidak memiliki nilai komersial," katanya.
Baca juga: KSP sebut masyarakat dapat layanan setara di Kelas Rawat Inap Standar
Dalam agenda tersebut, Budi mengungkap sejumlah produk obat untuk perawatan pasien kanker dan diabetes yang hingga kini belum masuk dalam daftar FORNAS, karena perdebatan efektifitas dan biaya yang mahal.
Obat yang dimaksud, di antaranya untuk kanker paru kategori PD-L1 inhibitor seharga Rp100 juta untuk penggunaan berkala setiap tiga pekan sekali agar menambah potensi hidup pasien selama 3,9 bulan, dibandingkan terapi standar.
"Jadi, sebulan minimal Rp200 juta sampai terjadi perburukan, karena obat ini tidak menyembuhkan, tapi hanya menunda (kematian)," katanya.
Produk obat lainnya untuk kanker kolorektal yang masuk kategori VEGF inhibitor seharga Rp837 juta-Rp890 juta untuk meningkatkan 2,6 bulan usia hidup pasien.
Baca juga: Telemedisin jangkau layanan JKN hingga pelosok
Baca juga: Menkes dorong penggunaan obat berbahan asli Indonesia di pelayanan JKN
Kemudian obat untuk pasien diabetes yang masuk kategori SGLT2 inhibitor dengan efektivitas yang sama dengan obat yang sudah ada di FORNAS. "Tapi biaya yang dibutuhkan per bulan lebih tinggi dua sampai empat kali lipat," katanya.
Budi menambahkan proses addendum FORNAS saat ini telah masuk di tahapan kajian Komite Nasional Seleksi Obat untuk berlanjut pada rapat finalisasi mengusulkan penerbitan SK Addendum FORNAS berdasarkan hasil dari rapat pleno komite yang diharapkan akhir tahun ini terbit.
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022