London (ANTARA News) - Akankah Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi dan Pornoaksi bakal jadi batu sandungan bagi dunia perfilman di Indonesia yang geliatnya mulai terlihat dalam 10 tahun terakhir. Memang hambatan dari RUU itu bagi dunia perfilman Indonesia belum benar, namun demikian para insan perfilman secara terus terang menyatakan kecemasannya. Hal itu diakui Mira Lesmana, pemilik rumah produksi Miles Productions yang memproduksi film "Pertualangan Sherina", "Ada Apa Dengan Cinta (AADC)" dan "Gie" pada diskusi bertema "Contemporary Indonesian Film" yang dipandu Tony Rains dari British Film Institute di Gedung Theater School Of Oriental & African Study (SOAS) University of London, Sabtu (11/3) sore. Diskusi yang menjadi acara penutup "1st London Indonesian Screening" yang digelar Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) UK bersama KBRI London sejak Kamis (9/3) mendapat sambutan tidak saja masyarakat Indonesia yang ada di Kerajaan Inggris tetapi juga dunia perfilman di UK. Diskusi yang dibuka secara resmi oleh Dutabesar Indonesia Berkuasa Penuh untuk Kerajaan Inggris Dr M Marty M Natalegawa menampilkan beberapa film Indonesia, seperti film Janji Joni, Eliana Eliana, Kuldesak, Arisan, Daun Di atas Bantal, dan Novel Tanpa Huruf R. "Saya baru mendapat SMS dari teman di Jakarta, kalau akan diadakan demontrasi besar-besaran menolak dukungan disahkannya RUU Anti Pornografi yang kontraversial ini," ujar ibu dua anak, Galih dan Kafka, dan bahkan mereka juga mengeluarkan petisi dan mengelar konser di Bali. Mira Lesmana bersama sutradara Riri Reza dan bintang muda yang namanya makin menanjak Nicolas Saputra ikut memeriahkan ajang Festifal Film Indonesia yang baru pertama kalinya diselenggarakan di Inggris. Selain di London juga akan digelar di Glasgow, Skotlandia , yang baru saja mengadakan acara Festival Film Glasgow. Mira Lesmana mengatakan, apapun yang terjadi, sebagai produsen ia akan tetap membuat film, RUU Anti Pornografi itu tidak akan menghambat kreativitasnya sebagai pembuat film dan tentunya juga produser dan sutradara muda lainnya, tegas Mira yang pernah memproduksi dokudrama Anak Seribu Pulau, program televisi sepanjang 14 episode di tahun 1997. "Saya pikir apapun yang akan terjadi kami akan menghadapinya bersama-sama dan bahkan bila ada masalah kami akan berjuang mati-matian," ujar Mira yang memperoleh penghargaan "Best Young Cinema dan Best Critics Cinema" di ajang Festival Film Internasional Singapura tahun 2002 untuk filmnya Eliana-Eliana yang tidak mendapat sambutan di tanah air. Putri musisi jazz kenamaan Jack Lesmana itu mengakui, dalam membuat film mereka sebenarnya juga banyak melakukan pelanggaran, seperti film Kuldesak yang diproduksi bareng Riri Reza, Nan Triveni Achnas dan Rizal Mantovani, tanpa merinci pelanggaran yang mereka lakukan. Jadi untuk mengikuti peraturan yang ada sangat tidak mungkin "It`s impossible," ujar istri Mathias Muchus yang memperoleh penghargaan "Dragons and Tigers for Young Cinema" di ajang Festival Film Internasional Vancouver, Kanada. Awal kebangkitan Film Kuldesak yang diproduksi tahun 1996 dan baru beredar 1998 itu bercerita tentang kehidupan remaja 90an yang memiliki mimpi-mimpi. Di film itu ada Aksan, pemuda keluarga kaya yang bermimpi bisa membuat film sebelum ajal, bisa dikatakan sebagai awal dari kebangkitan film Indonesia. Dikaui oleh Mira Lesmana, film Kuldesak merupakan sebuah pemberontakan dan pernyataan bersama sutradara muda sebagai orang film. Kuldesak memiliki kritik social, ujarnya. "Kami semua bekerja tanpa dibayar." Film yang dibuat secara terpisah itu mempunyai isu yang berbeda satu sama lain dan juga tidak memiliki kaitannya satu sama lain, namun cukup menarik setelah dijalin dalam satu film bercerita. Ada cerita tentang Andre, musisi yang tak bahagia dan pengemar berat rocker Kurt Cobain yang mati bunuh diri dan Dina penjual tiket bioskop yang memiliki obsesi menjadi presenter TV yang memiliki teman gay, serta Lina, perempuan pekerja yang mendapat tekanan dari sang bos di perusahaan periklanan. Film yang diikutkan di International Film Festival Rotterdam itu mengambarkan sebagian kehidupan masyarakat Indonesia yang sesungguhnya, di mana orientasi remaja Indonesia saat itu ke Barat. Koresponden Kompas yang bermukim di Paris Savitri Scherer bersama suami yang datang khusus untuk bisa menyaksikan festival film Indonesia di London merasa terkaget-kaget dengan jalan cerita dan tayangan film Indonesia yang dirasakannya terlalu jauh dari budaya Indonesia. "Apa memang begitu cerminan masyarakat Indonesia saat ini," ujar Savitri yang pernah menulis buku Keselarasan dan Janggalan :Pemikiran-Pemikiran Priayi Nasional Jawa Awal Abad XX menyebut film Kuldesak dan Arisan. Namun secara keseluruhan Savitri merasa kagum akan keberanian para sineas muda Indonesia yang berani menampilkan situasi yang terjadi di tanah air dan menurutnya banyak ragam topik yang bisa diangkat ke layar lebar. Ia pun tidak habis pikir dana yang diperoleh oleh para sutradara muda dalam memproduksi film-film yang bermutu dan menjadi kebangkitan film kontemporer Indonesia di tanah air. Secara jujur Mira mengakui bahwa banyak pengusaha muda yang juga tengah mencoba-coba untuk menanamkan modalnya di dunia film. "Mereka itu hobby menginvest ataupun yang suka bermain saham, industri film buat mereka suatu hal yang baru juga," katanya. Berkambang pesat Secara keseluruhan acara 1`st London Indonesian Screening 2006 berjalan sukses dan mendapat sambutan yang cukup besar, tidak saja datang dari masyarakat Indonesia yang ada di Inggris tetapi juga dari pelajar Malaysia dan Singapura yang ada di UK bahkan beberapa dari Perancis, yang khusus datang ke London. Itu juga tidak terlepas dari peranan Nila Lutfiana dari PPI Hertfordshire. Kamal Ibrahim, orang Malaysia yang bekerja sebagai akuntan yang punya minat akan sastra dan budaya Nusantara, mengakui bahwa perkambangan film Indonesia begitu pesat, meskipun beberapa film jalan ceritanya sulit untuk diikuti. "Maknanya banyak ide-ide baru, seperti layaknya film dari Perancis, Italia maupun Jerman yang sulit untuk diuraikan penonton," ujar Kamal Ibrahin sambil menambahkan bahwa dari berbagai segi film Indonesia lebih baik ketimbang Malaysia. Kamal yang datang bersama tiga kawan Malaysianya mengatakan bahwa acara semacam ini sangat bagus untuk dikembangkan dan ini akan memberikan pandangan baru tentang industri film Indonesia. Sementara itu Riri Reza mengakui RUU Anti Pornografi tidak akan menghambat kreatifitasnya sebagai sutradara film yang memang geliatnya semakin terlihat dalam beberapa tahun terakhir ini. Diakuinya insan film memang menjadi target dari RUU Pornograpi ini karena film merupakan media yang sangat popular, ujar Riri yang mengaku dibesarkan dalam keluarga muslim yang konservatif, namun demokratis. Peserta diskusi secara khusus memang banyak yang melemparkan pertanyaan mengenai pandangan insan film ,sehubungan dengan pro kontra RUU Pornografi yang tentunya diharapkan tidak akan menjadi batu sandungan bagi film Indonesia yang mulai mengeliat itu. (*)
Copyright © ANTARA 2006