Jakarta (ANTARA) - Lima perempuan anggota Kelompok Anyaman Subinana berkumpul di teras sebuah rumah di Desa Nginamanu, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada 23 Juni 2022.
Mereka menganyam bambu untuk membuat berbagai macam produk, termasuk perlengkapan upacara adat.
Apolonia Ona, seorang anggota Kelompok Anyaman Subinana, sudah membuat anyaman dari bilah bambu sejak berusia 19 tahun.
Sebagaimana umumnya perempuan di Desa Nginamanu, dia mempelajari keahlian menganyam bilah bambu dari ibunya, yang juga memperoleh keahlian itu dari sang ibu.
Apolonia, yang biasa dipanggil Mama Loni, setelah menikah memanfaatkan keahlian menganyam bilah bambu untuk menambah pendapatan keluarga, yang utamanya berasal dari usaha tani dan gaji suaminya yang bekerja di Kecamatan Wolomoze.
Mama Loni biasa membuat anyaman bambu untuk perlengkapan acara adat. Namun, sekarang dia juga membuat produk dengan beragam motif sesuai dengan permintaan pasar.
Ibu dari empat anak itu biasanya membuat anyaman bilah bambu pada malam hari, setelah pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan di kebun selesai.
Bahan baku untuk pembuatan anyaman diperoleh anggota Kelompok Subinana dari tempat yang cukup jauh dari desa mereka.
Mama-mama anggota kelompok penganyam bambu itu sering kali harus berangkat pagi-pagi dan baru pulang pada malam hari untuk mendapatkan bambu yang mereka butuhkan.
Mereka pun harus melakukan perjalanan jauh membawa batang-batang bambu sepanjang sekitar tiga meter di pundak untuk memperoleh bahan baku produk anyaman.
"Paling kuat pikul ya dua batang yang ukurannya tiga meter. Karena kan jauh, kalau dekat bisa pikul empat, lima batang," kata Mama Loni, yang berusia 36 tahun.
Mama Loni kadang mendapat bantuan dari suaminya. Jika ada waktu luang, suami Mama Loni membantu dia mengumpulkan dan menyiapkan bambu untuk membuat anyaman, yang biasanya membutuhkan waktu beberapa hari.
Dalam sehari Mama Loni bisa membuat 10 produk anyaman. Selain membuat mbere, perlengkapan upacara adat, dia membuat kantong untuk bibit dari anyaman bilah bambu.
Mbere buatannya dijual dengan harga satuan Rp150.000 sampai Rp200.000, sedangkan kantong bibit biasa dijual dengan harga satuan Rp5.000 ke Yayasan Bambu Lestari (YBL).
Anak perempuan Mama Loni yang masih sekolah sekarang sudah mulai membantu dia membuat anyaman bambu.
Mama Loni menginginkan anak perempuannya juga mewarisi keahlian membuat anyaman bambu.
Pendamping Kelompok Subinana Emanuel Djomba menuturkan bahwa keahlian menganyam bambu merupakan warisan turun temurun di kalangan perempuan Desa Nginamanu.
Meski demikian, ia mengatakan, pembentukan kelompok penganyam baru dilakukan dalam beberapa tahun terakhir.
"Potensinya sebetulnya ada sekitar 40 perajin yang ada di rumah-rumah dan mereka beraktivitas sendiri-sendiri. Saya bisa mengumpulkan sekitar 20 mama-mama dengan kelompok remaja sekitar 12 orang," kata Emanuel.
Menurut dia, pembentukan kelompok perajin diperlukan untuk mendukung pengembangan usaha kerajinan anyaman bambu sekaligus melestarikan tradisi menganyam bilah bambu.
"Minat orang muda untuk kembali mengembangkan tradisi menganyam itu semakin surut, hilang belakangan ini. Sehingga kami melihat bahwa generasi yang menganyam sekarang ini generasi tua," katanya.
"Sekarang kami mencoba (memperkenalkan keahlian menganyam bambu), mulai dengan kelompok usia dini dari SD kemudian SMP sehingga mereka kemudian bisa mewarisi kembali tradisi ini," ia menambahkan.
Menjaga Seni Tradisi
Di bagian wilayah Ngada yang lain, tepatnya di Desa Ratogesa, Marselus Selu juga berusaha mewariskan keahlian memainkan alat musik tradisional warisan leluhur kepada generasi yang lebih muda.
Marselus tidak tahu sejak kapan leluhurnya membuat dan memainkan alat musik tradisional yang dibuat dari bambu.
Yang dia ingat, sejak kecil dia sudah melihat orang-orang di desanya memainkan foy doa, alat musik tiup serupa seruling yang terbuat dari dua buluh bambu.
Marselus secara autodidak mempelajari cara memainkan foy doa serta alat musik tiup foy pay dan bomberdom yang dibuat dari bambu sejak berusia 15 tahun.
Semenjak itu pula dia menekuni musik tradisional. Berkat kesetiaannya menekuni musik tradisional, Marselus bisa tampil di berbagai festival, termasuk Festival Inerie, pesta budaya akbar yang diadakan di Kabupaten Ngada pada 2019.
Namun, kakek dari 10 cucu itu menghadapi tantangan untuk mewariskan keahliannya memainkan alat musik tradisional kepada generasi muda.
Marselus sempat melatih beberapa pemuda di desanya, yang secara perlahan dia tarik untuk belajar memainkan alat musik tradisional dengan moke, minuman khas Flores.
Dalam Kelompok Musik Satu Tekad, Marselus bersama para pemuda itu tampil memainkan musik tradisional di berbagai acara seperti pesta pernikahan.
Namun, kedatangan pandemi COVID-19 dan tuntutan ekonomi kemudian mendorong para pemuda yang bergabung dalam kelompok musik Marselus merantau ke luar Flores demi prospek pendapatan yang lebih menjanjikan.
"Ini tantangan buat saya, harus latih lagi, mulai latih lagi," kata Marselus saat ditemui di desanya pada 22 Juni 2022.
"Sebenarnya mereka sudah tahu semua (cara memainkan alat musik tradisional), tapi namanya hak orang pergi merantau kita tidak bisa larang," katanya, menambahkan, delapan murid yang sudah dia latih telah merantau ke luar pulau.
Marselus sekarang hanya bisa melatih generasi muda memainkan alat musik tradisional ketika dipanggil ke sekolah untuk mengajari para siswa.
Biasanya Marselus dipanggil untuk melatih siswa memainkan alat musik tradisional kalau mau ada lomba.
Dia berharap dukungan yang lebih besar selanjutnya diberikan untuk upaya pelestarian musik tradisional.
Dia juga berharap anak-anak muda tidak hanya mengenal ragam musik dari gawai mereka, tetapi mau menekuni musik tradisi warisan nenek moyang agar bisa mewariskannya kepada generasi selanjutnya.
Sambil memegang foy doa buatannya, Marselus berdoa agar harapan-harapannya bisa terwujud.
Baca juga:
Lomba olahraga tradisional meriahkan agenda Jantra Tradisi Bali
Masyarakat Kudus gelar tradisi "wiwit" kopi jelang panen
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2022