"Potensi biomassa secara garis besar bisa dari pertanian dan perkebunan," kata Meika dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Jumat.
Apabila PLN mengimplementasikan kebijakan co-firing 5,0 persen pada 16 PLTU, maka hanya akan memerlukan 189 ribu hektar.
Apabila persentase ditingkatkan menjadi 10 persen atau sekitar 379 ribu hektare, artinya lahan masih cukup untuk pengembangan biomassa tersebut.
Teknologi co-firing merupakan salah satu cara untuk bisa menurunkan emisi karbon pada pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu bara. Hamparan lahan kering yang terbentang luas itu menjadi modal utama untuk mengembangkan budidaya tanaman energi sebagai bahan baku utama biomassa dalam substitusi energi.
Meika mengambil contoh untuk pengembangan biomassa dari Riau saja bisa mencapai 20 juta ton memanfaatkan limbah sawit. Begitu pun di Sumatera Utara disebut punya banyak potensi.
"Tapi di Jawa tidak kurang juga, dari pertanian ini ada Jerami, sekam, dan sebagainya. Semua berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi," ujarnya.
Terkait ketersediaan lahan, Meika menilai keterlibatan masyarakat perlu dilakukan agar PLN maupun pemerintah tidak sendirian menghadapi tantangan energi.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; kategori hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, dan hutan desa saja sudah cukup potensial. Tanpa memperhitungkan kategori pengelolaan hutan lain seperti hutan alam, izin pemanfaatan untuk perhutanan sosial, serta kemitraan kehutanan disebut ada 572 ribu hektare yang bisa digunakan masyarakat.
Meika memberi catatan bagaimana menggerakkan masyarakat agar mau membudidayakan tanaman energi seperti kaliandra, gamal, lamtoro, sengon, dan lainnya. Selain memikirkan pola tanam tumpang sari antara tanaman energi dan tanaman lainnya, keekonomian dari pasokan disebut juga penting.
Selanjutnya, menciptakan ekosistem tanaman energi yang melibatkan masyarakat lewat kelompok tani, pihak pengolah yang bisa dari anak usaha PLN atau swasta, hingga akhirnya diterima oleh PLTU.
"Ini yang menjadi concern PLN agar suplai biomassa berlanjut dari waktu ke waktu," terang Meika.
Meski demikian, Meika tak kalah kebijakan pemerintah atau mekanisme dukungan yang dibutuhkan untuk menjalankan co-firing dengan biomassa.
Sebagai contoh ia menyebut Jepang dan Korea Selatan meski tak memiliki sumber biomassa memadai, namun bisa menjalankan program dengan melakukan impor serta didukung oleh kebijakan negara itu.
"Amerika Utara, Brazil dan Australia tidak melakukannya karena dukungan pemerintah tidak memadai. Jadi catatannya bisa berjalan jika ada dukungan kebijakan dan insentif," tandasnya.
PT PLN (Persero) terus menunjukkan komitmen untuk meningkatkan porsi energi bersih dan menuju netralitas karbon pada 2060 mendatang. Setelah menerapkan langkah co-firing dengan memadukan porsi biomassa pada PLTU yang dimiliki, kini PLN melibatkan peran serta masyarakat untuk agenda transisi energi ini.
ia menjelaskan bahwa setiap Kwh listrik yang dihasilkan mengandung emisi karbon yang perlu dikendalikan.
PLN memiliki aset PLTU yang banyak mengandalkan batubara sehingga muncul ide pengurangan emisi lewat co-firing selain opsi melakukan pensiun dini atas aset tersebut.
Dari pembangkitan batu bara disebut menghasilkan emisi karbon satu kilogram untuk setiap Kwh yang dihasilkan.
"Kami hadir di sini untuk menentukan masa depan kita, generasi mendatang harus punya masa depan lebih baik. Caranya, kolaborasi untuk mengurangi emisi karbon," ucap Darmawan.
Baca juga: PLN: Uji coba biomassa cangkang pada PLTU capai 100 persen
Baca juga: Tiga BUMN berkolaborasi kembangkan produk biomassa untuk PLTU
Baca juga: Pembangkit listrik biomassa ubah jerami jadi energi di China timur
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022