Tunis (ANTARA) - Presiden Tunisia Kais Saied menerbitkan sebuah rancangan konstitusi baru pada Kamis, yang akan digunakan untuk mengadakan referendum bulan depan.

Saied memperluas kekuasaannya sendiri dan membatasi peran parlemen dalam pemungutan suara yang sebagian besar partai politik telah menolak.

Saied telah memerintah melalui dekret sejak Juli, ketika dia mengesampingkan parlemen dan konstitusi demokratis 2014 dalam langkah yang disebut musuhnya sebagai kudeta.

Saied bergerak menuju pemerintahan satu orang dan berjanji untuk menata ulang sistem politik.

Intervensinya pada musim panas lalu telah mendorong Tunisia ke dalam krisis politik terbesarnya sejak revolusi 2011 yang menggulingkan mantan otokrat Zine al-Abidine Ben Ali dan memperkenalkan demokrasi.

Para pemilih akan diminta untuk menyetujui konstitusi baru dalam referendum 25 Juli. Tingkat partisipasi minimum untuk referendum itu tidak ditentukan.

Dengan sebagian besar kekuatan politik menentang langkahnya dan mendesak pendukung mereka untuk memboikot pemungutan suara, para analis mengatakan referendum itu kemungkinan akan berlangsung, tetapi dengan keterlibatan publik yang terbatas.

Banyak orang Tunisia jauh lebih fokus pada krisis ekonomi yang berkembang dan ancaman terhadap keuangan publik yang telah menyebabkan penundaan gaji dan mengancam kekurangan barang-barang bersubsidi utama.

Rancangan konstitusi yang diterbitkan dalam lembaran resmi Kamis malam itu mengatakan Saied akan terus memerintah dengan dekret sampai pembentukan parlemen baru melalui pemilihan yang diharapkan pada Desember.

Konstitusi baru itu juga akan memungkinkan dia untuk mengajukan rancangan undang-undang dan memiliki tanggung jawab tunggal untuk mengusulkan perjanjian dan menyusun anggaran negara, kata lembaran itu.

Konstitusi baru itu akan menciptakan 'Dewan Daerah' baru sebagai kekuatan politik kedua parlemen.

Sebelumnya, kekuasaan politik lebih langsung dijalankan oleh parlemen, yang mengambil peran utama dalam pengangkatan pemerintah dan pengesahan undang-undang.

Di bawah konstitusi baru itu, pemerintah akan bertanggung jawab ke presiden, bukan parlemen, meskipun majelis itu dapat menarik kepercayaan dari pemerintah dengan mayoritas dua pertiga.

Presiden dapat menjabat dua periode masing-masing lima tahun dan berhak membubarkan parlemen.

Undang-undang pemilu terpisah yang mengatur bagaimana pemungutan suara akan bekerja di bawah sistem politik baru akan diterbitkan kemudian, kata rancangan konstitusi itu.

Namun, hakim, polisi, tentara dan petugas bea cukai tidak akan memiliki hak untuk mogok. Hakim baru-baru ini mogok selama berminggu-minggu sebagai protes atas langkah Saied untuk membatasi independensi peradilan.

Dalam sebuah langkah yang mungkin ditentang oleh kaum konservatif, Islam tidak akan lagi menjadi agama negara, meskipun Tunisia akan dianggap sebagai bagian dari negara Islam yang lebih luas.

Namun, Saied telah mempertahankan sebagian besar konstitusi 2015 yang menyebutkan hak dan kebebasan, termasuk kebebasan berbicara, hak untuk berorganisasi dan hak untuk berkumpul secara damai.

Sumber: Reuters
Baca juga: Rakyat Tunisia tentang referendum konstitusi saat oposisi berkembang
Baca juga: Kelompok HAM: Presiden Tunisia hantam independensi peradilan
Baca juga: Tunisia tak terima komentar Erdogan tentang dekret Presiden Saied

Penerjemah: Mulyo Sunyoto
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2022