"Adalah Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo cukup mampu menerjemahkan dan menafsirkan ulang Reformasi Polri di tengah perkembangan demokrasi digital."

Jakarta (ANTARA) - Semenjak Polri terpisah dari TNI pada 2002, reformasi kepolisian kini terus berlanjut. Langkah-langkah kemajuan Polri yang lebih terukur terus bergulir hingga sekarang.

Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menjadi basis dalam memperkuat eksistensi dan peran Polri sebagai manifestasi dari tugas-tugas keamanan domestik dengan menggunakan pendekatan polisi sipil. Kerangka itu sejalan dengan demokratisasi di Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi seperti penegakan hukum, menghormati hak-hak sipil, serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia (HAM) telah menjadi paradigma baru dalam Reformasi Polri.

Konsep "polisi sipil", yang dinilai masih baru pada masa itu, perlahan tapi pasti berhasil diterjemahkan oleh para jajaran elit Polri. Slogan "Melayani Masyarakat" menggeser paradigma anggota Polri menjadi lebih humanis dan diterima oleh masyarakat. Meski demikian, dalam perjalanan Reformasi Polri tidak terlepas dari kritik dan masukan dari masyarakat.

Adalah Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo cukup mampu menerjemahkan dan menafsirkan ulang Reformasi Polri di tengah perkembangan demokrasi digital. Selama lebih dari setahun, visi "Polri Presisi" telah membawa Polri sebagai institusi keamanan yang lebih inklusif.

Dalam catatan penulis, setidaknya ada empat capaian penting yang menunjukkan optimisme Reformasi Polri di masa sekarang dan yang akan datang.

Pertama, membangun soliditas dan sinergisme Polri dengan TNI. Dua institusi itu merupakan tulang punggung utama negara dalam pertahanan dan keamanan nasional. Sinergi antara kedua institusi tersebut mutlak diperlukan. Polri bertugas menjaga keamanan dalam negeri, sementara TNI membangun pertahanan nasional. Pada hakikatnya, kedua fungsi itu harus selalu dapat menemukan momentum dan titik temu.

Dalam berbagai momentum, komunikasi antara pimpinan Polri dan TNI terus diinisiasi. Komunikasi adalah hal pertama yang terus dibangun oleh Polri untuk membangun soliditas dengan TNI, baik formal maupun informal. Lebih jauh dari itu, saling menghormati peran masing-masing institusi secara proporsional sangatlah penting untuk menjaga sistem demokrasi tetap berjalan pada relnya.

Baca juga: Kapolri: Sinergisme TNI-Polri merupakan harga mati

Dalam hubungan polisi-militer, kita semua perlu mengambil pelajaran dari sejumlah negara. Dari Suriah, kita belajar bahwa ketegangan historis antara institusi polisi dan institusi militer di negara itu telah mengakibatkan berbagai insiden konflik (Mada Masr, 2015). Dari Amerika Latin, kita belajar bagaimana institusi militer bergeser pada peran-peran penegakan hukum yang seharusnya dilaksanakan oleh polisi (Flores-Marcias & Zarkin: 2019). Situasi yang dialami oleh kedua negara itu dapat memperlemah pertahanan dan keamanan dalam negeri, bahkan lebih mengkhawatirkan lagi dapat mengancam keberlanjutan demokrasi.

Kesadaran proporsionalitas dan profesionalitas peran institusi inilah yang dibutuhkan di dalam membangun hubungan TNI-Polri, terutama di jajaran para pimpinannya. Kapolri Jenderal Pol. Listyo cukup menunjukkan komitmennya untuk terus membangun sinergisme dan soliditas Polri-TNI. Itu adalah tongkat estafet Reformasi Security Sector atau Sektor Keamanan Reformasi yang terus dibangun dan dikembangkan.

Kedua, pengawalan target vaksinasi COVID-19. Dalam hal ini, Polri -bersinergi dengan pihak terkait- cukup berhasil mengawal program vaksinasi COVID-19 hingga mencapai target 75 persen. Sepanjang tahun 2021-2022, tantangan program vaksinasi cukup berat. Selain sebaran wilayah yang luas, masa kedaluwarsa vaksin yang cepat, dan kebutuhan spesifik untuk distribusi vaksin, Polri juga menghadapi tantangan dari kelompok antivaksin.

Di 2022, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) merilis 480 berita hoaks terkait vaksin COVID-19 (Kominfo, 2022). Data itu konsisten dengan berbagai kajian di berbagai negara bahwa gerakan antivaksin menemukan momentumnya saat pandemi COVID-19 dengan menggunakan media sosial. Tantangan ini rupanya cukup serius dikelola oleh Polri sehingga berhasil melakukan pengawalan vaksinasi nasional.

Ketiga, penempatan perwira wanita di sejumlah posisi strategis. Setidaknya, delapan polisi wanita (polwan) ditempatkan di posisi strategis. Itu adalah bentuk komitmen Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo terhadap kesetaraan gender dan penguatan perspektif perempuan.

Lebih daripada itu, pengesahan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta sejumlah undang-undang lain yang berkaitan dengan hak-hak perempuan sebelumnya, seperti UU Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Pornografi, memberikan konteks kuat mengapa Polri haruslah memberikan kesempatan kepada polwan, karena perspektif perempuan dibutuhkan dalam penanganan korban.

Baca juga: Polri: Kritik KontraS akan jadi bahan evaluasi

Dalam demokrasi, kesetaraan gender adalah nilai yang penting. Kesempatan ini membuka ruang inklusif di lingkungan Polri itu sendiri. Keberadaan perempuan dalam jajaran pimpinan kepolisian di berbagai tingkatan diharapkan akan memberikan warna baru dalam kebijakan dan pelayanan publik oleh Polri kepada masyarakat.

Keempat, kesediaan Polri menerima kritik dan saran dalam Bhayangkara Mural Festival 2021. Ini terobosan. Posisi Polri sebagai polisi sipil dalam kerangka demokrasi memanglah harus terbuka terhadap masyarakat, terutama dalam hal kebijakan dan implementasi kebijakan.

Dalam hal ini, publik menangkap citra Polri berdasarkan interaksi pelayanan dan pemberitaan media. Kejelian Kapolri untuk menangkap momentum itu sebagai media untuk mengembalikan kepercayaan publik dalam bentuk kegiatan kritik dan masukan patut diapresiasi, karena sifatnya interaksi langsung, sehingga dengan leluasa aspirasi masyarakat terhadap Polri dapat pula ditangkap secara langsung.

Setahun adalah periode waktu yang penting. Dalam konteks fase Organisasi Unggul 2021-2025 sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Polri, setahun adalah tahapan kedua dari penerapan Polri Presisi. Tahapan pertama adalah tahapan 100 hari. Setelah setahun ini, empat transformasi akan terus digulirkan hingga institusi Polri bisa menjadi organisasi yang unggul pada tahun terakhir RPJP.

Hasil capaian secara kuantitatif sejauh ini cukup membanggakan. Dalam setahun, empat transformasi yang digulirkan Polri telah mencatatkan rata-rata 95 persen dari target yang ditetapkan. Rinciannya, Transformasi Organisasi mencapai 95,45 persen; Transformasi Operasional mencatat 97,3 persen; Transformasi Layanan Publik mencapai 92,48 persen; dan Transformasi Pengawasan berhasil meraih 96,8 persen.

Sebagai kata penutup, Polri memang belum menjadi sebuah institusi yang ideal. Namun, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo telah menunjukkan komitmennya untuk menginisiasi dan mengawal perubahan untuk menjadi polisi yang lebih baik dalam melayani masyarakat dan lebih profesional dalam menjalankan tugasnya.

Pada akhirnya, agenda Reformasi Polri haruslah terus digulirkan. Program-program strategis dengan landasan pemikiran haruslah terus dikembangkan supaya tidak terjebak pada jargon-jargon.

Reformasi Polri haruslah dinikmati oleh masyarakat secara keseluruhan. Polri yang Presisi mendukung pemulihan ekonomi dan reformasi struktural untuk mewujudkan Indonesia tangguh, Indonesia tumbuh. Dirgahayu Bhayangkara ke-76.


*) Ngasiman Djoyonegoro, Pengamat Intelijen dan Keamanan

Baca juga: Anggota DPR: HUT Polri momentum terus jaga stabilitas keamanan
Baca juga: Polri berdayakan UMKM di HUT Ke-76 Bhayangkara

Copyright © ANTARA 2022