Tidak semua tentu bisa dilakukan secara robot, jadi ada kelemahannya kalau jaringan yang dioperasi terlalu besarJakarta (ANTARA) - Dokter Ahli Bedah Robotik RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Reno Rudiman mengatakan robotic surgery mulai populer di dunia medis untuk keperluan bedah pasien obesitas dalam menurunkan berat badan.
"Operasi apa saja yang bisa dilakukan robotic surgery?, salah satunya pembedahan bariatrik yang saat ini mulai populer, yaitu untuk menurunkan berat badan pasien obesitas," kata Reno Rudiman yang diwawancara via Zoom di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan cara pembedahan melalui bantuan alat robotik atau robotic surgery dikendalikan menggunakan console di tangan dokter bedah sebagai remote jarak jauh. Mesin akan menerjemahkan setiap gerakan tangan pembedah ke lengan robot di tubuh pasien.
Ia mengatakan gerakan robot sangat akurat dan presisi sebab tremor tangan dokter bedah dapat diabsorbsi sehingga gerakan instrumen tetap stabil. Robotik juga membuat posisi operator lebih ergonomis, sehingga tidak melelahkan untuk operasi yang memakan waktu lama.
Robot bedah juga memiliki kemampuan menangani bedah digestif di saluran pencernaan, pengangkatan kantung empedu dan usus buntu, potongan usus besar pada kasus tumor, reseksi, pankreas, liver, limpa," ujarnya.
Baca juga: 80 dokter Indonesia dilatih kendalikan robot bedah jarak jauh
Pada bedah thoraks atau rongga dada, kata Reno, meliputi pemulihan sakit jantung, dan paru. Selain itu, robotic surgery juga bisa menangani bedah urologi, seperti pada ginjal, kantung kencing, dan prostat.
"Bahkan kalau kanker prostat di Amerika Serikat itu sudah standarnya harus dengan robot, karena sangat sulit dijangkau dengan pembedahan biasa. Sedangkan lengan robot bisa masuk ke daerah yang sulit dan sangat presisi mengangkat prostat yang kena kanker," ujarnya.
Pada bidang bedah kandungan ginekologi, robot tersebut mampu menangani pasien dengan kasus myoma, kista indung telur, hingga permasalahan varium, kata Reno menambahkan.
Reno menambahkan, hingga saat ini tidak semua penyakit mampu dijangkau robot. Misalnya, pasien dengan kondisi jaringan yang dioperasi terlalu besar ukurannya, banyak perlengketan bekas operasi sebelumnya, terdapat komorbid penyakit paru atau jantung.
"Tidak semua tentu bisa dilakukan secara robot, jadi ada kelemahannya kalau jaringan yang dioperasi terlalu besar percuma dengan robot karena luka yang besar," katanya.
Salah satu kondisi luka besar yang dimaksud, seperti operasi sesar pada ibu hamil. "Makanya suka ada yang tanya, apakah robot juga bisa untuk operasi sesar?, kan kita harus mengeluarkan bayi yang demikian besar. Sulit kalau gunakan robot," ujarnya.
Baca juga: Proyek robotic surgery hadapi tantangan kepercayaan hingga biaya
Menurut Reno bedah menggunakan robot pada ibu hamil berisiko memicu trauma di tubuh pasien, sebab perlu rongga untuk memasukkan gas ke dalam perut atau dada untuk melihat ruang di mana bayi berada. "Biasanya dikembungkan dengan gas," ujarnya.
Robot bedah di Indonesia saat ini tersedia secara terbatas, di antaranya dimiliki RS Hasan Sadikin Bandung bernama Robot Sina hasil impor dari Iran, RS Bunda bernama Robot Da Vinci, dan di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta.
Saat ini Kementerian Kesehatan sedang melakukan pengembangan proyek robotic surgery melalui pelatihan dokter bedah, penyediaan payung hukum, hingga mekanisme pendanaan.
Proyek yang dimulai sejak 2020 tersebut ditargetkan rampung dan mulai diimplementasikan paling lambat 2025 di Indonesia sebagai bagian dari transformasi kesehatan dalam menjangkau layanan hingga pelosok.
Baca juga: Bedah jarak jauh robotik di Indonesia dimulai 2025
Baca juga: Perkembangan "robotic surgery" perlu diimbangi dokter ahli mumpuni
Baca juga: Perkembangan "robotic surgery" perlu diimbangi dokter ahli mumpuni
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2022