Denpasar (ANTARA) -
Selain terkenal dengan tempat wisata alam dan wisata budaya, Bali juga memiliki banyak tempat wisata sejarah.

Salah satu ikon sejarah Bali adalah Monumen Perjuangan Rakyat Bali atau orang setempat menyebutnya Bajra Sandhi. Monumen ini berdiri megah di tengah kota Denpasar tepatnya di area Niti Mandala, Renon, Denpasar.

Selain dijadikan tempat bersejarah, kawasan sekitar Monumen ini juga ramai dikunjungi warga dan wisatawan sekadar untuk beraktivitas santai, jalan-jalan, berjualan, berkumpul maupun untuk berolahraga. Setiap pagi dan sore kawasan itu penuh warga dengan aktivitas yang beragam.

Monumen itu dibangun di atas lahan seluas 13,8 hektare dengan luas gedung 4.900 meter persegi. Dinding-dindingnya dibuat dengan sistem tulang beton cor dan dilapisi dengan batuan andesit (lahar) agar tahan terhadap guncangan.

Di sekitar monumen tersebut, juga terdapat jam peninggalan Belanda, tugu kilometer nol dan hotel tertua Ina Veteran Renon.

Flosofi Bajra Sandhi

Monumen itu dinamai Bajra Sandhi karena bentuk monumen ini menyerupai lonceng para pendeta Hindu. Bajra berarti genta atau lonceng besar. Bagian atasnya terdapat periuk (kumba) yang melambangkan Guci Amerta.


Nyoman Subawa, salah seorang staf yang mengelola monumen ititu mengemukakan genta yang menjulang di bagian atas monumen diartikan sebagai lambang perjumpaan lingga, sisi maskulin dan yoni, sisi feminin. Lingga menjadi bangunan utamanya, sementara yoni bangunan dasarnya. Dalam falsafah Hindu, itu merupakan simbol pertemuan purusa (pria) dan radana (perempuan) yang memberikan kesejahteraan bagi kehidupan manusia.

Nyoman Subawa (56) sudah sembilan tahun merawat monumen sejarah Bajra Sandi. Selama itu pula ia telah melayani setiap wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.

Selain itu, kata Nyoman bangunan ini juga dilandasi oleh kisah pemutaran Mandara Giri yang bersumber dari Kitab Adi Parwa, kisah pertama dalam epos Mahabarata.

Secara singkat, Nyoman mengatakan melalui kisah pemutaran Gunung Mandara, para pencetus monumen Bajra Shandi berpesan kepada generasi muda bahwa keberhasilan hanya dapat dicapai dengan kerja keras, ketekunan, keuletan dan gotong royong. Demikian pula bangunan yang berbentuk segi delapan melambangkan kekuasaan Tuhan yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).

Setiap sisi bangunan ini memiliki dasar falsafahnya sendiri-sendiri. Hal ini dapat dilihat dari 17 anak tangga yang ada di pintu utama, 8 buah tiang agung di dalam gedung monumen dan monumen yang menjulang setinggi 45 meter.
​​​​​​

Angka tersebut merujuk pada perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah sehingga dapat merdeka pada 17 Agustus 1945.

Secara horisontal monumen itu berbentuk bujur sangkar yang mengacu pada Konsep Tri Mandala.

Pertama, Nista Mandala (jaba sisi) diwujudkan dalam bentuk pelataran luar yang mengelilingi monumen yang dilengkapi dengan jalan setapak, taman, tempat duduk dan lintasan serta lapangan untuk kegiatan olahraga. Kedua, Madia Mandala (jaba tengah) yang berada dilapis kedua diwujudkan dalam bentuk pelataran yang dikelilingi oleh pagar bangunan dilengkapi pintu gerbang (Candi Bentar) pada keempat sisinya. Ketiga, Utama Mandala (jeroan) merupakan inti bangunan yang dikelilingi oleh telaga, jalan setapak dan bale bengong pada setiap sudut.

Secara vertikal, kata Nyoman, bangunan ini mengambil konsep Tri Angga. Pertama, Nistaining Utama Mandala adalah lantai gedung monumen terbawah. Pada bagian ini terdapat ruang informasi, ruang pameran, ruang rapat, perpustakaan, pusat cendera mata dan toilet. Kedua, Madianing Utama Mandala adalah lantai kedua berisi 33 diaroma, yaitu tempat pemajangan miniatur Perjuangan Rakyat Bali dari masa ke masa. Ketiga, Utamaning Utama Mandala adalah lantai teratas dimana wisatawan dapat melihat pemandangan kota Denpasar.


33 diaroma

Monumen ini, kata Nyoman, kala itu didesain oleh seorang generasi muda bernama Ida Gede Yadnya yang masih berstatus sebagai mahasiswa jurusan arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Denpasar. Dia mengalahkan para arsitek seniornya pada sayembara yang dilakukan pada tahun 1981.

Setelah sayembara rancangan dan gambar, monumen Perjuangan Rakyat Bali mulai dibangun Agustus Tahun 1988 melalui anggaran pemerintah provinsi Bali. Pembangunan monumen ini sempat mengalami hambatan karena depresiasi uang rupiah tahun 1997. Pada tahun 2001, barulah bangunan ini selesai dibangun.
Pada Diaroma 20 terlihat Raja Badung (ditandu) bersama keluarga dan para pengabdinya berpakaian putih melakukan perlawanan sampai akhir (Puputan) menghadapi serangan Belanda ke pusat kerajaan Badung pada 20 September 1906. (ANTARA/Rolandus Nampu)

Pada 14 Juni 2003, Presiden Megawati Soekarno Putri meresmikan Monumen Perjuangan Rakyat Bali bersamaan dengan pembukaan Pesta Kesenian Bali. Sejak saat itulah, monumen ini dibuka untuk umum.

Monumen ini juga dibangun untuk menghormati jasa para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Ia menunjukkan beberapa koleksi yang ada di dalam Museum Monumen Perjuangan Rakyat Bali antara lain diorama berjumlah 33 buah, koleksi foto dan lukisan.

Dalam diaroma yang berjumlah 33 buah itulah sejarah kehidupan orang Bali selama empat generasi ditampilkan.

Dalam diaroma berukuran 2x3 meter wisatawan dapat melihat kehidupan orang Bali dari masa prasejarah, masa Bali Kuno, masa Bali madya dan masa Bali memperjuangkan serta mengisi kemerdekaan.

Dengan pencahayaan yang apik, wisatawan dapat melihat dengan jelas miniatur sejarah perjuangan rakyat Bali. Setiap diaroma diberi keterangan dalam tiga bahasa yakni bahasa Bali, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Secara berurutan diaroma diawali masa prasejarah bagian Selatan, lalu memutar ke kanan mengikuti arah jarum jam. Deretan pertama mulai satu sampai 20, putaran kedua mulai 21 sampai 33.

Dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, Bali merupakan salah satu basis perjuangan melawan Belanda yang terungkap dalam beberapa pertempuran antara lain perang Jagaraga (1848-1849), perang Kusamba (1849), Perlawanan Rakyat Banjar (1868), Perang Puputan Badung (1906), Puputan Klungkung (1908).

Selain itu, ada perang Puputan Margarana di Desa Marga, Tabanan yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai beserta Laskar Ciung Wanara yang telah melakukan perlawanan habis-habisan atau Puputan melawan Belanda pada tahun 1946.

Dengan begitu, sebuah monumen adalah tanda atau pengingat terhadap sejarah (memento historia). Begitu pun, Bajra Sandhi, dibangun untuk mengingat sejarah dan menghormati pahlawan yang telah mempertaruhkan nyawa.

Maka tidak salah, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sendiri telah mempromosikan sejarah Bali melalui paket field trip ke wisata Monumen Bajra Sandhi kepada delegasi acara Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) pada Mei 2022.

Jadi, bagi wisatawan yang ingin mengetahui sejarah Bali dan keindahan arsitektur tradisional Monumen Perjuangan Rakyat Bali atau Bajra Sandhi adalah pilihan yang tepat.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022