Jakarta (ANTARA) - Euforia olahraga bulu tangkis di Indonesia memang luar biasa. Banyak orang yang kemudian memilih bulu tangkis sebagai olahraga rutin setelah menyaksikan atlet-atlet Indonesia berlaga di turnamen-turnamen internasional.
Untuk itu, penting untuk diketahui bagaimana karakteristik permainan bulu tangkis ini. Apa saja faktor risiko dan cedera paling sering dalam bulu tangkis dan bagaimana mencegahnya?
Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga dr. Antonius Andi Kurniawan, Sp.KO dari Ikatan Dokter Indonesia memaparkan dalam siaran resmi, Kamis, bulu tangkis bulu tangkis termasuk kategori olahraga "high impact" dengan gerakan yang dinamis, merupakan kombinasi antara reli-reli pendek dan reli-reli panjang. Karenanya, pemain bulu tangkis membutuhkan kebugaran aerobik atau kebugaran kardiorespirasi untuk dapat bermain bulu tangkis dengan durasi permainan 3 set.
Tak hanya itu, pemain bulu tangkis juga memerlukan kecepatan, tenaga atau power, serta kelincahan yang cukup baik. Misalnya, pada gerakan melompat saat jumping smash, gerakan lunges saat melakukan gerakan netting, gerakan drop shot, gerakan yang cepat dan mengubah arah saat defence, serta gerakan lainnya.
Enam cedera paling sering terjadi
Pemain badminton membutuhkan stamina yang kuat, kelincahan, kecepatan, ketepatan, kekuatan otot, dan koordinasi motorik sendi dan otot yang baik. Olahraga ini dipenuhi gerakan kompleks sesuai dengan tempo permainannya. Itulah mengapa jika tidak berhati-hati, cedera otot, sendi, ligamen, hingga tendon rentan terjadi ketika bermain bulu tangkis.
Beberapa jenis cedera yang dapat terjadi ketika bermain bulu tangkis, diantaranya adalah cedera bahu, pergelangan kaki terkilir, lutut, punggung, siku dan kram otot.
Cedera bahu disebabkan gerakan mengayun yang cepat dan berulang. Tipe cedera bahu pada pemain bulu tangkis disebabkan gerakan sendi bahu yang berulang. Kondisi ini akan menyebabkan otot-otot bahu kelelahan dan mengakibatkan stabilitas sendi bahu menurun. Tendonitis rotator cuff atau tendinopathy adalah kondisi cedera bahu paling sering pada pemain bulu tangkis.
Pergelangan kaki terkilir kerap terjadi akibat gerakan-gerakan berubah arah dalam waktu yang cepat serta gerakan melompat dan mendarat saat melompat untuk smash. Faktor risiko cedera pergelangan kaki bisa berasal dari internal dan eksternal.
Baca juga: Tips agar anak tidak cedera kepala saat bermain
Baca juga: Meski praktis, sunat laser berisiko cedera hingga luka bakar
Faktor internal misalnya: kelelahan saat bermain sehingga membuat keseimbangan menjadi terganggu dan pergelangan kaki kemudian terkilir; faktor eksternal biasanya disebabkan karena kondisi lapangan yang licin atau karena penggunaan sepatu yang tidak tepat.
Sementara itu, jenis cedera lutut yang paling sering terjadi pada olahraga bulu tangkis adalah cedera jumper’s knee atau patella tendinitis yang diakibatkan gerakan melompat dan mendarat berulang dan gerakan lunges yang berulang.
Gerakan melompat dan mendarat serta gerakan lunges memberikan beban yang cukup besar pada tendon sendi lutut sehingga menyebabkan cedera lutut. Selain cedera pada tendon lutut, cedera ligamen lutut dan bantalan lutut juga sering dilaporkan di beberapa jurnal ilmiah, yaitu cedera ACL dan meniskus. Cedera ini sering disebabkan karena gerakan berputar dari lutut.
Cedera punggung bawah juga sering terjadi akibat beberapa gerakan menerjang dan merunduk. Kelemahan otot punggung merupakan salah satu faktor risiko dari cedera lower back pain pada permainan badminton.
Cedera siku dapat terjadi karena beban pada otot yang berlebihan dan terus-menerus selama memegang raket, sehingga menimbulkan peradangan pada otot siku.
Sementara cedera kram otot disebabkan olahraga tanpa melakukan pemanasan dan peregangan otot. Kram otot bisa terjadi di bagian tubuh mana pun, tapi kram yang paling sering biasanya muncul di kaki. Saat kram terjadi, otot akan mengalami kontraksi dan bagian tubuh yang mengalami kram akan sulit digerakkan selama beberapa detik atau bahkan beberapa menit.
Pencegahan
Cedera saat bermain badminton dapat dicegah dengan pemanasan dan pendinginan yang tepat. Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga Sport Medicine, Injury, Recovery Center (SMIRC) dari RS Pondok Indah – Bintaro Jaya menuturkan, mempersiapkan tubuh berolahraga dan beradaptasi dengan intensitas permainan adalah cara terbaik untuk mencegah cedera.
Tak hanya itu, latihan kekuatan otot dan latihan fleksibilitas juga penting dalam mencegah cedera. Penting bagi pemain badminton untuk punya kekuatan otot dan fleksibilitas yang baik untuk mencegah terjadinya cedera.
Sepatu yang tepat pun dapat mengurangi risiko cedera. Sepatu bulu tangkis secara khusus dibuat untuk meredam guncangan sehingga dapat mencegah cedera pada tempurung lutut dan tulang kering. Sepatu yang dipilih juga sebaiknya cukup ringan dengan cushion yang baik untuk dapat melindungi ankle, dan juga memiliki sol anti selip untuk mencegah jatuh karena terpeleset.
Selain sepatu, memilih raket juga tak bisa sembarangan. Berat raket harus disesuaikan dengan kemampuan dan fisik tubuh. Raket dengan berat ringan dapat mengurangi risiko cedera bahu. Ukuran pegangan raket yang terlalu kecil menyebabkan pemain harus menggenggam lebih keras dan meningkatkan strain pada otot sekitar pergelangan tangan. Sedangkan pegangan yang terlalu besar juga membuat pemain tidak leluasa menggerakkan raket. Tingkat ketegangan senar dan jenis senar pun berpengaruh.
Kesehatan dan usia menjadi patokan dalam menyesuaikan intensitas permainan. Sesuaikan intensitas permainan dengan kondisi tubuh masing-masing. Selain itu, lakukan rehabilitasi cedera olahraga sampai tuntas untuk meminimalisir cedera berulang sebagai bentuk cara pencegahan sekunder.
Penanganan cedera dengan teknologi medis terkini
Cedera olahraga akibat bermain bulu tangkis dapat ditangani dengan tindakan non-operatif maupun operatif.
Non-operatif
Untuk menangani cedera yang tidak memerlukan operasi, serta upaya proses pemulihan pasca operasi, dokter spesialis kedokteran olahraga akan melakukan evaluasi untuk kemudian merancang program pemulihan yang sesuai dengan kondisi pasien. Biasanya diperlukan sesi menggunakan teknologi medis dalam periode cedera akut dan sesi latihan untuk membantu memulihkan otot dan sendi yang cedera dan agar pasien dapat kembali berolahraga dan beraktivitas kembali pasca cedera.
Beberapa teknologi medis untuk penanganan cedera antara lain:
Cyrotheraphy (terapi dingin)
Prosedur terapi dingin yang dapat digunakan untuk menangani cedera olahraga akut ataupun rehabilitasi cedera. Metode ini biasa dilakukan setelah operasi atau rekonstruksi sendi, karena dapat membantu mengurangi cedera secara efektif, misalnya pada penanganan pergeseran tulang, patah tulang, memar, keseleo, dan lainnya. Sesi perawatan rata-rata per pasien berlangsung hanya 1-2 menit, tergantung klinis dan target terapi serta instruksi dokter yang merawat.
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)
Metode penanganan non-invasif yang melibatkan arus listrik bertegangan rendah. Anggota tubuh yang terasa nyeri akan dialiri impuls listrik yang menjalar pada serabut saraf, sehingga membantu mengurangi kepekaan terhadap rasa nyeri/sakit. Durasi pengobatan TENS yang optimal adalah 40 menit.
Ultrasound Therapy
Metode pengobatan dengan gelombang suara untuk merangsang jaringan di sekitar area cedera. Getaran gelombang suara dapat merangsang produksi kolagen dan menciptakan panas dalam jaringan, sehingga mampu mendorong penyembuhan pada jaringan lunak dengan meningkatkan metabolisme pada tingkat sel. Metode ini berguna untuk membantu proses penyembuhan tulang, penanganan cedera ligamen, dan lainnya.
Jenis terapi ultrasound tergantung pada kondisi cedera. Untuk nyeri myofascial, strain, atau keseleo dapat digunakan ultrasound termal. Untuk jaringan parut, pembengkakan, dan carpal tunnel syndrome, ultrasound mekanis dapat bekerja lebih baik. Waktu perawatan tergantung pada ukuran area yang dirawat, frekuensi dan intensitas yang digunakan (5-15 menit).
Latihan dan rehabilitasi pasca cedera
Tujuan dari program rehabilitasi adalah untuk mengembalikan semua aspek kesehatan seperti sebelum cedera dengan cara yang terkontrol dan terpantau. Rehabilitasi harus dimulai sesegera mungkin (setelah fase peradangan awal – 72 jam). Dalam tahapan ini, dilakukan latihan fleksibilitas untuk meminimalisasi penurunan kisaran gerak sendi, latihan memperkuat otot, hingga latihan keseimbangan.
Tindakan operatif
Pada penanganan cedera olahraga yang membutuhkan tindakan operasi, dokter spesialis bedah ortopedi konsultan sports injury dan arthroskopi yang ahli dan berpengalaman dalam teknik minimal invasive akan menggunakan arthroskopi dengan sayatan minimal, sehingga pasien dapat pulih lebih cepat dibandingkan dengan operasi konvensional.
Baca juga: Lakukan pemanasan guna hindari cedera olahraga
Baca juga: Bahaya memforsir tubuh untuk olahraga berat bila tidak terbiasa
Baca juga: Tips memakai ransel agar tidak cedera
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022