Jakarta (ANTARA News) - Koalisi Nasional Anti Korupsi (KNAK) menemukan adanya ketidak seriusan aparat penegak hukum dalam menangangi sejumlah kasus korupsi di daerah. "Agenda pemberantasan korupsi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono secara operasional telah dijabarkan dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi, namun sayangnya sejumlah aparat penegak hukum kurang serius menanganinya," kata Juru Bicara KNAK, Emerson Yuntho, kepada ANTARA, di Jakarta, Minggu. Menurut dia, setidaknya dalam perkembangan terakhir ada beberapa laporan korupsi tidak ditindaklanjuti, di antaranya dugaan korupsi kredit macet PT Bank NTB (dahulu BPD NTB) dengan nilai kerugian negara Rp 58,3 miliar. "Meskipun sudah dilaporkan sejak tahun 1999 kepada Kejati NTB, hingga saat ini tidak ditindaklanjuti," ujar Emerson yang juga Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan ICW. Demikian juga dengan kasus pembelian 28 unit mobil pribadi anggota DPRD Kota Banda Aceh yang dilakukan pada tahun 2003 senilai Rp5,7 miliar yang telah dilaporkan kepada Kejati NAD tahun 2003 hingga saat ini belum juga diperiksa. Kasus korupsi pengadaan genset senilai Rp20 miliar yang diduga melibatkan Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi lebih dari setahun belum juga ada kejelasan, karena Kejati Sultra menyatakan tidak ada kerugian negara sebelum ada laporan resmi dari BPKP. Ditambah lagi dugaan korupsi konvensi bunga bank dan PBB Migas Kutai tahun 1996 yang diduga melibatkan HM Syaukani HR (sekarang Bupati Kutai Kartanegara) dan Said Sjafran (mantan Sekda Kaltim) akhirnya dihentikan penyidikannya oleh Kejati Kaltim pada tahun 2001. Kejadian yang sama juga terjadi dalam dugaan korupsi proyek fiktif pengadaan kapal penangkap ikan untuk enam koperasi nelayan tahun 2005 yang dilakukan Kepala Dinas Koperasi, Halim Wijaya dan pengurus enam koperasi nelayan yang kasusnya dihentikan dengan alasan dokumennya hilang akibat bencana tsunami. Dugaan korupsi proyek `ressetlemen` di Tude-Mauta- Kabupaten Alor senilai Rp1,3 miliar dengan tersangka Bupati Alor, Ir Ans Takalapeta akhirnya tidak berlanjut karena dihentikan penyidikannya oleh Polda NTT. Hal yang sama juga terjadi dalam penyimpangan dana APBD Kabupaten Pontianak sebesar Rp2,8 miliar yang disalurkan kepada Yayasan Bestari sejak tahun 1999 sampai 2003. "Dari 45 orang mantan pimpinan dan anggota DPRD Pontianak yang diduga menerima uang haram tersebut, hanya lima orang yang akhirnya diproses hingga ke pengadilan. Sedangkan 40 orang lainnya hingga saat ini belum juga ditetapkan sebagai tersangka," tuturnya. Kriminalisasi pelapor Yang lebih menyedihkan lagi, lanjut Emerson, selain tidak menyeluruh, kerap kali penanganan kasus korupsi tidak menjerat pelaku utamanya, namun hanya menyentuh pada level pelaku lapangannya saja, seperti terjadi pada kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan kepala daerah. "Bahkan ada ancaman dan kriminalisasi terhadap pelapor kasus korupsi. Hingga saat ini sedikitnya sudah ada 19 pelapor kasus korupsi yang diancam dan telah dikriminalisasikan sebagai pelaku pencemaran nama baik," tambahnya. Keenam orang di antaranya bahkan sudah divonis bersalah oleh pengadilan, yakni Arifin Wardiyanto, Endin Wahyuddin, Romo Frans, Arif Rachman, La ode Isa dan Helly Weror dan ironisnya lagi banyak laporan korupsi yang diduga dilakukan oleh terlapor tidak ditindaklanjuti oleh kepolisiaan atau kejaksaan. Selain ancaman kriminalisasi pencemaran nama baik, beberapa pelapor dan aktivis kasus korupsi juga menerima ancaman berupa intimidasi dan kekerasan. Emerson mencontohkan Hidayatullah, seorang pelapor dugaan korupsi dalam lelang kayu jati yang melibatkan Bupati Muna dan pengadaan genset yang melibatkan Gubernur Ali Mazi, sudah dua kali rumahnya dibom oleh orang tak dikenal. "Kasus lainnya juga menimpa Hidayat Monoarfa, pelapor dugaan korupsi di DPRD Banggai yang dipukul benda keras di bagian kepala oleh orang yang tidak dikenal hingga pingsan," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006