Surabaya (ANTARA News) - Direktur Pusat Studi HAM (PuSHAM) Universitas Surabaya (Ubaya), Hesti Armiwulan, berpendapat bahwa siapa pun orangnya tidak ada yang setuju dengan pornografi, namun kontroversi RUU Anti Pornografi-Pornoaksi bersumber pada definisi porno.
"Jadi, pihak yang pro dan kontra dengan RUU APP sebenarnya sama-sama tidak setuju dengan pornografi, tapi mereka masih menyimpan definisi orno yang berseberangan," katanya kepada ANTARA di Surabaya, Minggu pagi.
Menurut dia, DPR sebaiknya bersikap arif dengan kontroversi yang sesungguhnya bersumber pada definisi porno itu, tanpa harus mematok target bahwa RUU APP harus selesai dibahas pada April dan harus disahkan pada Juni mendatang.
"Saya kira, DPR jangan pakai target waktu untuk hal-hal yang sifatnya kontroversi seperti itu, sebab apa artinya UU APP disahkan tapi di lapangan justru tidak berjalan efektif, karena itu tunda saja dulu," katanya.
Aktivis perempuan di Surabaya itu menyatakan DPR sebaiknya menunda pembahasan dan pengesahan RUU APP hingga akhir 2006, dengan memperbanyak masukan dari kalangan aktivis perempuan, organisasi kemasyarakatan perempuan, dan Komnas Perempuan.
"DPR perlu mempertimbangkan informasi tentang pornografi dari sudut pandang kaum perempuan, sebab mau tidak mau, RUU APP itu justru banyak mempersoalkan perempuan. Jadi, DPR sebaiknya pakai target substansi, jangan pakai target waktu, percuma," katanya.
Ia menilai definisi porno yang ada dalam RUU APP saat ini masih terlalu ketat, terlalu menggeneralisir, dan terlalu membatasi kreasi budaya, padahal siapa pun tahu bahwa Indonesia memiliki penduduk yang plural dalam agama dan budaya.
"Contoh soal adalah kaum perempuan di desa yang masih suka memakai pakaian seadanya, apakah mereka harus ditangkap polisi hanya karena pakai `kemben` seperti di Pandaan (Pasuruan). Itu baru satu contoh, sedangkan para penari juga begitu," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2006