Meski berbagai penguasa silih berganti mengisi perjalanannya, perdagangan di kota Jakarta tidak pernah sepi
Jakarta (ANTARA) - Provinsi Jakarta memegang peranan penting bagi ekonomi Indonesia namun siapa sangka di belakangnya ditopang pasar-pasar tradisional yang kehadirannya sudah ada sejak dahulu kala.
Ibarat tubuh, Jakarta bisa disebut sebagai jantungnya ekonomi Indonesia, di mana hampir seluruh perusahaan baik dalam atau luar negeri memiliki pusat operasional di Jakarta.
Selain itu, tingkat konsumsi di Jakarta merupakan salah satu yang tertinggi di Indonesia yang dibuktikan dengan lebih dari 150 pasar di kota ini. Hal yang membuat posisi Jakarta sangat strategis dalam ekonomi Indonesia, bahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut Jakarta memiliki kontribusi sebanyak 17 persen pada ekonomi nasional.
Pentingnya Jakarta, tidak terjadi saat ini saja, namun sudah dimulai jauh sebelum kota ini bernama Jakarta, mengingat kawasan ini sejak era kerajaan di tatar Sunda sampai masa kedatangan para pendatang Eropa, merupakan bandar yang ramai oleh aktivitas perekonomian.
Baca juga: Melongok barang antik di pasar unik Ibu Kota
Akademisi Susan Blackburn dalam bukunya "Jakarta: A History", yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul "Jakarta Sejarah 400 Tahun", menulis bahwa awal mula Jakarta sebagai kota pelabuhan dapat ditelusuri hingga abad ke-12 atau lebih lama, di mana pada kawasan ini berdiri kota bernama Sunda Kalapa yang merupakan pelabuhan kerajaan Padjajaran yang bercorak Hindu-Budha.
Setelah Melaka di Pantai Barat Malaya ditaklukan Portugis pada 1511, nilai Sunda Kalapa naik karena meningkatnya kedatangan pedagang Muslim yang memboikot Melaka.
Namun, pada 1527 pelabuhan ini jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Banten di bawah komando Fatahillah dan mengganti nama pelabuhan ini menjadi Jayakarta (kemenangan dan kejayaan) dengan status sebagai bawahan Kesultanan Banten.
Meski tidak sebesar Sunda Kalapa, Kota Jayakarta memainkan peranan penting sebagai kota perbekalan, tempat bagi kapal-kapal berlabuh untuk mendapatkan air bersih, kayu untuk perbaikan, dan arak yang diproduksi orang China yang menetap di sana.
Baca juga: Peninggian tanggul Dermaga Sunda Kelapa tunggu Rencana Induk Pelabuhan
Kota ini dipimpin seorang yang bergelar Pangeran Jayakarta dengan otonomi yang sangat besar, yang juga akhirnya menjadi salah satu penyebab jatuhnya kota ini ke tangan Belanda.
Dengan reputasi dan posisinya yang dekat dengan Selat Malaka dan Selat Sunda, Belanda melalui kongsi dagang VOC, mengincar kota ini untuk dijadikan markas besar, sebagai lokasi membangun dan memperbaiki kapal, pangkalan beristirahat dan mengisi perbekalan, tempat menyimpan komoditas, serta pusat administrasi dan militer.
Akhirnya, setelah pertikaian dan persaingan rumit antara Jawa (Mataram), Banten, Inggris (EIC), Belanda (VOC), dan Pangeran Jayakarta, pada 30 Mei 1619 Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen membumihanguskan Jayakarta yang berada di sisi Barat sungai Ciliwung, dan dia sendiri mendirikan Batavia untuk selanjutnya menjadi pusat kekuasaan VOC di nusantara.
Setelah kedatangan Jepang dan kemerdekaan Indonesia didapatkan, Batavia-pun akhirnya turut berganti nama menjadi Jakarta.
Meski berbagai penguasa silih berganti mengisi perjalanannya, perdagangan di kota Jakarta tidak pernah sepi, bahkan semakin meningkat dan berkembang, dari awalnya hanya terdapat pelabuhan sebagai lokasi bersandar kapal sekaligus transaksi jual beli, hingga berkembang lebih luas ke daerah pedalaman dengan berdirinya berbagai pasar sebagai lokasi perputaran ekonomi bahkan sampai ratusan yang tersebar di seluruh wilayahnya.
Permulaan Tujuh Pasar Legendaris
Dalam sejarahnya, tempat perdagangan di Jakarta diduga telah ada sejak wilayah ini dikenal sebagai Kota Sunda Kalapa, meski lokasinya berbarengan dengan pelabuhan sebagai jantung kehidupan kota ini, ataupun dekat dengan pusat pemerintahan Pangeran Jayakarta.
Ketika itu, sistem jual beli tidak seperti yang dikenal saat ini, yakni menggunakan sistem campuran dengan menggunakan alat tukar berupa uang, dan dengan bertukar barang atau barter yang menjadi sistem mayoritas yang digunakan.
"Kemungkinan itulah yang dilakukan awalnya secara umum, semisal orang dari China membawa hasil produksi kain sutera, ditukar dengan hasil bumi seperti lada ataupun yang lainnya. Meskipun begitu, ada juga penggunaan uang kepeng utamanya yang dari China, kemudian ada juga yang dari Eropa seperti Real Portugis, jadi beragam," kata Dekan Fakultas Sosial dan Humaniora Universitas Buddhi Dharma, Lilie Suratminto.
Penggunaan uang yang sama sebagai satu-satunya alat tukar yang sah sendiri berdasarkan catatan kolonial, dimulai sejak pasar dengan model seperti yang kita kenal saat ini dibangun pada zaman pendudukan VOC.
Namun, saat itu VOC tidak mengizinkan pembukaan pasar setiap hari namun hanya bisa satu hari dibuka satu pasar. Selain persoalan keamanan akibat kerumunan pasar, menurut Lilie, hal ini berkaitan dengan sistem penarikan pajak oleh VOC yang diadaptasi dari kerajaan-kerajaan Jawa yang menggunakan "hari pasaran" sebagai harinya untuk menarik pajak.
"Ini berkaitan dengan pajak, kan di Jawa itu kerajaan menarik pajak dari masyarakat adalah ketika hari pasar dan itu berkeliling ke seluruh daerah, nah ini diadaptasi. Walau seiring perkembangan akhirnya dibuka setiap hari, awalnya pasar itu dalam seminggu hanya sekali misal pasar Senen ya Senin, dan seterusnya," kata salah satu tokoh di Komunitas Toponimi Indonesia (Kotisia) itu.
Baca juga: Melongok barang antik di pasar unik Ibu Kota
Tapi, kata Lilie, umumnya hanya ada lima hari yang dijadikan waktu dibukanya pasar yakni Pasar Senin, Pasar Rabu, Pasar Kamis, Pasar Jumat dan Pasar Minggu, karena kepercayaan masyarakat kala itu, hari Selasa dan Sabtu tidak diperkenankan melakukan aktivitas perdagangan.
"Namun ya hari Selasa dan Sabtu tetap ada karena pasar kan sumber pajak utama. Dan perdagangan hanya diizinkan dilakukan di pasar," ucapnya.
Adapun pasar pertama yang didirikan zaman VOC dengan penggunaan sistem jual beli dengan uang, adalah Pasar Senen yang oleh orang Belanda disebut Vinckpasser. Pasar ini dibangun 1735 oleh Justinus Vinck sebagai perancang sekaligus pemilik tanah perkebunan Weltervreden di mana sisi Tenggaranya atau di sisi Selatan Jalan Gunung Sahari menjadi lokasi pasar itu hingga saat ini walau telah berubah bentuk.
Nama Pasar Senen sendiri diduga kuat karena pasar ini hanya dibuka setiap hari Senin, namun ada pendapat lainnya yang menyebutkan bahwa hal itu karena lokasinya berdampingan dengan lahan milik Meester Cornelis van Senen yang menguasai tanah antara Jatinegara saat ini sampai ke daerah Senen.
Berdasarkan keterangan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, dalam perkembangannya, pasar bisa buka pada hari Jumat (1751) dan akhirnya bisa buka setiap hari (1766). Saat tahun 1766, uang sewa ditarik empat ribu ringgit tiap toko dan naik jadi 10 ribu ringgit pada 1800.
Baca juga: Pedagang baju bekas Pasar Senen raup omzet hingga Rp12 juta per hari
Seiring berjalannya waktu, Kawasan Pasar Senen terus berkembang dengan di sisi Utara didirikan terminal bus dan di sisi Timur didirikan Stasiun, bangunan pasar sendiri kini memiliki enam blok dengan bangunan permanen terkecuali blok 1-2 yang masih dalam tahap pembangunan baru. Komoditas yang dijual di sini juga semakin beragam dari awalnya memperdagangkan sayuran, menjadi kebutuhan sehari-hari, bahkan saat ini juga dijual pakaian, tas, onderdil kendaraan, hingga menjadi pusat baju bekas "thrifting".
Pasar awal yang dibangun selanjutnya oleh VOC, adalah Pasar Sabtu yang kini bernama Pasar Tanah Abang. Pasar ini dibangun 1735, hampir berbarengan dengan Pasar Senen dengan diarsiteki oleh Yustinus Vinck yang juga sekaligus pemilik lahan lokasi pasar tersebut berada.
Pasar ini diberi izin oleh Gubernur Jenderal Abraham Patramini sebagai lokasi perdagangan tekstil serta barang kelontong dan hanya boleh buka setiap hari Sabtu. Seiring waktu, pasar ini berkembang dan mampu menyaingi Pasar Senen yang sudah lebih dulu maju dan hari buka pun berubah menjadi setiap hari.Kini, Pasar Tanah Abang sudah semakin berkembang dan memiliki tiga sektor yakni Tanah Abang Metro, Tanah Abang AURI dan Tanah Abang Lama yang terdiri atas beberapa blok di antaranya Blok A, B serta F, dan pasar ini kini dikenal sebagai pusat tekstil terbesar di Asia Tenggara.
Selain dua pasar itu, menurut informasi dari berbagai sumber, Justinus Vinck juga mendirikan sebuah pasar di sebelah Timur Batavia di wilayah yang dikenal dengan nama Koja dan beraktivitas hanya pada hari Selasa.
Namun, menurut Ensiklopedia Jakarta, karena kepercayaan masyarakat hari Selasa dianggap kurang baik untuk berdagang, demi mengatasi mitos tentang hari yang tidak baik, nama pasar Selasa diganti menggunakan nama lokasi pasar tersebut menjadi Pasar Koja yang dikenal sebagai pasar yang menjual emas dengan kualitas bagus selain barang lainnya.
Akan tetapi, jejak lokasi dan tahun pembuatan pasar VOC yang awalnya buka pada hari Selasa itu tidak diketahui lagi, bahkan oleh para pedagang yang saat ini berjualan di pasar yang bernama Pasar Koja Baru.
Para pedagang di Pasar Koja Baru, umumnya memiliki cerita bahwa pasar itu merupakan pindahan dari daerah Tanjung Priok (Sampur/Zanvoort), namun tidak mengetahui bahwa di Koja ada pasar yang merupakan Pasar Selasa.
Menurut para tetua, pasar ini dulunya di Sampur daerah Tanjung Priok yang sekarang menjadi pelabuhan, pindahnya ke sini. Pasar Koja Baru namanya tetap sama. Sebelum Pasar Koja Baru, Pasar Koja namanya. Dari pertama memang Pasar Koja, lalu Pasar Koja Baru. Enggak pernah diganti, (pakai nama hari) enggak ada. Mau ke mana-mana, Pasar Koja Baru ya di sini alamatnya," kata Ngatini, pedagang baso yang sudah berjualan di lokasi sejak 1998.
Suparni, pedagang soto dan gado-gado di lokasi juga mengungkapkan hal yang sama bahwa lokasi pasar tradisional di Koja Baru awalnya berada di Gang XI Sampur, namun dia tidak mengetahui ada Pasar Koja yang dulu disebut Pasar Selasa.
"Kalau Pasar Senen, Pasar Rebo, Pasar Minggu pernah dengar, kalau Pasar Selasa emang ada?" tanya dia.
Pasar selanjutnya yang dibuka di bawah hukum VOC, adalah Pasar Kamis yang lebih dikenal dengan Meester Passer yang kini dikenal sebagai Pasar Jatinegara. Berdasarkan catatan kolonial, pasar ini berdiri di atas lahan milik Meester Cornelis van Senen yang awalnya dikembangkan dari pasar di depan Benteng Meester Cornelis sekitar tahun 1770-an.
SZ Hadisujipto dalam buku "Sekitar Dua Ratus Tahun Sejarah Jakarta 1750-1945", menulis bahwa lahan yang awalnya menjadi titik mundur Pangeran Jayakarta dan pengikutnya setelah jatuhnya Jayakarta itu, dibeli oleh Meester Corneles van Senen yang merupakan guru agama Kristen kaya raya dari pulau Lontor, Banda. Akhirnya nama tuan tanah tersebut tersemat pada daerah Senen dan juga Mester di Jatinegara.
Pasar Meester sendiri menjadi pusat perdagangan wilayah Mester yang menjadi kota satelit Batavia waktu itu dengan produk yang datang dari wilayah sekitarnya seperti Bekasi dan Bogor. Kini, pasar yang awalnya hanya di depan gerbang benteng, berkembang sedemikian rupa hingga wilayahnya sebesar satu blok di sisi Selatan Jalan Matraman yang menjual berbagai kebutuhan dari pangan, pakaian, perhiasan, hingga perkakas.
Adapun pasar lainnya yang didirikan sezaman VOC menurut catatan yang dihimpun, merupakan pasar sekunder yang berada pada tiga jalur perniagaan di Selatan Batavia, yakni Pasar Rebo di jalur timur (Oosternweg), Pasar Jumat di jalur barat (Westernweg), dan Pasar Minggu di jalur tengah (Middenweg) untuk mendukung keberadaan tiga pasar utama yang paling dekat dengan Batavia yakni Pasar Jatinegara, Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang.
Pasar Rabu berdasarkan catatan dalam buku "Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie" yang terbit tahun 1869, didirikan pada 1762 oleh pemilik tanah pertanian partikelir Tandjoeng Oost yang merupakan pasar swasta. Pasar ini dibuka setiap hari Rabu yang kelak dikenal sebagai Pasar Rebo.
Baca juga: Anies pastikan perbaikan Pasar Gembrong yang terbakar minggu depan
Namun demikian, tidak diketahui dengan jelas siapa pemilik lahan Tandjoeng Oost karena kepemilikannya cenderung bersifat jangka pendek akibat pemilik meninggal atau kembali ke Eropa, namun lahan ini dikabarkan diakuisisi oleh Gubernur Jenderal Jeremias van Riemsdijk (1775-1777).
Seiring perkembangan zaman, Pasar Rabu yang diduga lokasinya berada di daerah bernama Pasar Rebo berada kini, akhirnya buka setiap hari dengan menjual berbagai macam kebutuhan pangan termasuk sayur dan buah.
Namun secara resmi, pasar di sana dipindahkan ke Jalar Raya Bogor dan menjadi Pasar Induk Kramatjati setelah Indonesia merdeka. Perpindahan pasar ini sendiri ke lokasi Pasar Induk Kramatjati, dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu yakni Ali Sadikin yang menilai lokasi sebelumnya kurang cocok sebagai aktivitas jual beli.
Saat ini, pasar tersebut semakin berkembang dan menjadi salah satu pasar terbesar di Jakarta dengan barang jual beli utamanya adalah bahan pangan berupa sayur mayur dan buah-buahan.
Pasar Minggu (Tandjoeng West Passer) didirikan seiring dengan perkembangan lahan tersebut menjadi peternakan dan pertanian oleh tuan tanah partikelir. Tidak diketahui pasti kapan pasar ini didirikan dan siapa pendirinya, namun diduga sekitar tahun 1770-an ketika lahan itu mulai berkembang, dan pasar itu hanya dibuka pada hari Minggu yang seiring waktu dibuka setiap hari.
Sebelum tahun 1920, lokasi Pasar Minggu (Tandjoeng West Passer) berada di Kampung Lio, pinggir Kali Ciliwung dengan komoditas jual beli berupa beras, kebutuhan sehari-hari, sampai pakaian. Lokasi Pasar Minggu kemudian pada 1920 dipindahkan ke dekat jalan, yaitu dekat rel kereta api dan berseberangan dengan terminal bus.
Kemudian pada 1930, pemerintah Belanda membangun pasar dengan lantai ubin bertiang besi dan beratap seng. Lokasinya itu di terminal bus dan tempat Perumda Pasar Jaya sekarang ini dengan berbagai komoditas yang dijual.
Satu pasar pendukung lainnya, adalah Pasar Jumat yang awalnya berdiri di lahan partikelir Simplicitas (Pondok Labu) sekitar tahun 1700-an akhir, di mana menurut surat kabar Belanda "Leydse Courant" pada 19 Agustus 1782 menyebutkan bahwa lahan ini bersama lahan lainnya di Weltervreden dan di Tjimanggis, dimiliki oleh janda dari Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra, Adriana Johanna Bake.
Namun, lima tahun kemudian Adriana meninggal dunia, menyusul putranya Petrus Albertus van der Parra jr yang meninggal lebih dulu, sehingga kepemilikan beralih ke pihak lainnya. Seiring waktu, pasar yang menjual cengkeh, kulit manis hingga kopi ini kinerjanya cenderung menurun.
Akhirnya posisi pasar yang letaknya di jalur awal antara Bogor-Tanah Abang melalui Cinere (Jalan Karang Tengah Raya), bergeser ke wilayah Lebak Bulus seiring dengan perkembangan jalur ekonomi di sisi Barat lahan Simplicitas yang melalui Pondok Cabe dan Cirendeu, menjadikan pasar ini berada di titik pertemuan dua jalan arteri dari selatan ke Tanah Abang.
Seiring perkembangan waktu, pasar itu menjadi ramai oleh aktivitas perdagangan dengan berbagai komoditas seperti sayuran, buah-buahan, bahan pangan, bahkan buku hingga minyak wangi, ditambah lagi dengan keberadaan terminal bus di sana.
Namun, pada tahun 2010 pasar di Jalan Lebak Bulus Raya tersebut diratakan karena akan dibangun proyek Depo MRT mulai 2012. Pasar yang dulunya ramai sejak subuh hingga ke bibir jalan oleh pedagang sayur, pemandangan dan suara tawar-menawar dari bangunan-bangunan pasar yang berdiripun kini hanya tinggal kenangan dari pedagang kaki lima yang masih berjualan di sana, yang berganti laju kendaraan serta suara klakson bersahutan.
"Kalau inget masa lalu ya kita inget enaknya dagang. Sekarang ya mau gimana lagi," kata Riandi penjual gorengan di lokasi yang dulunya dikenal Pasar Jumat.
Nadi Perekonomian
Pasar memang memainkan peranan penting dalam perekonomian Jakarta sejak era VOC, kolonial, hingga saat ini dan bahkan bisa disebut urat nadi perekonomian yang mengiringi sepanjang sejarah kota terbesar Indonesia ini.
Di era VOC sendiri, pasar-pasar mulai lebih banyak dibangun mengikuti model pasar dengan nama hari tersebut, dan seiring waktu karena kebutuhan yang meningkat dan membanjirnya komoditas perdagangan, pasar dengan nama hari yang telah berdiri lebih dulu akhirnya buka setiap hari.
"Karena kebutuhan masyarakat meningkat dan membanjirnya komoditas dari berbagai tempat terutama akhir masa VOC ketika komoditas milik pribadi pejabat VOC 'ditebengkan' ke kapal VOC, ya akhirnya pasar buka setiap hari, karena barang butuh segera tersalurkan kan," kata Lilie.
Perilaku para pejabat VOC yang mencari keuntungan pribadi itu, akhirnya menjadi salah satu penyebab kebangkrutan perusahaan multinasional tersebut yang kemudian aset dan pengelolaannya diambil oleh Kerajaan Belanda setelah dibubarkan pada 31 Desember 1799.
Meski dikelola oleh kerajaan, kebijakan hari pasar pun tidak pernah diberlakukan lagi, bahkan saat memerintah langsung koloni di Hindia, pihak kerajaan memberi izin pada lebih banyak pasar yang lebih modern untuk berdiri seperti Passer Baroe dan Passer Glodok di mana pasar-pasar pada era ini menjadi inspirasi lahirnya supermarket dan juga mal di Jakarta.
Baca juga: Kapolri cek ketersediaan minyak goreng curah di Pasar Minggu
Meskipun pada zaman-zaman selanjutnya mal dan supermarket menjamur, pasar tidak pernah sepi dan tetap menjadi urat nadi perekonomian di Jakarta bahkan lebih besar lagi.
Sekretaris Umum Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkoppas) Ngadiran menceritakan pasar-pasar di Jakarta memiliki peran penting dalam perekonomian daerah bahkan nasional.
Di mana, menurut perkiraannya dari 153 pasar yang dikelola Perumda Pasar Jaya, ditambah sekitar 40 lokasi binaan untuk UMKM di bawah Dinas PPKUKM DKI, terdapat perputaran uang minimal sekitar Rp1,63 triliun per hari.
Hal ini dari rata-rata pedagang di pasar tradisional, lokasi binaan, sampai pedagang kaki lima di luar pasar yang jumlahnya sekitar 816 ribu, dengan omset kalau dirata-ratakan Rp2 juta.
Dari nilai perputaran uang sebanyak itu, sekitar 30 persennya disumbangkan dari 13 unit pasar besar, termasuk pasar-pasar legendaris Jakarta seperti Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Jatinegara, Pasar Minggu, Pasar Senen, dan Pasar Tanah Abang.
"Karena juga orang Bogor belanja ke sini, orang Depok belanja ke sini, orang Bekasi, bahkan dari kota yang jauh juga tidak jarang belanja ke Jakarta, sehingga bisa disebut pasar di Jakarta merupakan Urat Nadinya Perekonomian di Jabodetabek," tutur dia menegaskan.
Semakin berkembangnya zaman, pusat-pusat perbelanjaan juga semakin banyak di Jakarta, berimbas pada nasib pasar yang menyandang nama hari di mana ada yang yang akhirnya harus hilang oleh pembangunan kota yang terus bergerak, ada juga yang berganti rupa, namun ada juga pasar yang eksis sejak berdiri bahkan hingga semakin besar dan maju.
Namun yang jelas, pasar dengan nama hari ini sebagai tempat pusat perekonomian dan bersosialisasi masyarakat dari masa ke masa, akan terus tercatat dalam sejarah sebagai lokasi yang turut membantu perkembangan Jakarta hingga menjadi kota Metropolitan seperti sekarang ini.
Baca juga: DKI tetapkan Pasar Baru dan Taman Proklamasi sebagai cagar budaya
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2022