Menurut Azyurmardi, dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu, keanehan itu adalah Indonesia seakan memiliki 'dua' Presiden, yakni Presiden yang masih menjabat, dan Presiden terpilih, hasil Pilpres.
Dalam situasi itu, kata Azyumardi saat berbicara dalam Webbinar Moya Institute yang bertajuk "Pemisahan Pilpres dengan Pileg", presiden yang sedang menjabat tak ubahnya seperti Lame Duck atau 'bebek lumpuh'.
Apalagi, lanjut Azyumardi, apabila pascapemilu terjadi gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian MK mengesahkan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden hasil Pilpres 2024, maka legitimasi presiden terpilih menjadi lebih kuat lagi.
Sebaliknya, untuk presiden yang sedang menjabat, akan semakin menjadi "bebek lumpuh". Situasi semacam itu, lanjut Azyumardi akan mengakibatkan kevakuman pemerintahan selama delapan bulan, atau bisa juga berpotensi terjadi disorientasi pemerintahan.
Namun, Azyumardi menyadari keputusan itu susah diubah, sehingga hal tersebut menjadi pelajaran penting bagi para anggota parlemen hasil Pemilu Legislatif 2024.
"Semoga para anggota Parlemen hasil Pileg 2024 nantinya akan memperbaiki hal ini, agar praktik demokrasi kita semakin membaik," ucap Azyumardi.
Direktur Eksekutif SMRC Sirojuddin Abbas membenarkan bahwa segera setelah pilpres, baik putaran satu atau dua, pengaruh atau posisi tawar presiden yang sedang menjabat kemungkinan besar akan menurun di kalangan sekutu politiknya. Periode "lame duck" pun akan terjadi selama 8 atau 4 bulan.
"Pada saat itulah sekutu politik akan pergi ke pemenang atau presiden terpilih. DPR juga mulai tidak responsif terhadap keinginan presiden petahana," kata Sirojudin.
Pengaruh lainnya, lanjut Sirojudin adalah penurunan pengaruh presiden yang menjabat di organisasi pemerintahan, terutama di kementerian yang dipimpin dari kalangan berlatar-belakang parpol. Kerja birokrasi pun menjadi terhambat.
"Birokrasi kita cenderung mendekat kepada kabinet bayangan atau tim pemenang," ujarnya.
Sementara itu, Pemerhati isu-isu strategis Prof Imron Cotan mengatakan "lame duck" akan berimplikasi pada penggunaan APBN, "state procurement".
Pemerintah yang terkena situasi bebek lumpuh, menurut Imron tidak akan optimal menggunakan anggaran negara. Dan bila itu terjadi, lanjut dia perekonomian negara akan terganggu.
"Belanja negara itu penting untuk memutar perekonomian nasional, karena Indonesia dan negara-negara di dunia lain juga sedang menghadapi disrupsi market, akibat dari beberapa hal, seperti pandemi COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina," ujar Imron.
Maka, menurut Imron yang harus menjadi perhatian bersama adalah agar implementasi APBN pada 2024 tidak terganggu, dan diperlukan kebijakan kolektif dari para elit, untuk menyatukan sikap mengatasi periode tersebut.
Sebab, menurutnya bila hal itu tidak diantisipasi, maka Indonesia berpotensi terjerumus pada krisis ekonomi dan sosial, yang tidak diinginkan semua pihak.
Baca juga: Azyumardi Azra sebut Indonesia perlu kepemimpinan berbasis Pancasila
Baca juga: Polri siapkan operasi pengamanan Pemilu 2024
Baca juga: Peneliti: Pemilu 2024 harus beri pembelajaran positif bagi masyarakat
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2022