Besaran kompensasi mulai dari 100.000 hingga 200.000 dolar AS (Rp2,97 miliar) dan aturan terkait hal itu kemungkinan akan diumumkan dalam waktu dekat, menurut beberapa sumber yang mengetahui rencana itu, Kamis.
Rencana itu muncul setelah Kongres AS mengesahkan Undang-Undang Havana tahun lalu.
UU itu mengizinkan Departemen Luar Negeri, badan intelijen pusat CIA dan badan-badan pemerintah AS lainnya untuk memberikan kompensasi kepada staf dan keluarga mereka yang terkena sindrom itu selama penugasan.
Baca juga: Pejabat CIA laporkan gejala sindrom Havana selama perjalanan ke India
Sekitar 200 diplomat dan staf kedutaan AS serta keluarga mereka di luar negeri diyakini telah terjangkit oleh penyakit misterius itu, yang gejalanya mencakup migrain, mual, kehilangan ingatan dan pusing.
Gangguan itu pertama kali dilaporkan oleh kedutaan AS di Havana, ibu kota Kuba, pada 2016 dan selama bertahun-tahun telah dilaporkan dari puluhan tempat di dunia, termasuk Rusia dan China, selain Eropa dan Amerika Latin.
Meski sudah menyelidiki bertahun-tahun, pemerintah AS sejauh ini belum mampu memastikan penyebabnya, termasuk apakah musuh-musuh AS seperti Rusia dan China berada di baliknya.
Penyelidikan CIA yang kesimpulannya dirilis awal tahun ini menyebutkan badan intelijen itu tidak menemukan bukti keterlibatan negara lain dalam sekitar 1.000 kasus yang diselidiki.
Namun, CIA mengatakan pihaknya akan melanjutkan penyelidikan pada dua lusin kasus misterius.
Draf aturan Deplu AS tentang kompensasi itu akan terbuka untuk dikomentari selama 30 hari, sebelum menjadi aturan final lewat proses di Kantor Manajemen dan Anggaran, kata beberapa sumber.
Aturan itu diperkirakan akan mencakup kriteria kelayakan penerima kompensasi, kata mereka.
Mereka juga menambahkan bahwa kepastian soal besaran kompensasinya masih dirampungkan.
Baca juga: Penyelidikan "Sindrom Havana" dipimpin veteran CIA pemburu Osama
Deplu AS menolak berkomentar soal pembayaran, tetapi mereka mengatakan UU Havana mengharuskan pihaknya untuk mengeluarkan regulasi pelaksanaannya.
"Kami akan segera memberikan informasi yang lebih terperinci," kata seorang juru bicara departemen itu.
Para korban dan anggota DPR telah mengeluh bahwa badan-badan pemerintah AS terkesan tidak memandang persoalan itu secara serius .
Menteri Luar Negeri Antony Blinken pada November menunjuk diplomat veteran Jonathan Moore untuk memimpin gugus tugas yang menangani persoalan itu.
Dia berjanji untuk segera melakukan apa pun agar kejadian-kejadian seperti itu tidak terulang.
Sumber: Reuters
Baca juga: Jerman akan masuki Fase 2 rencana darurat gas
Baca juga: 12 negara Uni Eropa terkena dampak pemotongan gas Rusia
Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2022