Jakarta (ANTARA) - Mengenakan baju putih lengan panjang, yang sudah menjadi trade mark-nya dengan ikat kepala Sesingal Tidung, khas Tana Tidung, Presiden Joko Widodo menghadiri prosesi penanaman mangrove (bakau) di Desa Bebatu, Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Utara.
Presiden Joko Widodo menanam mangrove bersama sejumlah duta besar negara sahabat dan masyarakat di Desa Bebatu, Kecamatan Sesayap Hilir, pada Selasa, 19 Oktober 2021.
Kedatangan Kepala Negara disambut riuh oleh masyarakat, penggiat lingkungan, dan kelompok tani yang telah berada di lokasi penanaman sebelum Presiden tiba.
Baca juga: Presiden mengenakan Sesingal Tidung saat prosesi tanam bibit mangrove
Ketua Adat Tidung, Armansyah Ali, bersama Ketua Adat Burusu, Hendrik beserta masyarakat menyambutnya dengan prosesi adat tepung tawar.
Ketua Adat memercikkan air dan memberikan ikat kepala khas daerahnya yang bernama Sesingal Tidung. Dalam bahasa adat setempat, prosesi tepung tawar disebut dengan Timung Bensaluy.
Timung berarti air, Bensaluy itu pendingin. Lalu, beras kuning sebagai satu keagungan dan ucapan syukur kepada tamu yang datang.
Presiden terlihat bersemangat, meski harus berbasah-basah di air setinggi betis untuk menanam mangrove.
Penanaman mangrove di Kabupaten Tana Tidung ini merupakan upaya rehabilitasi hutan mangrove, tanaman dikotil yang hidup di habitat air payau dan air laut yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut.
Baca juga: Pemprov Kaltara-GIZ Jerman kelola mangrove Delta Kayan Sembakung
Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Mangrove sebagai blue carbon merupakan tanaman yang cocok sebagai salah satu mitigasi perubahan iklim, karena mampu menyerap karbon lebih tinggi dan menyimpan karbon hingga jutaan tahun melebihi kemampuan hutan tropis di daratan.
Kemampuan adaptasi bakau sebagai sabuk hijau (greenbelt) di pesisir, mampu mengatasi abrasi dan intrusi air laut, penahan angin dan tsunami, penahan lumpur dan sedimen. Pelestarian ekosistem mangrove, serta secara tidak langsung mampu meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir.
Apa kata pakar
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) pada Oktober 2021 menurunkan laporan sejumlah peneliti dari dalam dan luar negeri terkait mangrove, termasuk penggunaan sejumlah data satelit dalam pemantauan.
Prof. Danielle Wood, Director of Space Enabled Research Group, Massachusetts Institute of Technology (MIT) Media Lab, Amerika Serikat, membagi presentasinya dalam tajuk presentasi Decision Support Model & Visualization for Assessing Environmental Phenomena, Ecosystem Services, and Policy Consequences for sustainable Indonesia Seas.
Teknologi satelit luar angkasa untuk data perubahan iklim makin akrab digunakan karena mampu memberikan informasi seketika (realtime), dikombinasikan desain model menggunakan pemodelan lingkungan sehingga sejumlah data pemetaan bisa disajikan.
Danielle bahkan bisa mengukur parameter resiliensi dari penurunan tutupan mangrove seperti penghasilan, perumahan, transportasi, dan lainnya. Pemodelannya mengukur kerapuhan manusia jika hutan mangrove makin hilang.
Riset dengan pemodelan dampak sosial ini akan lebih mudah menentukan keputusan karena dampaknya pada manusia lebih terukur. Salah satu penelitiannya adalah menjawab masalah banjir, penurunan muka tanah, dan resiliensi pesisir di Pekalongan, Jawa Tengah.
Baca juga: SMN asal Jakarta pelajari hutan mangrove Tarakan
Dataset dari satelit menunjukkan bagaimana proses rehabilitasi yang terjadi seperti vegetasi dan pesisir. Untuk pemetaan potensi banjir, satelit memberikan data seri dari tahun ke tahun tentang perubahan lingkungan seperti perubahan vegetasi dan pesisir.
Peneliti lain, Prof David Lagomasino, Department of Coastal Studies, East Carolina University, Amerika Serikat menyajikan Mangrove Planning for Urban Areas as The Way To Reduce The Impact Of Disaster Due To Climate Change.
Menurutnya, perencanaan mangrove di area urban dalam mengurangi dampak bencana iklim sangat penting. Mangrove adalah sarana untuk melihat perubahan, karena menjadi penahan yang hebat. Ketika mangrove hilang maka manusia kehilangan perlindungan.
Pulau terancam tenggelam
Hutan mangrove menyediakan kayu, sumber perikanan, penyimpanan karbon, objek wisata, filter air, dan lainnya. Namun, kini makin mudah alih fungsi menjadi tambak garam atau sawah.
David meneliti data satelit 50 tahun untuk memahami perubahan hutan mangrove dan perubahan lingkungan yang terjadi. Mulai dari luas, ketinggian, alih fungsi, warna, dan jumlah karbon yang tersimpan.
Makin banyak mangrove hilang, makin banyak warga dan properti yang terdampak. Data global menunjukkan sedikitnya 62 persen mangrove hilang dalam 20 tahun terakhir yang berkonversi jadi sawah, kolam tambak, atau perkebunan sawit.
Ketika beralih fungsi, makin banyak karbondioksida di atmosfer terlepas dari area mangrove. Solusinya adalah restorasi area yang rusak, perlu edukasi, dan rencana sesuai termasuk strategi yang menyesuaikan habitat mangrove di suatu kawasan.
Indonesia, negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara, memiliki sekitar 17.500 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Disebut juga negara maritim karena 62 persen dari total wilayahnya ditutupi laut dan perairan.
Baca juga: 1.000 bibit mangrove ditanam di Pulau Sumanga-Sultra
Oleh karena itu, berbagai aktivitas masyarakat termasuk masyarakat pesisir terkonsentrasi ke laut, terutama dalam memanfaatkan sumber daya alam seperti berbagai jenis ikan, terumbu karang, dan minyak bumi di laut Indonesia.
Namun, perubahan iklim mengubahnya. Situasi geografis dan sumber daya laut Indonesia rentan terhadap risiko bencana iklim yang disebabkan oleh kondisi laut.
Bencana yang paling banyak menimpa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil adalah banjir rob akibat fenomena pasang surut air laut dan kenaikan muka air laut. Bencana lain yang dikhawatirkan adalah tenggelamnya pulau-pulau terluar yang dapat memperkecil wilayah Indonesia.
Rehabilitasi
Dr Zulhamsyah Imran, Direktur SEAMEO BIOTROP menyatakan prioritas program adalah peduli ekosistem, restorasi, dan konservasi. Berikutnya kelanjutan biodiversitas, bio energi, bioteknologi, dan memastikan keamanan pangan. Ketiga, resiliensi menghadapi perubahan iklim.
Hutan dan ekosistem pesisir menyokong ekosistem untuk menghadapi perubahan iklim. Riset yang dipublikasikan 2017, mengungkapkan biodiversitas menyediakan 30 persen pengurangan emisi yang dibutuhkan pada 2030.
Kerangka kerja Biotrop menghadapi perubahan iklim melalui penyelamatan biodiversitas.
Antropogenik atau bencana oleh manusia makin berpengaruh selain faktor alam dimana mangrove berkurang 2 persen per tahun. Dia menilai Indonesia harus buat koneksi laut dan gunung dengan resiliensi, penelitian dan manajemen pengetahuan.
Sementara Arifin Rudiyanto dari Bappenas menjelaskan arah program pembangunan akibat skenario perubahan iklim. Suhu akan bertambah 1,5 derajat celcius dan berpengaruh pada peningkatan permukaan laut 0,9 cm per tahun sampai 2040.
Baca juga: Cegah bencana di pesisir Indonesia dengan rehabilitasi mangrove
Tiga provinsi yang rentan adalah Jawa Tengah, Jakarta, dan Sulawesi Selatan. Arahannya, meningkatkan kualitas lingkungan dan pembangunan rendah karbon.
Ia memaparkan, 11 dari 34 kabupaten/kota di kawasan pantai utara (pantura) Jawa mengalami penurunan muka tanah rata-rata 1-15 cm/tahun. Dampaknya, 10 dari 34 area itu juga mengalami banjir rob parah setinggi 5-200 cm. Inilah lokasi prioritas dan penganggaran.
Sementara Nani Hendiarti dari Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi membagi target dan capaian dampak degradasi lingkungan di Indonesia.
Mangrove kritis akan diatasi dengan target rehabilitasi lebih dari 637 ribu hektare. Data penurunan sampah plastik di laut pada 2020, volumenya diklaim turun 8 persen dari 2019 dan akselerasi program itu dengan aksi strategis.*
Copyright © ANTARA 2022