“Saya coba untuk memandang objektif ya, pemerintah sudah berusaha (mendekatkan diri dengan suku Asmat), tapi terbatas meski modal manusia. Jarak antar kampung terlalu jauh, itu ibarat dari sini ke sana saja sudah habis berapa liter bensin,” kata Hotmianida saat ditemui ANTARA di Desa Damen, Kabupaten Asmat, Papua, Kamis.
Hotmianida menuturkan sejumlah kebiasaan yang mengakar pada kehidupan suku Asmat seperti di Kampung Damen, membutuhkan pendampingan langsung untuk dirubah ke arah yang jauh lebih baik.
Baca juga: Suku Asmat kekurangan guru guna imbangi jumlah siswa yang meningkat
Pada sisi pemberian makanan, sejak dahulu kala warga memakan sagu sebagai bahan pangan utama. Banyak sayur seperti sawi atau makanan protein seperti ikan tersedia dalam jumlah banyak dari tanah yang subur, tetapi orang tua tidak tahu ataupun memperhatikan anak-anaknya yang kelaparan.
Orang tua di Kampung Damen bahkan memiliki keyakinan bahwa anak yang belum bisa berjalan di atas tanah tidak boleh diberi makan daging-dagingan. Akibatnya, banyak anak menderita gizi buruk karena kekurangan nutrisi.
Pemberian ASI eksklusif juga tidak begitu tinggi. Ibu-ibu lebih suka memberikan susu botol lewat pemberian bantuan yang didapatkan dari pemerintah atau memberi sekadarnya.
Baca juga: Perilaku hidup sehat di Suku Asmat membaik pasca-KLB campak 2018
Dengan demikian, perlu menumbuhkan pemahaman terkait gizi pada anak, misalnya melalui pengajaran membuat mp-ASI melalui bahan pangan lokal.
“Jadi ini yang kita ajarkan kalau anak harus di asuh. Kalau pihak kami, biasa kasih (makanan) hanya sebulan sekali saat mau ditimbang. Sekarang sudah mau anak dikasih makan,” ucap dia.
Ia menambahkan pendampingan untuk mengajarkan cara memasak yang benar juga diperlukan. Sebab Suku Asmat suka mengkonsumsi air hujan secara langsung tanpa di rebus terlebih dahulu.
Baca juga: Anak-anak Suku Asmat masih terkendala mengakses pelayanan pendidikan
Dulu, mereka juga tidak membersihkan sisik ikan ketika memasak. Cara memasak makanannya pun hanya direbus atau dibakar, seperti membakar bola-bola sagu.
“Tidak ada warung, garam pun mereka tidak pakai. Itu sagu hanya ambil kasih air bulat-bulat baru dibakar, masih panas sedikit lalu dimakan anak. Kalau ada kemampuan sedikit biasa disangrai, sebenarnya ada kelapa tp itu pun kalau ada dan harusnya diparut. Kadang mereka sampai membuka batok kelapa dengan gigi mereka,” ujar dia Hotmianida.
Sedangkan pada rumah, warga perlu diberikan pengertian pentingnya memiliki WC untuk buang air atau mencuci tangan di setiap keluarga untuk mencegah anak terkena penyakit seperi diare.
Menurut Hotmianida, pemerintah sebenarnya juga sudah berusaha merangkul Suku Asmat. Namun karena jauhnya jarak, memberikan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang diperlukan, membutuhkan waktu yang lama untuk membuat perubahan lingkungan.
Namun, semua pihak bisa memulai dengan memberikan pendampingan penyadaran masyarakat terlebih dahulu secara perlahan yang nantinya mampu diterapkan dan membentuk kebiasaan baru yang sehat.
“Jadi pendekatannya kita tidak pengobatan, tapi lebih pada penyadaran masyarakat. Tapi di sini saja belum lagi memperkirakan air naik dan turun, mesin boat juga mahal. Jadi serba susah,” kata dia.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2022