Bogor (ANTARA News) - Berkurangnya lahan basah di wilayah Jawa mengakibatkan keberadaan burung air jenis Trulek Jawa (Vanellus macropterus) terdesak, makin memprihatinkan keberadaanya dan terancam punah.

"Padahal kehadiran burung air merupakan indikator alami kualitas lingkungan di kawasan basah tersebut," kata Biodiversity Officer Burung Indonesia, Dwi Mulyawati, dalam keterangan pers kepada ANTARA, Rabu.

Dwi menjelaskan, lahan basah merupakan daerah peralihan antara daratan dengan perairan yang tanahnya selalu digenangi air sehingga hanya ditumbuhi tanaman khas.

Diperkirakan, luas lahan basah di Indonesia sekitar 20 persen dari luas daratannya atau mencapai 40 juta hektare.

"Semua tipe ekosistem lahan basah yang ada di dunia tercakup di lahan basah Indonesia seperti kawasan laut (marin), muara (estuarin), rawa (palustrin), danau (lakustrin) dan sungai (riverin)," ungkap Dwi.

Namun, lanjut Dwi, lahan basah alami Indonesia terus menyusut akibat dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, permukiman atau tambak.

Alasannya, lahan basah dianggap kurang produktif dan kurang bermanfaat. Padahal, lahan basah memiliki fungsi ekologis yang menjaga keseimbangan ekosistem daratan maupun perairan, baik habitat ataupun kehidupan tumbuhan dan satwanya.

Nenek moyang suku Jawa, Bali dan Bugis telah memanfaatkan lahan basah (buatan) untuk menanam padi dengan menciptakan sawah sejak 6.000 tahun silam.

Sedangkan lahan basah (alami) seperti rawa pasang surut sudah dimanfaatkan untuk menanam padi sejak zaman Majapahit.

Lahan basah juga bermanfaat bagi manusia sebagai sumber produk makanan, bahan baku industri dan obat.

Dwi mengatakan, lahan basah yang rusak tidak akan mampu menyokong sejumlah besar populasi burung air. Hutan mangrove dan hamparan lumpurnya, rawa atau sawah merupakan tipe habitat lahan basah yang disukai Trulek Jawa, karena di lahan tersebut mereka mencari makan, beristirahat dan berbiak.

Trulek Jawa merupakan salah satu jenis burung air yang nasibnya mengkhawatirkan di lahan basah.

"Burung ini hidup di Pulau Jawa merupakan endemik Pulau Jawa. Dikhawatirkan kondisinya saat ini mendekati kepunahan," katanya.

Dwi menjelaskan, Trulek Jawa merupakan burung berukuran 27 hingga 29 cm dengan kepala hitam dan kaki panjang kekuningan.

Ia memiliki kebiasaaan tinggal di wilayah rawa yang luas, muara sungai serta genangan air di lahan basah saat musim hujan.

Perburuan, penangkapan dan hilangnya habitat alami merupakan ancaman utama terhadap populasinya yang tergolong kecil.

"Burung ini termasuk salah satu hewan paling langka di dunia ini, terakhir kali terlihat pada tahun 1939 di Pantai Meleman, pesisir selatan Jawa," katanya.

Sejak saat itu, lanjut Dri, tidak pernah tercatat lagi kehadiran burung tersebut di Indonesia.

Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai jenis dilindungi sejak tahun 1978. Hingga kini, para ahli burung masih melacak keberadaan burung berstatus Kritis (Critically Endangered/CR) ini.

"Para ahli melacaknya melalui survei dan ekspedisi di sepanjang pesisir pantai maupun lahan basah di Pulau Jawa," ujarnya.

Dwi mengaskan bahwa pembangunan dan pengelolaan lingkungan yang tidak menghiraukan kelestarian lahan basah, sepatutnya diperhatikan kembali. Mengingat lahan basah tidak hanya berguna bagi perlindungan dan pelestarian burung air beserta flora-fauna saja.

"Tetapi juga, mencegah terjadinya bencana alam yang mengancam kehidupan manusia, misalnya banjir," kata Dwi.

Burung Indonesia adalah organisasi nirlaba dengan nama lengkap Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia yang menjalin kemitraan dengan BirdLife International, Inggris. Burung Indonesia beralamat di Jalan Dadali 32 Bogor.

(T.KR-LR/S023)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2012