Jakarta (ANTARA) - Perangkat undang-undang untuk mencegah dan menjerat para pelaku kekerasan seksual di Indonesia sudah cukup lengkap, namun kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak seakan tidak ada habisnya.

Pemerintah sebenarnya sudah menetapkan darurat kekerasan seksual anak sejak tahun 2014 dan mengeluarkan gerakan bersama melalui Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Anak.

Gerakan itu didorong dengan Instruksi Presiden Nomor 5/2014 yang menginstruksikan kepada para menteri, jaksa agung, gubernur dan wali kota/bupati untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat dan dunia usaha.

Namun, eskalasi kekerasan seksual khususnya terhadap anak perempuan cenderung meningkat.

Sementara berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021, masih terjadi peningkatan prevalensi kekerasan seksual dalam lima tahun terakhir dari 4,7 persen pada tahun 2016 menjadi 5,2 persen pada tahun 2021.

Lebih miris lagi dalam sebulan terakhir justru menonjol pelaku kekerasan seksual oleh sosok ayah. Di beberapa daerah muncul kasus ayah yang tega menodai anak kandung dan anak tirinya, bahkan ada yang membuat korban sampai hamil.

Dalam sebulan terakhir ada tiga kasus menonjol yang terungkap atas keberanian para ibu melaporkan kasus kepada kepolisian.

Pada 31 Mei 2022, Polres Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, menangkap seorang ayah berinisial AD (42) yang diduga menyetubuhi anak tirinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

AD tertangkap tangan melakukan tindak pidana persetubuhan kepada korban di dapur oleh kakak kandung korban. Atas aduannya, ibu kandung korban melaporkan AD ke kepolisan. Terungkap aksi itu AD dilakukan berulang kali sejak Agustus 2021.

Kemudian Pada 8 Juni 2022, Polresta Pulau Ambon dan PP Lease mengungkap kasus seorang ayah, yang diduga melakukan tindak pidana pencabulan dan pemerkosaan (rudapaksa) terhadap lima anak dan dua cucunya yang masih di bawah umur, di Kota Ambon, Maluku.

Ada tujuh korban yang dicabuli serta disetubuhi pelaku berinisial RH (51) yang adalah ayah kandung dari lima anak sekaligus kakek dari dua cucu yang menjadi korban.

Dan terakhir pada 11 Juni 2022 Personel Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polresta Banda Aceh menangkap seorang pria asal Kabupaten Aceh Besar berinisial AK (37) karena diduga telah mencabuli anak kandung sendiri yang berusia 14 tahun.

Penangkapan terhadap AK di rumahnya setelah adanya laporan dari istri pelaku. Dalam pemeriksaan terungkap pencabulan anak kandungnya itu dilakukan AK sejak Februari 2021.

Baca juga: Finalis Puteri Indonesia 2022 didorong advokasi isu perempuan dan anak

Fenomena gunung es

Yang diungkap media atau yang berani melaporkan mungkin hanya sekian persen saja, apalagi korban mendapat ancaman pembunuhan dari pelaku. Wajar jika diyakini yang muncul hanya fenomena gunung es dari jumlah kasus yang sesungguhnya terjadi.

Ratusan kasus juga mungkin ditutup rapat-rapat oleh korban dan keluarganya karena dianggap aib.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga meminta kepada masyarakat untuk berani melaporkan tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129.

Menteri PPPA menegaskan, tidak harus korban saja yang melaporkan. Jadi siapapun yang melihat dan mendengar tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak) segera laporkan ke SAPA 129.

Layanan SAPA 129 itu dapat diakses melalui hotline 021-129 atau whatsapp 08111-129-129. SAPA129 memiliki enam jenis layanan, yaitu layanan pengaduan masyarakat, pelayanan penjangkauan korban, pelayanan pengelolaan kasus, pelayanan akses penampungan sementara, pelayanan mediasi, pelayanan pendampingan korban.

Selain melalui telepon dan whatsapp, Kementerian PPPA juga menerima laporan tindak kekerasan melalui media lain seperti forum online, Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) Lapor, surat, hingga pengaduan langsung.

Baca juga: Kemen PPPA minta orang tua awasi anak bermedsos

Berani melapor

Keberanian korban dan keluarga untuk melaporkan pelaku yang tidak lain adalah sosok ayah perlu mendapat apresiasi sekaligus mendorong keluarga lain untuk berani melaporkan pada aparat kepolisian.

Tanpa berani bersuara pelaku akan terus melakukan aksi bejad dan secara psikologis anak-anak akan terus menderita bahkan bisa menjurus keputusasaan sampai keinginan untuk bunuh diri.

Kalau kepada anak sendiri berani, pasti kepada anak-anak lain juga berani apalagi jika ada kesempatan.

Selain dukungan pengungkapan dari keluarga, hukum juga harus memberikan hukuman yang lebih keras terhadap pelaku yang seharusnya menjadi pelindung korban.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau akrab disapa Kak Seto minta pengadilan menjatuhkan hukuman maksimal kepada ayah yang diadili karena mencabuli anak-anaknya.

Kak Seto minta agar pelaku dijatuhi sanksi maksimal. 'Mudah-mudahan mendapat perhatian dari majelis hakim," katanya.

Ia berharap hal tersebut akan memberikan efek jera dan tidak sampai terulang lagi.

Selain itu menurut Kak Seto, perhatian terhadap anak yang menjadi korban juga harus serius ditangani seperti perawatan psikologi yang berkesinambungan agar dampak yang dialami korban bisa berkurang.

Dengan disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) oleh DPR RI dalam sidang paripurna pada tanggal 12 April lalu diharapkan akan implementatif dan memberikan manfaat, khususnya bagi korban kekerasan seksual seperti yang diharapkan kak Seto antara lain perawatan psikis anak dan satu lagi soal restitusi bagi korban kekerasan seksual.

Menteri PPPA Bintang Puspayoga mengecam keras sejumlah kasus perkosaan terhadap anak kandung maupun anak tiri oleh sosok seorang ayah.

Ia meminta hukum ditegakkan seadil-adilnya untuk kasus tersebut, dan jangan ada toleransi, bahkan kalau perlu diberi tambahan hukuman kebiri.

Hukuman kebiri pantas diberikan karena sosok ayah seharusnya adalah pelindung keluarga sehingga bisa saja setelah bebas dari penjara dia akan berkeluarga dan kembali mengulangi perbuatannya kepada anak-anaknya.

Hukuman kebiri ini juga akan memberikan efek jera kepada sosok ayah lainnya yang punya niat untuk melakukan pelecehan pada anak-anak perempuannya.

Hukum kebiri secara kimia di Indonesia sendiri baru disahkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia.

Hukuman kebiri ini efektif jika diberikan pada pelaku yang menderita gangguan pedofilia atau penyuka anak-anak, termasuk sosok ayah yang menyukai anak-anaknya.

Baca juga: Perempuan & anak korban kekerasan seksual alami dampak lebih besar

Tidak aman

Kasus kekerasan seksual oleh sosok ayah menguatkan fakta bahwa, lingkungan keluarga atau lingkungan terdekat anak tidak sepenuhnya aman untuk melindungi anak dari tindak asusila itu.

Manusia itu makhluk seksual termasuk laki-laki sehingga setiap saat ketika ada rangsangan maka gejolak seksual tidak bisa dibendung. Tanpa kontrol diri dan kekuatan iman maka siapa saja bisa menjadi pelampiasan, termasuk anak-anaknya sendiri yang seharusnya dilindungi.

Oleh karena menjadi penting untuk membekali anak-anak kita dengan pendidikan seksual khususnya pengetahuan tentang ancaman kekerasan seksual yang biasanya diawali dengan bujukan dan rayuan untuk mau didekati dengan intim.

Jika sang ibu belum punya pengetahuan soal bagaimana memulai pendidikan seksual bagi anak-anak perempuannya maka bisa berkonsultasi dengan psikolog atau guru pembimbing di sekolah.

Anak-anak harus diberi pelajaran tentang batasan seorang laki-laki menyentuh bagian-bagian intimnya sehingga ketika batasan itu ditembus maka anak harus punya keberanian menolak dan melaporkan kepada ibu dan kerabat yang lain.

Pelajaran penting lain yaitu seorang ibu wajib mempunyai hubungan komunikasi dengan intens dengan anak-anak perempuan sehingga anak merasakan ada saluran untuk mencurahkan setiap hal yang mengganggu kehidupan pribadi.

Perubahan perilaku sang anak bisa menjadi deteksi dini dari para untuk lebih intens mencari apa yang terjadi pada anak-anaknya.

Tidak hanya pada putri, kepada anak-anak putra juga perlu ditanamkan bahwa mereka menjadi pelindung dari adik-adik perempuannya sekaligus menjaga kehormatan keluarga. Jadi ikut mengawasi dan memantau anak perempuan dari ancaman pelecehan oleh siapapun.

Para ibu sekali lagi harus bisa mengajak putrinya mempunyai keberanian untuk melaporkan kekerasan yang ditemui atau dialami, sebagai salah satu bentuk upaya melindungi diri sendiri.*

Baca juga: Menteri PPPA kecam pemerkosaan terhadap anak di Kabupaten Bekasi

Baca juga: Wahana Visi: Pengesahan UU TPKS momen bersejarah perlindungan anak

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022