"Seluruh pemilik tanah sudah sepakat, kalau Exxon Mobil jadi operator maka proses pembebasan tanah, baik untuk disewa maupun dibeli, nantinya akan berjalan lancar," kata Rachmad Achsan dan Sukaran.
Bojonegoro (ANTARA News) - Para kepala desa sekitar sumur Migas Jambaran-Banyuurip, Kecamatan Ngasem dan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro, Jatim, merasa lega dengan adanya penggantian jajaran Direksi Pertamina, termasuk Direktur Utama, Widya Purnama. Alasannya, dengan adanya pergantian jajaran direksi Pertamina tersebut, diharapkan nantinya bisa mempercepat proses penandatanganan JOA (Joint Operating Agreement) sumur Migas Blok Cepu. "Saya pribadi lega adanya pergantian Direksi Pertamina, saya kira kepala desa lain dan warga sekitar sumur migas ini pendapatnya sama dengan saya, semoga JOA segera ditandatangani," kata Ketua Paguyuban Kepala Desa Semar (Sumur Banyuurip), Rachmad Achsan, Rabu. Baik Rachmad Achsan maupun Ketua Komisi D DPRD Bojonegoro, Syarif Usman, berharap dengan pergantian jajaran direksi Pertamina tidak ada lagi kendala penyelesaian konflik masalah operator Blok Cepu, sehingga JOA bisa segera ditandatangani. Sebab, lanjut Rachmad Achsan, juga Sukaran, Kades Mojodelik, yang wilayahnya memiliki sumur minyak di Banyuurip, lambatnya proses JOA karena adanya tarik-menarik masalah operator Blok Cepu, terutama disebabkan ngototnya Direktur Pertamina, Widya Purnama, yang meninginginkan Pertamina sebagai operator. Padahal, kata Rachmad Achsan, Sukaran, dan juga Suwarji, Kasun (Kepala Dusun) Desa Gayam, Kecamatan Ngasem, seluruh 12 kepala desa dan masyarakat sekitar wilayah sumur Migas Jambaran- Banyuurip umumnya menolak Pertamina sebagai operator. "Yang diketahui masyarakat itu bukan soal nasionalisme, tetapi masalah kebutuhan perut. Selama ini konsep CD (community development) dari Exxon Mobil dan soal Amdal (analisa mengenai dampak lingkungan) nya, sudah diketahui masyarakat dan jelas," kata Rachmad Achsan yang dibenarkan Sukaran dan Suwarji. Menurut mereka, kalau nantinya operator Blok Cepu tetap diberikan kepada Pertamina, baik kepala desa maupun masyarakat yang mengerti duduk permasalahan soal migas di wilayahnya akan bersikap. Di antaranya, seluruh kepala desa dan masyarakat akan bersama-sama memblokir proses eksplorasi dan eksploitasi, selain tidak akan bersedia menjual tanahnya. "Semeterpun warga tidak akan menjual kalau benar Pertamina menjadi operator Blok Cepu," tegas Rachmad Achsan. Alasannya, selama eksplorasi sumur migas, warga tidak mengenal Pertamina, dan pendekatan yang dilakukan Exxon Mobil cukup baik, mulai pemberian bea siswa untuk anak didik berprestasi di 12 desa (per desa 30 anak), bantuan Posyandu, perbaikan jalan, pendirian sekolah komputer dan bahasa Inggris, juga bantuan pembangunan mushola. "Selama ini kami tidak pernah melihat Pertamina menawarkan program CD, sehingga kalau operatornya Pertamina jangan jangan yang sudah dijalankan Exxon terhenti," ujar Rachmad Achsan. Di samping itu, kepercayaan terhadap Pertamina dinilai sudah tidak ada lagi, terutama dengan munculnya kasus Lawe-lawe, dan permasalahan kondisi masyarakat di Indramayu yang ada sumber migasnya. Di daerah Indramayu, kata Rachmad Achsan, di daerah sumber migas yang dikelola Pertamina kondisi masyarakatnya miskin dan PAD (pendapatan asli daerah) dari migas yang diterima Pemerintah Kabupaten Indramayu hanya Rp25 miliar/tahun. Padahal daerah Indramayu yang migasnya dikelola Pertamina produksinya mencapai 125 ribu barrel/hari, hampir sama dengan Bojonegoro yang diperhitungkan akan mencapai 175 ribu barrel/hari. "Kalau dipegang Pertamina kita ini tidak ingin di `Indramayukan`," kata Rachmad Achsan, yang dibenarkan Suwarji, Sukaran, dan juga Syarif Usman. "Seluruh pemilik tanah sudah sepakat, kalau Exxon Mobil jadi operator maka proses pembebasan tanah, baik untuk disewa maupun dibeli, nantinya akan berjalan lancar," kata Rachmad Achsan dan Sukaran. Exxon Mobil sudah pernah melakukan pendataan masalah tanah yang nantinya akan dibebaskan. Data pada 2002, tercatat tanah di 12 desa di Kecamatan Ngasem dan Kalitidu yang akan dibebaskan mencapai 982,59 ha, tetapi karena ada yang tidak mungkin dibebaskan seperti pemakaman umum, dan mushola, luasnya menyusut menjadi 748 ha. Ke-12 desa yang telah didata tersebut Desa Mojodelik, Brabowan, Gayam, Bandungrejo, Begadon, Ringging Tunggal, Bonorejo, Kecamatan Ngasem, Desa Katur, Sumengko, Ngraho, Sudu dan Cengungklung, Kecamatan Kalitidu.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006