Pendapat itu disampaikan Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan Kolonel Inf. (Purn) Nasib Alamsyah di Banjarmasin, Sabtu.
Menurut dia, kalau pemberian izin pertanahan cuma di atas kertas dan melihat peta, maka dipastikan, pada saatnya akan menimbulkan permasalahan, seperti konflik dengan penduduk setempat.
Sebagai contoh beberapa peristiwa yang terjadi pada sejumlah daerah di Kalsel khususnya, terjadi sengketa antara perusahaan yang mendapatkan izin atas pertanahan dengan penduduk setempat, seperti di Kabupaten Tanah Bumbu (Tanbu).
"Semestinya sebelum memerikan izin pertanahan tersebut, aparat terkait berwenang terlebih dahulu melihat kondisi objektif. Karena dalam perizinan pertanahan itu, mungkin saja terdapat tanah hak adat serta pemukiman penduduk yang sudah puluhan tahun," lanjutnya.
"Nah, kalau terdapat tanah hak adat atau permukiman penduduk yang sudah sejak lama di kawasan tersebut, harus dikeluarkan atau jangan dimasukan dalam denah perizinan pertanahan," kata polisiti senior Partai Golkar itu.
Upaya lain menghindari gejolak masalah pertanahan, mungkin secara nasional, pemerintah perlu meninjau kembali Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) yang diterbitkan Tahun 1960-an tersebut, sarannya.
Selain itu, masyarakat perlu mengetahui akan hak dan kewajiban terkaitan peraturan perundang-undangan pertanahan serta peraturan perundang-undangan lain, demikian Nasib Alamsyah.
Pada kesempatan terpisah sebelumnya, Ketua Komisi I bidang hukum dan pemerintahan DPRD Kalsel, Safaruddin dari Partai Demokrat, mengungkapkan, berdasarkan catatan komisinya, di provinsi yang terdiri 13 kabupaten/kota tersebut setidaknya ada 30 sengketa pertanahan.
"Bila sengketa pertanahan itu tidak segera diselesaikan, maka bisa menjadi `bom waktu` dan akan semakin sulit penyelesaiannya," lanjut wakil rakyat yang menyandang gelar sarjana hukum dan magister ilmu hukum tersebut.
Oleh sebab itu, pemerintah harus berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan sengketa pertanahan tersebut, seperti antara perusahaan dengan penduduk setempat yang rentan terjadi konflik, demikian Safaruddin. (SHN/H005)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2012