Jakarta (ANTARA News) - Juru Bicara Departemen Luar Negeri (Deplu), Yuri Thamrin, menegaskan bahwa surat-surat yang seolah-olah ditandatangani Menteri Luar Negeri (Menlu), Hassan Wirajuda, dan mantan Sekjen Deplu, Sudjadnan Parnohadiningrat, terkait persetujuan pengembangan lahan KBRI Seoul adalah palsu. "Perlu diklarifikasikan bahwa surat-surat tersebut adalah palsu, dan Menlu RI dan atau mantan Sekjen Deplu, Sudjadnan Parnohadiningrat, tidak pernah mengeluarkan surat-surat yang nyatanya bodong tersebut," kata Yuri dalam jumpa pers khusus di Jakarta, Rabu. Dikatakannya bahwa ada tiga surat palsu yang beredar, yakni dua surat tertanggal 9 Mei 2005, yang seolah-olah ditandatangani oleh Menlu Wirajuda dan Sekjen Sudjadnan, serta satu surat tertanggal 16 Agustus 2005 yang seolah-olah ditandatangani Menlu Wirajuda. Deplu, kata Yuri, mengetahui keberadaan surat-surat palsu tersebut dari komunikasi yang disampaikan Dubes Korsel di Jakarta kepada Menlu Wirajuda untuk menglarifikasikan keotentikan ijin dan rekomendasi yang seolah-olah telah diberikan pihak Deplu kepada PT Sun Hoo Engineering (SHE). Dalam pertemuannya dengan Dubes Korsel pada 9 November 2005, Yuri mengatakan, Menlu telah menjelaskan bahwa surat-surat itu palsu dan mengingatkan instansi berwenang di Korsel untuk mengabaikan surat-surat tersebut. Sebelumnya, di kalangan DPR beredar salinan (copy) dua surat berkop Deplu, bercap, tanda tangan dan nama Menlu Wirajuda serta Sekjen Sudjadnan, yang intinya menyetujui pemberian ijin kepada PT SHE untuk mengembangkan tanah KBRI di Seoul. Selain itu, surat tersebut juga mencantumkan PT SHE disarankan melakukan survei atau observasi lapangan ke KBRI untuk menghitung ulang biaya investasi, serta mengurus surat perijinan atau dokumen pendukung lainnya. Yuri mengatakan, dari surat palsu itu jelas terlihat bahwa penulisan nama Menlu, kop surat, nomor surat, logo surat, cap Menlu, dan cap Deplu yang tercantum dalam surat-surat tersebut semuanya janggal, serta tidak lazim dalam tata persuratan Deplu RI. "Sehingga, secara gamblang menunjukkan bahwa surat-surat itu sama sekali tidak otentik," katanya. Yuri pun mengatakan bahwa adanya surat-surat palsu itu bukanlah kejadian yang pertama kalinya. Bahkan, ketika Menlu dijabat Alwi Shihab pernah terjadi pemalsuan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) untuk konteks yang sama, yakni tukar guling lahan strategis yang dikuasai KBRI di Seoul tersebut. Ia mengemukakan, hingga saat ini tidak ada rencana Deplu untuk melakukan renovasi dan mengembangkan gedung kantor KBRI di Seoul, serta tanah dan bangunan tersebut sepenuhnya tetap berada di bawah penguasaan KBRI/Deplu, dan tidak pernah berada di bawah penguasaan atau menjadi obyek survei pihak lain. "Kalaupun ada rencana seperti itu pasti akan dikomunikasikan, termasuk dengan parlemen. Dan, jika disetujui parlemen, makan akan dilaksanakan sesuai aturan yang ada, ditenderkan secara terbuka, dan semua orang bisa melihatnya," katanya. Ketika ditanya pers mengenai siapa pihak yang dicurigai melakukan pemalsuan itu, Yuri mengatakan bahwa ada banyak pintu untuk itu, dan Deplu akan melakukan penyelidikan internal. "Tetapi, yang lebih penting adalah Deplu akan terus menyempurnakan sistem pengarsipannya yang disesuaikan dengan standar sistem arsip nasional, sehingga tidak mudah dipalsukan, dan fakta yang ada dari sistem itu, ketika ada pemalsuan, bisa segera terdeteksi," demikian Yuri. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006