Jakarta (ANTARA News) - Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Fadjrijah mengatakan kredit bermasalah (non performing loan/NPL) di perbankan bukanlah sebuah bentuk kejahatan yang bisa merugikan negara. "NPL bukan kejahatan bank. Sehingga tidak pas kalau dibilang merugikan negara dengan tuduhan melakukan korupsi," kata Siti di Jakarta, Rabu. Menurutnya, jika kredit bermasalah itu terbukti karena kesengajaan, maka baru bisa digolongkan pada tindak kejahatan. "Tetapi kalau itu terjadi karena kesalahan prosedur tidak bisa demikian," katanya. Dijelaskan Siti, bisnis utama perbankan adalah memberikan kredit, dan dalam pemberian kredit selalu mengandung risiko, seperti kredit yang bermasalah atau kredit yang macet. Dikatakannya, pada tahun 2005 rasio NPL gross mencapai 8,3 persen, sementara yang net mencapai 5,8 persen. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2004 NPL gross 4,5 persen dan NPL nett 1,7 persen. Sementara berdasarkan data September 2005, sumbangan NPL terbesar berasal dari bank-bank BUMN sebesar 73,1 persen atau Rp39,1 triliun, sementara bank non-BUMN sebesar 26,9 persen atau senilai Rp15,2 triliun. Dari 73,1 persen itu, Bank Mandiri menyumbang 64,2 persen, Bank BNI 23,67 persen, Bank BRI 9,7 persen dan BTN 2,03 persen. Meningkatnya NPL di tahun 2005 ini, lanjut Siti lebih disebabkan kondisi makro ekonomi yang kurang stabil akibat laju inflasi yang tinggi, sehingga mendongkrak posisi suku bunga. Dijelaskannya, terhadap perbankan yang memiliki rasio NPL di atas lima persen, BI memasukkannya dalam status pengawasan intensif, dengan langsung memonitor upaya bank tersebut dalam upaya menurunkan NPL-nya. BI menurutnya, menawarkan kepada bank-bank yang memiliki NPL tinggi untuk melakukan program penurunan NPL dengan dua jalan, yaitu restrukturisasi dan membentuk special purpose vehicle (SPV). Dengan restrukturisasi, bank itu akan melihat apakah proyek yang kreditnya bermasalah itu masih bisa berjalan tidak, sementara langkah kedua adalah menjual kredit bermasalah itu perusahaan lain atau membentuk SPV. Namun, menurutnya bagi bank-bank BUMN masih ada kendala dalam pembentukan SPV karena peraturan pemerintah melarang penjualan kredit dengan memberikan diskon. "Masalah ini sudah kami diskusikan bersama. Kita sedang membuat tim untuk penyelesaian ini, dan pada rakor lalu ini termasuk yang dibahas antara Gubernur Bank Indonesia dengan Menko Perekonomian," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2006